Rere masih duduk termenung di bangku sekolahnya. Rok abu-abunya
terangkat 5 centimeter ketika dia menyilangkan kakinya yang panjang
semampai membentuk betis yang indah, walaupun terbalut kaus kaki putih
setinggi lutut. Bu Santi guru biologinya menerangkan betapa pentingnya
sistem metabolisme tubuh dan memerlukan omega 3 lebih banyak dari omega 6
untuk mendapatkan kesehatan tubuh yang positif. Tetapi pikiran Rere
melayang entah kemana, tangannya menyangga dagunya yang malas untuk
menengadah tegak, semua energinya hilang.
Memang minggu ini adalah minggu yang berat untuk Rere. Dia baru saja
bertengkar hebat dengan Lola sahabatnya sendiri yang juga satu sekolah.
Pertengkaran mereka dIka renakan laki-laki yang disukai Lola ternyata
menyukai Rere juga, sedangkan Rere sejak dulu juga memendam perasaannya
untuk laki-laki yang sama, Albie.
Rere bersumpah untuk mempertahankan persahabatannya dengan Lola dan
mengesampingkan perasaannya demi sahabatnya itu. Baginya persahabatan
lebih penting daripada pacar. Tetapi berbeda dengan Albie. Dengan tanpa
menyerah dia terus mendekati Rere di sekolah untuk mendapatkan cinta
teman sekolahnya. Hal itu membuat Lola semakin marah dan kecewa kepada
Albie dan Rere. Rere berusaha mati-matian untuk menghindari Albie
walaupun sebenarnya dia menyesal kenapa sahabatnya bisa suka pada pria
yang sama.
“Re, lo kenapa?“ Ika teman satu kelasnya menghentikan lamunannya.
Memang selain Lola, Rere juga berteman dengan Ika. Karena Lola beda
kelas, jadi dia menjadikan Ika sebagai temannya juga walaupun tidak
sedekat dia dengan Lola.
“Gak apa-apa ka, gue cuma lagi gak konsen aja“
“Kok lo pucet sih? Lo sakit ya? Mau gue anter ke ruang BP?
“Gak ka, g cuma gak konsen aja kok. Tau nih pelajaran ngeBTin banget!
Gara-gara omega 3 gue harus banyak makan ikan deh…“ celetuk Rere
berusaha ceria. Dia tidak mau masalahnya sampai tersebar dan diketahui
Ika dan yang lainnya.
“Serius lo gak apa-apa? Gue punya air mineral nih, kalo lo mau…
Lumayan buat melekkin mata, bentar lagi dah mau pulang biar lo segeran
dikit” Ika menawarkan dengan tulus kepada teman sekelasnya itu. Rere pun
langsung mengambil sebotol air mineral yang ditawarkan Ika, memang dia
haus dan jenuh dengan keadaannya sekarang. Langsung Rere menyeruput
botol mineral Ika dan mengosongkan seperempat dari setengah isi botol
itu yang langsung menyegarkan kerongkongannya.
“Thanks ya Ka… sumpah, jadi seger lagi gue..“
“No problemo” kata Ika tersenyum dan mengambil botol yang
ada dari tangan Rere. Rere pun kembali menatap Bu Siska dan mencoba
keras memperhatikan ke papan tulis yang isinya menjelaskan klasifikasi
omega 6 dan makanan apa yang harus dihindari dan tidak perlu banyak
dikonsumsi.
Lima menit kemudian bel sekolahpun berteriak memerintahkan bahwa
pelajaran hari ini selesai, serentak seluruh murid di kelas 3 IPA 4
membereskan buku-buku mereka dan buru-buru menjejalkan kedalam tas
sekolah mereka masing-masing.
“Ayo Re kita ke parkiran bareng…” ajak Ika. Memang sesudah seminggu
bermusuhan dengan Lola, Rere selalu pulang bareng Ika. Walaupun tidak
betul-betul pulang bareng, paling tidak Rere punya teman untuk jalan ke
parkiran sekolah. Semenjak ulang tahunnya yang ke 17 dua bulan yang
lalu, papanya menghadiahkan mobil Honda Jazz untuknya. Dan selama 2
bulan terakhir dia selalu menyetir sendiri setiap sekolah dan dengan
senang hati menawarkan untuk mengajak dan mengantar Lola walaupun hanya
untuk hang out atau sekedar pulang. Hampir setiap hari mereka pulang
bareng, Lola pun sengaja menyuruh supirnya untuk tidak menjemputnya.
Tetapi seminggu terakhir ini, Rere selalu pulang sendiri. Buat orang
seceria Rere, akan sangat menyedihkan untuknya kalau pulang sendiri.
“Lo duluan deh Ka, gue mau toilet, cuci muka dulu… Suntuk banget nih,
entar gak konsen lagi nyetirnya…“ Tolak Rere halus. Dia memang berniat
untuk ke toilet sebelum pulang. Mungkin sepercik air bersih bisa
menyegarkan pandangannya yang semenjak seminggu ini selalu layu.
“OK deh… see ya…“ sahut Ika sambil berlalu.
Sepeninggal Ika, Rere berjalan menuju toilet yang berada di sudut
sekolah di lantai 2. dia berusaha bersemangat agar bisa segar cepat
langsung meluncur ke rumahnya dan istirahat untuk menjalani hari esok
yang akan sama menjenuhkannya tanpa Lola ada disampingnya. Rere menuju
ke toilet booth paling ujung karena tampaknya seluruh booth penuh terisi
oleh murid-murid yang lain. Entah kenapa hatinya sangat hampa dan
seluruh perasaannya kosong tak bergairah hari ini. Dengan lunglai ia
mengunci pintu toilet dan menuju wastafel untuk mengguyur mukanya dengan
sedikit air. Air segar langsung menyiram wajahnya. Rere berusaha untuk
tetap terjaga dan melebarkan matanya agar tidak sayu. Tetapi kedua
matanya seolah tidak berkompromi. Rere merasa badannya lemas luar biasa
dan kepalanya pusing tidak tertahankan. Sambil terhuyung dan berusaha
keras dia memegang kedua sisi wastafel menahan berat badannya sendiri.
Tetapi perasaan aneh membuat lututnya lemas dan seolah-olah berat
badannya bertambah 10 kali lipat, Rere pun jatuh tak sadarkan diri di
lantai wastafel.
Entah berapa lama Rere pingsan di toilet perempuan itu. Tetapi begitu
sadarkan diri, dia masih tetap di toilet tak berpindah sedikitpun.
Rupanya tidak ada satu muridpun yang menyadari bahwa Rere pingsan di
toilet. Dengan kepala berat Rere melirik jamnya yang melingkar diam di
tangan kirinya. Sudah jam 3 sore. Memang sekolah swasta tempat Rere
belajar, kegiatan operasional dimulai dari jam 7 pagi sampai jam 12.30
siang. Dan gerbang akan ditutup pada jam 2 siang. Tidak ada kelas siang
di sekolah tersebut. Otomatis hal ini menyadarkan Lola bahwa dia
sendirian di gedung sekolah ini. Tidak betul-betul sendirian sebenarnya.
Ada pak Somad penjaga sekolah yang memang tinggal di dalam gedung
sekolah khusus untuk menjaga dan membersihkan sekolah. Rere pun
menjumput tas sekolahnya dan berjalan menelusuri koridor toilet untuk
menemui pak Somad. Barangkali dia bisa membukakan gerbang sekolah
untuknya. Sambil merogoh tas mencari kunci mobilnya, sebelum mencapai
pintu toilet, tiba-tiba daun pintu ditarik terbuka dari luar dan
muncullah 4 orang pemuda yang juga masih berseragam sekolah. Rere
berusaha mengenali mereka, tetapi dia sama sekali tidak punya petunjuk
siapa mereka.
“Akhirnya ketemu juga… dicari-cari dari tadi. Gue bilang juga apa kan
Ben, dia pasti masih di dalam. Mobilnya aja masih ada di parkiran“ kata
salah satu dari mereka yang badannya tinggi jangkung yang berwajah
Indo-Pakis. Rere bisa mengenali karena untuk anak laki seumuran dia
bulu-bulu halus sudah tumbuh di bawah hidungnya yang mancung di atas
rata-rata orang pribumi.
“Iya… Gue pikir dia mungkin nebeng temennya“ jawab Ben yang ternyata
ada paling depan di antara mereka berempat. Ben juga tinggi dan wajahnya
tak kalah tampannya dengan yang pertama bicara. Alis mata Ben sungguh
tebal, hidung mancung dengan kulit yang lumayan putih untuk ukuran
laki-laki.
“Eh, sorry… tapi toilet anak laki ada di bawah. Ini toilet anak
perempuan” Jawab Rere polos. Dia berusah ramah terhadap sekelompok
pemuda itu.
“Halo Rere… pa kabar?“ sahut salah satu mereka. Rere tampak terperanjat, kenapa mereka tahu namanya.
“Siapa ya? Kok gue gak kenal sama kalian semua? Bukan anak sekolah
sini kan?” Rere masih berusaha ramah seolah ini adalah percakapan biasa
yang pantas antara seorang gadis dengan sekelompok anak laki-laki di
koridor toilet perempuan.
“Lo emang cantik banget… ramah lagi. Pantesan Albie naksir banget
sama lo. Ya nggak Dave?” timpal si Indo-Pakis sedikit menyeringai. Rere
mulai tidak suka dengan perlakuan mereka. Dan kenapa ada Albie yang
terlibat dalam percakapan ini.
“Emang Albie gak salah pilih! Renata aja kalah sama lo Re” jawab Dave
yang Rere nilai tidak kalah gantengnya dengan yang lain. Dave
berperawakan tinggi dan lumayan atletis. Wajah oriental Indo juga
menghiasi mukanya. Indo mana? Rere tidak bisa memprediksi.
“Eh, siapa sih kalian? Kok kenal gue sama Albie…” Nada suara Rere sedikit panik karena dia sekarang merasa terpojok.
“Kita-kita dateng kesini cuma mau nyulik elo… Jangan tersinggung ya…
tapi kayanya gue mau lebih dari nyulik… tul gak guys?” Jawab Ben santai
seolah ini adalah pernyataan yang normal. Dan teman-temannya di
belakangpun mengiyakan dengan kompak sambil menunjukkan mimik seperti
orang haus dan berseringai.
“Eh jangan becanda dong… jangan sampe gue teriak” ada nada panik
disuara Rere. Dengan reflek Rere merogoh tasnya. Tangannya yang tadi di
dalam tas untuk mencari kunci mobil sekarang berubah untuk mencari
handphonenya dengan gugup. Mungkin dia bisa menekan speed dial untuk
menelepon siapa saja agar bisa mendengarnya walau dari dalam tas.
Tetapi terlambat. Ben mengetahui gelagatnya dan segera merampas tas
Rere dan melemparnya jauh-jauh ke dalam toilet. Sedetik kemudian semua
buku-buku, kunci mobil, handphone dan make up Rere berhambur keluar. Ada
sesuatu yang terdengar pecah disana. Rere melengos. Apa itu Hpnya. Atau
mungkin salah satu alat kosmetiknya.
“Mau telpon siapa say…“ kata Ben sambil memegang tangan Rere dengan
mendekatkan seringai dan mukanya tidak lebih dari 2 centimeter dari muka
Rere.
Rere tahu, ini saatnya dia lari atau kabur. Cari pertolongan, teriak
atau menangis minta belas kasihan. Tetapi hatinya merasa ini bukan
saatnya untuk berkompromi lagi. Dengan sekuat tenaga dia menghentakan
kakinya menginjak kaki Ben yang sangat dekat dengan kakinya. Ben pun
melepas pengangan tangannya dan megaduh memegang kakinya sendiri. Tidak
menyia-nyiakan kesempatan. Rerepun langsung berlari menuju pintu toilet
menerobos sekelompok pemuda itu. Merekapun berusaha menahan Rere, tetapi
entah kenapa Rere bisa mencapai pintu dan menarik daunnya, membuat
pintu terbuka dan berlari keluar sekencang mungkin. Rere berbelok menuju
ke tangga untuk turun ke bawah. Dia tidak punya kunci, dia juga tidak
punya HP untuk menelepon siapa saja minta tolong. Rere berlari sekencang
mungkin, dia tidak berani menengok ke belakang. Dia Cuma berharap ini
adalah mimpi buruk. “Bangun Re!” teriaknya dalam hati berharap sesuatu
akan terjadi. Tetapi dia tetap menemukan dirinya masih berlari dan terus
berlari.
Tiba di gerbang dia mendapati gerbang itu sudah terkunci dari dalam.
“Oh tidak!” seru Rere dalam hati. Rere memutar otak. Pak somad! katanya
lagi. Mungkin dia bisa ke tempat Pak Somad untuk minta tolong. Rere pun
membalikkan badannya. Dia lihat tak jauh dari tempatnya 4 orang pemuda
berseragam putih abu-abu sedang berlari kencang ke arahnya. Sejurus
kemudian Rere berlari membelokkan badan menuju ke tempat pak Somad. Pak
Somad tinggal di belakang sekolah dan Rere pun tahu jalan memutar menuju
ke tempat pak Somad. Dia memberanikan diri menoleh ke belakang. Keempat
pemuda itupun masih mengikutinya. Jantung Rere berdegup kencang. Dia
tidak boleh lemah. Dia bisa berlari kencang.
Setiba di tempat pak Somad. Rere mendapati pintu rumah sudah terbuka.
Dilihatnya ke dalam. Terlihat pak Somad sedang tertidur di tempat
duduknya. Secangkir kopi, sebungkus rokok dan sepiring roti donat ada di
meja di depat pak Somad terlelap. “Thanks God” seru Rere dalam hati. Dengan keras dia mengetuk pintu membangunkan pak Somad.
“Pak Somad… pak…, bangun pak tolong saya!!” tanpa permisi Rere masuk
ke dalam rumah dan mengguncang tubuh pak somad, berharap dia akan bangun
dari tidurnya. Tetapi pak Somad tak bergeming sedikitpun. “Pak… pak
Somad! Bangun pak!! Tolong saya pak… ada orang yang mau mencu…” sambil
mengguncangkan dan membangunkan pak Somad, Rere menunjuk dan menoleh ke
luar seolah-olah ingin menunjukkan ada orang jahat yang mau
menculikntya. Tetapi di arah Rere menunjukkan jari telunjuknya, keempat
pemuda tersebut sudah berdiri berjajar dengan tenangnya sambil melipat
tangan seolah-olah mereka berpose untuk suatu pemotretan. Rere merasa
keadaan sudah sangat buruk.
“Ngapain say… pak somadnya lagi tidur… jangan dibangunin… kasihan
dong… kan udah capek kerja seharian..” lagi-lagi Ben yang berkata.
Dengan santai dia masuk ke dalam dan mengeluarkan sesuatu dari kantong
bajunya. Seperti obat kapsul berwarna biru muda. Ben membuka kapsul itu
dan menuangkan isinya ke dalam cangkir kopi pak Somad. Rerepun mengerti.
Pak Somad sedang tak sadarkan diri.
“Kok gak ngenalin sih say… kamu kan tadi minum ini juga… lupa ya?”
masih sambung Ben. Rere ingat, tadi dia sempat tak sadarkan diri.
“Tapi… gimana caranya??” jawab Rere pelan tak bernada. Dia bingung kapan dia meminum obat tersebut.
“Duh, kaya investigator aja deh kamu… kasih tau deh Zack…“ sahut Ben
dengan malas dan orang yang bernama Zack itu pun menyahut. Ternyata
orang keempat yang dari tadi Rere tidak mengetahui itu namanya Zack.
Rere pun mulai memperhatikan keempat orang tersebut. Mereka sungguh
laki-laki yang wajahnya di atas rata-rata. Semuanya berpenampilan ok dan
tampan.
“Tadi kita titipin ke Ika…” sahut Zack sedikit santai. Rere pun
seperti tersambar petir, dia kaget luar biasa. Tidak di sangka temannya
sendiri menjebaknya.
“Kenapa…” seru Rere tanpa sadar. Dia terbengong. Di kepalanya sekarang menari-nari wajah Ika sambil tersenyum licik kepadanya.
“Gimana say… mau ikut kita. Kalo kamu nurut, semuanya akan baik-baik
saja..” Ben dengan santai meraih tangan Rere menggandeng gadis itu. Rere
tersadar, tanpa berlama-lama dia menepis tangan Ben dan mendorong Ben
berharap dia akan pergi jauh-jauh meninggalkannya. Ben terdorong mundur 3
langkah. Wajahnya menunjukkan perasaan marah. Sedetik kemudian Ben
melangkah maju kedepan dan PLAK!
Rere tersungkur jatuh menerima tamparan keras di pipi kirinya,
terjerembab menabrak meja pak somad. cangkir kopi pak Somad jatuh dan
pecah sesudah mengguyur badan Rere menumpahkan isinya ke seragam putih
Rere dan menembus kedalam kulitnya menunjukkan gundukan kembar Rere yang
tersiram, memetakan garis bra Rere yang berwarna hitam sehitam air kopi
yang mengguyurnya. Pipi kirinya terasa panas dan perih. Perutnya sakit
sehabis menghantam tepi meja pak Somad. sekarang, perasaan kalut
menguasai hatinya. “Bagaimana ini…” dalam hati Rere. Kemudian Rere
merasa badannya diangkat ke atas dipaksa berdiri oleh tangan Ben. Rere
pun berdiri. Tangannya tak sengaja mengelus pipi kirinya yang perih. Ben
melihat setitik darah mengalir dari pinggir bibir Rere. Lalu Ben
menghapus darah itu dengan punggung tangannya. Rere berusaha mengelak,
sehingga darah itu masih meninggalkan bekas di sisi bibir Rere.
Rere tidak menangis walau rasanya perut, pipi dan hatinya sakit
dikhianati. Dia tidak mau terlihat lemah di depan keempat pemuda
tersebut.
“Sorry ya say… abis kamunya gitu sih… Kita cuma mau bawa kamu doang
kok…” Sahut Ben sambil membelai rambut Rere mesra seolah-olah seorang
kekasih bicara kepada gadisnya. Rere benci nada suara itu. Dia memutar
otaknya. Bagaimana dia bisa keluar dari masalah ini.
“Tolong… jangan ganggu gue…Gue.. gue bakal bayar…bayar tiga kali
lipat dari orang yang bayar lo..” dengan terbata-bata Rere mencoba untuk
bernegosiasi kepada Ben.
“Engga bisa gitu dong say… emang kamu pikir kita-kita ini orang yang
butuh uang. Enggak sayang…lagian ini udah termasuk urusan perasaan… right guys?” Ben bertanya ke teman-temannya dan sekali lagi mereka mengiyakan dengan kompak.
Rere pun merasa sudah tidak ada harapan lagi untuk dirinya. Dia juga
mendiamkan Ben yang meraih tangannya dan menggandengnya keluar. Dengan
menurut Rere berjalan keluar. Sesampai di luar tak jauh dari pintu rumah
pak Somad. Rere kembali menghempaskan tangannya dan berusaha melepaskan
diri berlari. Kaget dengan pegangannya, tanpa sadar tangan Rere sudah
terlepas dari Ben. Rere pun kembali berusaha berlari. Namun Dave, Zack
dan si Indo-Paskin dengan cekatan mengejar Rere. Dengan perut yang masih
sakit, Rere tidak bisa berlari sekencang tadi. Tapi dia terus berlari.
Dia tidak berani melihat ke belakang. Dan tidak lama kemudian dia merasa
bajunya dipegang dan ditarik dari belakang. Tetapi Rere tetap berlari
berharap tarikan baju itu akan terlepas. Tetapi pegangan itu begitu kuat
dan kencang sehingga merobek baju belakang seragam Rere. Rere pun
kembali jatuh terjerembab di rumput belakang sekolahnya. Terjatuh
tertelungkup. Dia coba untuk bangun tanpa menghiraukan bajunya. Tetapi
tiba-tiba dibelakang tubuhnya ada yang menindih dan menahannya untuk
tetap berada terlungkup di rumput.
“Lepasin gue!.. Lepasin!!! TOLONG!! TOLONG!!!” teriak Rere berusaha
berontak. Sedetik kemudian tangan kasar membalikan badannya dengan kuat.
Di lihat Ben berada di atasnya. Dan PLAK!! PLAK!!
Dua tamparan kembali dihadiahkan di pipi kanan dan kiri Rere. Kembali
Rere merasa seperti di hantam dengan benda yang sangat keras di kedua
pipinya. Rere merasa seakan rahangnya ikut terlepas setelah tamparan
kedua itu mendarat di pipinya. Ben masih menindih Rere yang sudah
terlentang. Dengan geram dia mencekik leher Rere. Rere tidak bisa
mengelak lagi. Dia merasa akan mati. Dia tidak bisa bernafas. Dia juga
tak bisa bicara. Tangan Rere dengan segera memegang tangan Ben mencoba
melepaskan cekikannya. Kakinya menendang-nendang rumput di bawahnya.
Muka Rere sudah memerah. Sungguh satu menit yang menyiksakan setelah
dengan tiba-tiba Dave mengingatkan Ben untuk melepaskan cekikannya.
“Ben, Gila lo… bisa mati dia!! Lepasin!” Lalu Ben tersadar dan
melepaskan cekikannya. Rere pun terbatuk-batuk. Lega dia bisa bernapas
lagi, meskipun kalau boleh memilih dia mau langsung tertidur, mati… atau
pingsan dan bangun di tempat yang jauh dari sini. Selamat dan hidup
normal lagi.
Tiba-tiba Ben bangun dari tubuh Rere dan menarik Rere untuk berdiri. Rere pun terbangun.
“Sam, pegangin dia! Biar enggak kabur lagi!” si Indo-pakis langsung
bergerak memegang Rere, rupanya dia bernama Sam. Ben kembali melihat ada
sebersit goresan yang mengeluarkan darah di pelipis kanan Rere. Rupanya
Rere tergores ketika jatuh tadi. Dan sedetik kemudian Ben menarik
seragam putih Rere dan langsung merobeknya terbuka tepat di dadanya.
Kancing seragam Rere pun terlepas semua saking kencangnya robekan tangan
Ben. Spontan buah dada Rere yang masih terpampang memperlihatkan isinya
kepada keempat pemuda tersebut. Rere segera berusaha menutup dadanya
dengan menyatukan robekan seragamnya. Tetapi Sam dengan cepat meraih
tangannya menekuknya ke belakang sehingga Rere tidak bisa berkutik lagi.
“PLAK!”
Tamparan sekali lagi mendarat di pipi kiri Rere, darah segar kembali mengalir dari tepi bibir Rere.
“Jangan ngelawan lagi dong sayang…aku udah capek nih main
lari-larian…!” Kata Ben. Ada nada mengancam di sana. Ben memandang buah
dada Rere. Lalu dia meraih rok abu-abu Rere. Rere pun berusaha
menghindar, tetapi pegangan Sam sungguh kuat sehingga dia tidak bisa
mengelak lagi. Dengan kasar Ben merobek rok Rere dari bawah ke atas.
Belahan panjang terobek tepat di tengah-tengahnya sehingga
memperlihatkan celana dalam hitam Rere. Kaki Rere yang jenjang pun ikut
terpamerkan seperti dada dan perutnya. Kembali Ben mengoyak rok abu-abu
Rere, kali ini tempatnya di sisi kiri yang dapat memperlihatkan paha
Rere yang putih mulus. Rere sekarang merasa bahwa sekarang seragamnya
tidak bisa melindunginya dari keterlanjangan. Tetapi dia tidak bisa
berbuat apa-apa.
“Say bagus banget sih bodynya…” Seru Dave tiba-tiba mendekat dan
memegang buah dada kiri Rere yang menggantung indah meskipun masih
tertutup pembungkusnya.
“Iya ya… si Albie bener-bener pinter pilih cewek” Sam ternyata
mengambil kesempatan memegang buah dada Rere yang sebelah kanannya.
Tetap Rere tidak menangis dalam keadaan seperti ini. Dirinya sudah
hampir telanjang. Pipinya panas, pelipisnya perih, perut dan hatinya
sakit memikirkan kenapa Albie dan Ika bisa sejahat itu padanya.
Lalu Ben mendekat. Dia mendekatkan tangan kanannya ke tubuh Rere.
Rere langsung memejamkan mata, mengira Ben akan menamparnya lagi. Dia
sudah tidak tahan lagi dengan tamparan Ben. Tetapi ternyata Rere salah
terka. Ben meletakan tangannya di kemaluan Rere yang masih terbungkus
celana berbahan silk tipis yang mempesona.
“Re… masih perawan ga??” tanya Ben sambil mengelus kemaluan Rere.
Rere terdiam. Dia merasa pertanyaan itu tidak untuk di jawab. Lalu Ben
menampar Rere lagi. Lalu menjambak rambutnya dengan tangan kirinya
membuat kepala Rere menengadah sementara tangan kanan Ben masih meraba
benda kehormatan Rere.
“Jawab say!” kata Ben dengan nada tetap halus. Rere bingung kenapa
orang seperti Ben bisa berbuat kasar tetapi berkata halus. Hal itu
membuat Rere semakin panik.
“I iii iiya…!“ jawab Rere gemetar.
“SHIT!!“ serapah Ben sambil melepas pegangannya menjauh dari Rere.
“Kenapa bro? bukannya harusnya kita seneng?” timpal Zack bingung.
“Bukan gitu Zack!!! Perjanjiannya, kalau dia udah engga perawan lagi kita boleh make. Tapi kalo masih, kita gak boleh make dia”
“Kenapa gitu?! Kok perjanjiannya tolol banget!” timpal Dave yang juga kecewa dengan keputusan Ben.
“Itu udah kontraknya sama dia!! Orang yang nyuruh kita itu gak mau
ngambil keperawanan Rere. Tapi kalo emang udah enggak baru kita bisa
make dia!”
“What the hell… I’ll fuck her! We’ve been this far!!” seru Dave kembali.
“No way bro… that’s the deal!!” Ben berseru.
“Fuck the dea!!. I’m still gonna fuck this girl..!!” Sam
nampaknya tak mau ketinggalan argumentasi. Hal ini memberikan kesempatan
pada Rere untuk mencari celah melarikan diri. Dengan mengerahkan
seluruh tenaganya Rere menhentakkan kakinya lagi menginjak kaki Sam yang
menguncinya. Sam pun terkejut kesakitan pada telapak kaki kanannya yang
di injak Rere. Sam melepaskan pegangannya, sejurus kemudian Rere
kembali berlari. Dia terus berlari menuju gerbang depan. Atau mungkin
dia akan bersembunyi ke dalam salah satu kelas. Terus sembunyi sampai
ada kesempatan untuk menuju gerbang depan walaupun sampai malam. Seragam
Rere yang sudah robek parah berkibar di belakang mengiringi
pelariannya. Rere masih tidak berani menengok ke belakang. Lalu dia
melihat satu kelas yang pintunya terbuka. Rere masuk ke kelas itu dan
langsung menutup pintunya. Tetapi sebelum pintu tertutup, seseorang
mendorong keras dari luar membuka pintu dan pintu itu terjeblak keras
terbuka menghantam wajah Rere. Rere kembali terjatuh. Lalu dia melihat
Ben berada di bingkai pintu. Rupanya dia berhasil mengejar Rere, dan
ketika Rere menutup pintu, dengan kasar Ben mendorong pintu itu sehingga
Rere yang berada di baliknya terhantam keras tepat mengenai hidungnya.
Dengan sadar dia meraba hidungnya. “Sakit…“ Katanya dalam hati. Setetes
darah berhasil menempel di buku jari telunjuk Rere. Hidungnya sepertinya
patah. Rere merasa panas dan sakit yang teramat dalam di hidungnya.
Masih dalam posisi terduduk jatuh. Dengan murka Ben menarik Rere bangkit
dari lantai keras dan menhempaskan tubuh Rere ke meja terdekat. Kembali
perut Rere menghantam tepi meja. Ini lebih sakit dari tamparan-tamparan
di pipi yang diberikan Ben tadi. Rere terhuyung jatuh ke bawah.
Perutnya terasa berat dan mual. Rere melingkar tersimpuh menekan
perutnya, berusaha menahan rasa sakit yang teramat sangat. Sedetik
kemudian dia memuntahkan sesuatu. Tepat didepan matanya, darah segar
keluar dari mulutnya yang mungil itu. Rere pun tetap bersimpuh di lantai
kelas. Dia tidak sanggup untuk berdiri.
Kemudian, Ben menarik dagu Rere yang tertunduk membuat dia menengadah
menatap Ben. Dia melihat keempat pemuda itu sudah ada di hadapannya
lagi. Ben melihat setitik air mata tercetak di mata Rere. Bukan air mata
sedih dan takut yang dikeluarkan Rere. Tetapi air mata menahan sakit di
perutnya.
“Cantik juga ya kamu… kalau kaya gini…” senyum Ben menyeringai sambil menghapus aliran darah yang mengalir di dagu Rere.
“Kalo seandainya kamu nurut sama aku, gak bakal jadi begini sayang…”
“Tolong… jangan ganggu gue.. tolong, jangan perkosa gue. Gue masih perawan…”
“Perjanjiannya udah berubah sekarang sayang… kalau kamu seandainya
nurut, mungkin aku akan membela kamu biar gak usah diperkosa rame-rame…
sekarang kamu engga ada pilihan lagi say…”. Rere masih belum mau
menyerah dengan kenyataan ini. Dengan melupakan rasa sakit diperutnya
yang teramat sangat, dia kembali mendorong tubuh Ben sehingga menubruk
teman-teman Ben yang tepat berada di belakangnya. Lalu dengan langkah
seribu dia berlari kearah pintu menuju gerbang sekolah. Dia terus
berlari. Entah kekuatan darimana tetapi dia memacu kakinya untuk terus
berlari.
Tiba di gerbang, Rere menggedor-gedor gerbang dengan keras.
“TOLONG… TOLONG!!!!“ katanya kuat-kuat. Lalu Rere menoleh ke belakang
dan di lihatnya keempat pemuda itu sudah semakin dekat. Rere kembali
berputar untuk berlari. Dia tahu dia harus terus berlari. Menoleh
sebentar kebelakang memastikan dia cukup jauh untuk bersembunyi dan
tiba-tiba tanpa sadar, kakinya terantuk keras ke tiang penyangga rantai
parkir dan terjatuh keras ke lantai aspal parkiran sekolahnya. Langsung
saja, denyut kesakitan yang luar biasa di lutut Rere hampir mengaburkan
pandangannya, berkunang-kunang sebentar kaki Rere terasa sakit bukan
kepalang. Rere memegang kakinya. Bagaikan tertiban batu besar yang
meremukkan kakinya, Rere merasa bahwa lututnya menyiksanya. Matanya
langsung berair mencoba menahan sakit. Rere merintih menggigit bibirnya
sendiri sambil memegang lututnya. Ketika dia coba untuk bangkit berdiri.
Lutut dan tulang keringnya serasa tidak bersahabat. Rere terjatuh lagi.
“Ha.. ha.. ha…“ Terdengar tawa keras yang sangat dekat. Di depannya
Ben dan teman-temannya sudah berdiri tepat mengelilingi Rere. Rere
sangat takut kalau Ben akan memukulnya lagi. Dia sudah sangat kesakitan.
Tetapi dia tidak bisa berlari lagi. Dia merasakan kaki kanannya yang
terantuk tiang sepertinya patah dan tidak bisa diajak untuk berlari.
“Rere… kok bisa jatuh? Engga liat jalan ya say…!” Belai Ben di rambut
Rere mengikuti cemoohannya. Rere sudah sangat ketakutan sekarang. Ben
mulai menggerayangi Rere yang sudah tidak berkutik lagi walaupun tak ada
Sam yang memeganginya dari belakang. Rere berusaha menyeret tubuhnya
mundur menghindari keempat orang tersebut walaupun dia tahu hal itu
tidak akan membantu banyak. Tiba-tiba Ben menjenggut kasar rambut Rere
dan menjambaknya keras. Sementara tangan kanan Ben menekan keras lutut
Rere dimana warna biru kemerahan sudah membilur pucat mengotori warna
putih mulus di sana.
“Acchh…!” Rere mengerang kesakitan. Seakan Ben tidak menghiraukan
Rere dan ingin membuatnya sakit lebih dalam lagi, Ben terus menekan kuat
lutut Rere yang sudah membiru kehitaman. Air mata mengalir deras di
pipi Rere menahan sakit yang teramat sangat di kakinya yang membiru. Dia
sadar sudah tidak ada jalan keluar lagi.
“Sakit ya say…?” Tanya Ben mesra, sementara ketiga temannya tersenyum
puas. Merasa mangsanya sudah tidak bisa berkutik lagi. Mereka senang
tidak ada adegan kejar-kejaran lagi.
“Tapi kamu tambah cantik kalau kesakitan gini…!” sambung Ben lagi.
Rere merasa jijik dan marah terhadap keempat orang tersebut. Tetapi yang
pasti sakit di kaki ini tidak seberapa dibanding sakit hatinya terhadap
Ika dan Albie. Kenapa mereka berdua begitu tega bersekongkol untuk
menyakitinya. Dia tidak mengerti apa salahnya kepada Ika. Dan mengapa
Albie bisa berbuat sejauh ini karena penolakannya.
Tiba-tiba Rere merasakan tangan Ben sudah berpindah dari lutut naik
ke daerah sensitif segitiga Rere. Kali ini dia menarik celana dalam
Rere. Menurunkannya kebawah sehingga celana dalam itu merosot ke bawah
menunjukkan kemaluan Rere dengan jelas. Berusaha untuk terus sadar. Rere
merasakan sakit kembali di lututnya ketika celana dalamnya ditarik
paksa dan mengenai kakinya yang jenjang. Rere sadar dirinya sudah
setengah telanjang saat seragam putih abu-abunya dirobek paksa oleh
keempat pemuda tersebut. Tapi sekarang, tanpa pembungkus segitiga itu,
Rere merasa sudah telanjang bulat meskipun seragam compang-campingnya
masih tersanggah di badannya walaupun tidak bisa menyembunyikan sempurna
seluruh anggota badannya.
“Tolong… Ben…jangan perkosa gue… Gue akan kasih apa aja yang lo mau asal jangan perkosa gue… tolong…” Seru Rere memelas.
“Wah, dia udah tau nama lo Ben… Ha…ha…haa…ternyata cewe ini udah
kenalan ma lo ya Ben?!” Celetuk Dave tepat di samping. Ada air mata
menetes tepat di dada Rere yang terbuka. Ben menyeka air mata itu sambil
berusaha membuka bra hitam yang Rere kenakan hari itu.
“Tolong… Ben,…jangan!” mohon Rere sambil memegang tangan Ben yang berusaha melepas bra-nya dengan kedua tangannya.
“Sebutin aja angkanya, gue bakal usahain…Tapi jangan perkosa gue…
please…” Rere mengiba dengan berlinangan air mata. Tetapi rupanya Ben
tidak merasa kasihan dengannya. Lalu Ben menghempaskan tubuh Rere
kembali ke tanah. Sejurus kemudian, Ben mulai membuka ikat pinggangnya,
membuka celananya mengeluarkan kemaluannya yang ternyata sudah tegak
menjulang. Rere sungguh ketakutan. Dia terus berusaha menyeret badannya
mundur. Tetapi Ben dengan tenang menindih Rere, gelagak tawa
melatarbelakangi adegan ini. Ben kemudian menciumi bibir Rere dengan
lembut dan sopan seolah ini adalah ‘malam pertama’nya. Dengan sekuat
tenaga Rere menghindari ciuman itu.
Tetapi dia sudah tidak berdaya lagi. Ben sekali lagi mulai
menggerayangi dan menjamahi tubuh lemas Rere. Dia bahkan menciumi
tengkuk dan telinga Rere.
“Kan udah aku bilang sayang… sekarang tuh udah bukan urusan duit
perasaan, tapi urusan hati. Aku gak butuh uang kamu kok… uangku juga
banyak. Aku cuma mau membagi dan merasakan cinta untuk kita berdua…“
Darah Rere berdesir ketika dirasakan benda tumpul dan kenyal sudah
menempel di kemaluannya yang sudah telanjang, memaksa masuk ke liang
kehormatannya. Rasa takut dan putus asa mulai menguasai Rere. Akal
sehatnya hilang. Air matanya mengalir deras menahan sakit di sekujur
tubuhnya ketika tiba-tiba seseorang dari belakang menarik Ben ke atas
dan meninjunya keras sehingga Ben tersungkur. Tanpa memberi ampun.
Laki-laki itu terus memukuli dan menendangi Ben yang terjatuh dengan
kepalan tangan dan kakinya ke segala arah di seluruh badan Ben.
Menendang perutnya sangat keras. Rere tidak bisa melihat siapa orang
itu. Tetapi dia bisa melihat Ben memuntahkan darah segar ketika orang
itu menendang perutnya. Sesaat kemudian Zack, Sam dan Dave mulai
tersadar dari bengongnya dan segera menolong Ben dengan menarik orang
itu dan menguncinya untuk tidak berkutik lagi. Rere akhirnya melihat
siapa dia.
“Albie…“ katanya dalam hatinya. Tanpa sadar dia menarik dan memakai
lagi celana dalamnya. Sedetik kemudian dia hanya bisa terbengong melihat
kejadian Albie di bekuk oleh ketiga teman Ben. Ben pun mulai bangkit
berdiri. Memakai celananya kembali, menyeka bibirnya yang bersimbah
darah dengan punggung tangannya. Buku-buku jarinya mengepal dan
membentuk tinju. Kemudian dia sedikit berlari menghampiri Albie dan
meninjunya keras-keras. Albie tidak tersungkur karena dipegangi ketiga
teman Ben, tetapi Rere melihat Albie tertonjok telak dan langsung
mengeluarkan darah di salah satu lubang hidungnya.
Albie berusaha melawan. Tetapi ketiga pegangan pemuda itu sungguh kuat menguncinya.
“SIAPA LO?!!” teriak Ben marah. Tangannya tetap terkepal membentuk tinju yang Rere yakin sangat menyakitkan kalau terkenanya.
“EH PENGECUT! KALO BERANI SATU LAWAN SATU. JANGAN KEROYOKAN GINI!
DASAR BANCI LO!!! CUIH!!” Albie pun tak kalah geramnya sambil meludahi
Ben dengan segala keberaniannya.
Seakan tersambar petir, Rere menyadari kalau mereka tidak mengenali
Albie. Berarti mereka bukan suruhan Albie. Rere sungguh menyesal mengapa
dia sempat menyalahi Albie. Ternyata Albie datang untuk menolongnya.
Rere tahu kalau saat Albie meludahi Ben, sesuatu yang buruk akan
menimpa Albie. Dengan segala kemampuannya Rere bangkit berdiri, berlari
terpincang-pincang dan segera memeluk Albie seolah melindungi Albie dari
Ben dengan badannya yang kecil dan terluka.
“Albie…” tangis Rere sambil memeluknya keras menghiraukan keempat pemuda yang lain.
“kamu engga apa-apakan Re? Tenang aja Re, semua akan baik-baik aja…”
jawab Albie berusaha menenangkan Rere meskipun dengan posisi terkunci
dia tidak bisa membalas pelukan Rere yang sudah lama dia nantikan.
Ben rupanya tersadar kalau yang memukulnya bernama Albie. Lantas saja
dia menarik tubuh Rere menjauh dari pelukan Albie ke pelukannya
sendiri. Sambil memeluk Rere dari belakang, Ben mulai memperhatikan
Albie yang masih memberotak kunci sekapan mati dari ketiga sahabatnya.
Untuk pandangan seorang laki-laki, menurut Ben Albie memang laki-laki
yang ganteng. Hidung yang mancung menghiasi wajahnya yang putih.
Badannya tegap atletis. Tingginya juga sama dengan tinggi dirinya dan
teman-temannya.
“Jadi elo yang namanya Albie…” Ben bertanya sambil terus memeluk Rere dari belakang.
“Jangan sentuh Rere lo bajingan!! Siapa yang nyuruh lo! Suruh dia
berhadepan sama gue!! Dasar lo pengecut semua!!” Albie tetap menantang
walaupun menurut Rere posisi Albie sekarang sangat tidak menguntungkan.
“Ben, kita bikin mampus aja nih anak! Belagu banget!!“ Zack menimpali tak sabar.
“Jangan… Dia gak boleh disakitin…Itu udah termasuk perjanjian.
Katanya dia gak mau terjadi apa-apa sama dia” jelas Ben ke
teman-temannya. Nampaknya Sam tidak setuju, tetapi dia tetap menepati
perjanjian itu dan kedua yang lainnya pun akhirnya setuju.
“APA LO BILANG?!!” Albie kembali berteriak. “SIAPA… SIAPA YANG NYURUH
LO SEMUA!!?? BILANG SIAPA YANG NYURUH LO!!!!!” Albie semakin geram.
Rere berfikir kenapa orang di balik semua ini tidak mau menyakiti Albie?
Kenapa Ben dengan gampangnya melayangkan tamparan dan pukulan ke
dirinya tetapi tidak boleh menyakiti Albie? Sesaat kemudian Rere
tersadar bahwa dirinya sakit, lututnya pun kembali mendenyut nyeri dan
sedetik kemudian diapun tidak bisa menahan berat badannya dan terjatuh
lunglai dalam pelukan Ben.
Dengan badan merosot lunglai dipelukan Ben, Albie melihat dengan
jelas bahwa tangan Ben tepat berada di buah dada Rere menahan agar Rere
tidak jatuh dan tetap berada di pelukannya, dan Albie pun menyadari
bahwa Rere sudah setengah telanjang dengan seragamnya yang sudah
compang-camping. Darah berdesir hebat di kepala Albie. Menahan amarah,
Albie terus berkutat. Tahu bahwa mereka tidak boleh menyakiti Albie,
Sam, Zack dan Dave hanya terus berusaha menahan dan mengunci Albie
sementara sahabatnya yang satu lagi dengan santai menjamah tubuh
perempuan cantik yang terkulai lemas di pelukannya.
“LEPASIN TANGAN LO BANGSAT!! LEPASIN RERE!!” teriak Albie dengan nada
kebencian yang luar biasa. Namun Rere tetap terpeluk. Tubuhnya meronta
lemah dipelukan Ben.
“Tenang bro… kalau gue lepas, cewe idaman lo ini bakalan jatuh.
Kayanya kakinya patah tadi…“ jawab Ben santai. “Kamu sih pake ngelawan,
jadinya kaya gini tuh…“ sapa Ben ramah kembali kepada Rere sambil
memberikan kecupan di bibir Rere sengaja membuat Albie panas. Rere pun
tidak bisa berbuat apa-apa, hanya air mata tak hentinya mengalir dari
matanya yang sayu.
Albie terus memberontak berusaha melepaskan ikatan teman-teman Ben.
Pergelutan antara bibir Ben dan Rere tampaknya terus berlangsung
sambil tak lupa tangan Ben terus menggerayangi seluruh tubuh Rere bahkan
ke daerah-daerah sensitif Rere. Rere sedikit menggelinjang merasakan
cumbuan Ben. Dia merasakan sentuhan itu tepat mengenai hatinya yang
sakit. Rere pun kembali menangis. “Jangan… mmphh“ mulut Rere terus
dilumat sementara Rere terus menolaknya.
Lima menit cumbuan itu berlangsung diiringi dukungan semangat dari
ketiga temannya sementara Albie terus berkutat sambil berteriak-teriak
berharap ada orang yang mendengarnya dari luar. Rere seperti sudah di
vonis untuk diam tak berkutik. Diapun tidak bisa menghidari ciuman dan
serangan tangan Ben diseluruh tubuhnya. Namun dia berusaha menutup
bibirnya agar lidah Ben tidak masuk ke dalam. Sementara Ben semakin
jenuh dengan penolakan Rere, lantas dia menekan keras dilutut tempat
bagian tubuh Rere yang terluka sehingga membuat Rere mengerang
kesakitan. Dan kesempatan disaat mulut Rere terbuka inilah Ben
memasukkan lidahnya ke dalam dan memainkannya di sana.
Albie sungguh tersiksa melihat kejadian tersebut. Dia terus
berteriak-teriak menyumpahi kata-kata kotor kepada Ben. Sampai akhirnya
Ben tersadar saat Albie meneriakan “KALO LO SAMPE PERKOSA DIA!!! GUE
SUMPAH, GUE BAKAL HABISIN KELUARGA LO. GUE JUGA BAKAL PERKOSA ADIK
PEREMPUAN LO!!!!“ Ben menghentikan ciuman dahsyatnya. Kemudian dia
terdiam. Selama 2 detik dia berfikir sampai dengan sangat tiba-tiba dia
terbangun dan melepaskan Rere yang langsung otomatis terjatuh lunglai di
tanah, berjalan menghampiri Albie..
“Denger ye, gue punya penawaran menarik buat lo.” Seru Ben pelan di
wajah Albie dan teman-teman Ben. “Emang perjanjiannya gue gak boleh
nyakitin elo dan gue gak boleh make dia kalo dia masih perawan. And
guess what ?…She is a virgin…jadi emang gue gak boleh make dia” katanya
sambil menoleh sebentar-sebentar ke arah Rere yang terduduk lemas di
tanah sambil memegangi kakinya.
“Taaaaaapiiiiiiiiiiiiiii…” lanjut Ben dengan nada panjang, “Cewe
idaman lo ini bener-bener OK banget bro… gue gak bisa nahan konak kalo
ngeliat dia… temen-temen gue juga… mereka niatnya mau make cewe lo
virgin atau gak virgin. Jadi apa boleh buat!??” Ben mengangkat bahunya
santai.
“Cuman gue masih punya hati bro…Penawaran gue, berhubung dia itu cewe
idaman lo, gue mau lo pake dia duluan. You take her virginity… abis dia
udah gak virgin lagi, baru gue and temen-temen gue gantian yang make
dia… Kan jadinya gue gak melanggar kontrak. Kalo lo dah pake dia,
berarti kan dia udah gak perawan lagi. Jadi kita-kita bisa make dia…
he…he… gimana?” Ben menjelaskan dengan tersenyum sinis.
“JANGAN MIMPI LO BANGSAT!!!!!” Albie nampaknya geram sekali dengan
pernyataan Ben. Rere juga terkejut dengan rencana itu. Dia sampai
meringkuk melingkar sambil berusaha menahan sakit di kakinya.
Ben nampaknya sudah yakin dengan keputusannya. Lalu dia berjalan
mendekati Rere, sedetik kemudian dia merangkul dan membopoh Rere masuk
ke dalam kompleks sekolah.
“Come on guys… Bawa tuh si Albie…” Ben memerintahkan
teman-temannya yang masih menjepit Albie. Mereka pun langsung menggeret
Albie mengikuti Ben.
Ben rupanya menuju ke salah satu ruang kelas yang belum (lupa)
dikunci pak Somad. Rere mengenali dia masuk ke ruang BP. Dengan berusaha
kuat dia menyeret kakinya yang sepertinya patah dan terpaksa mengikuti
Ben yang membopong paksa menuju ke ruang BP.
Di dalam ruang BP terdapat beberapa Sofa kecil dan satu sofa panjang
mengitari satu meja dengan rapi. Ben membuang Rere ke sofa panjang
tersebut. Spontan Rere terpekik ketika dia terduduk jatuh ke sofa. Dan
lagi-lagi Rere merasa kakinya sudah sangat tidak tertahankan. Rere
melihat Ben menggeret dan memindahkan sofa-sofa kecil dan meja ke sudut
ruangan. Dari bingkai pintu juga Rere melihat Albie yang baru tiba
dengan Dave, Zack dan Sam. Mereka masuk ke dalam ruangan BP yang
sekarang sudah sangat lega. Ben selesai menggeser sofa terakhir ke pojok
ruangan dan segera menghampiri Rere. Sekilas Rere pikir akan di angkat
lagi oleh Ben, tetapi Rere salah. Tangan Ben yang menuju arahnya menarik
seragam putihnya dengan paksa. Lalu Ben juga mengoyak rok abu-abu
Rere,menariknya terlepas. Rere sekarang hanya mengenakan bra dan celana
dalam saja. Spontan dia langsung berusaha menutupi dirinya dengan kedua
tangannya meskipun menyadari kalau itu sia-sia saja. Albie yang melihat
hanya bisa memberontak kuat dari pegangan ketiga kawan Ben. Lalu Ben
kembali menelanjangi tubuh Rere, dia segera melepas bra dan celana dalam
Rere.
Tampak selama sepersekian detik Ben terbengong dan terkagum melihat
keindahan tubuh hasil penelanjangannya itu. Tubuh Rere begitu indah,
mulus dan putih. Buah dadanya pun masih sangat kenyal, kencang dan padat
dengan ukuran 34 B. Ben juga menelusuri selangkangan Rere yang putih
bersih. Bulu-bulu halus menghiasi permuaannya membentuk seperti bukit
mungil. Rere berusaha menutup kakinya dan dia sekarang benar-benar sudah
sangat ketakutan. Kalau boleh memilih, Rere ingin tubuh telanjangnya
hanya boleh di nikmati Albie saja. Tetapi hal ini tidak mungkin.
“Tolong… Jangan perkosa saya…” Sekarang nada bicara Rere sudah sangat
sopan dan ketakutan. Menyerah dengan keadaan, berusaha memohon dengan
segala kehinaan kepada Ben yang masih mengagumi tubuh indahnya.
Albie pun tanpa sadar juga mengagumi tubuh gadis idamannya, “Bagus
banget badan kamu Re…” kagum Albie dalam hatinya. Tetapi dia masih bisa
mengendalikan diri dan segera memalingkan pandangannya ke sudut ruangan.
Berusaha untuk tidak lebih menelanjangi Rere dengan tatapan matanya.
Sementara ketiga orang yang memegang Albie pun sama-sama tertegun akan
sosok telanjang gadis di depan mereka. Mata mereka tak pernah berpindah
dari tubuh Rere, terutama buah dada dan kemaluan Rere, tetapi tangan
mereka tetap memegang keras sekapannya.
“Sekarang lo pegang nih badan cewe lo…” jawab Ben santai. Albie yang
sedari tadi masih memandang sofa yang tertumpuk dipojokan, tahu
kata-kata itu akan keluar dari mulut Ben semenjak dia mengatakan ‘lo
pake dia duluan’. Ben tidak beranjak dari tempatnya. Dia tidak mau
menikmati tubuh Rere dengan cara seperti ini. Tidak untuk sekarang at
least. Tapi dia juga tidak mau anak-anak ini menikmati tubuh Rere
apalagi setelah Albie tahu Rere masih perawan. Sungguh sempurna wanita
idamannya. Dia pikir, dengan kecantikan dan gaya hidup yang Rere miliki
akan sulit untuk mempertahankan keperawanannya pada jaman sekarang ini.
Tetapi princess-nya itu benar-benar sempurna. Albie jadi semakin cinta
kepadanya. Albie segera sadar dari lamunannya ketika dia merasa badannya
didorong paksa.
“Eh ngapain lo… JANGAN!! LEPASIN GUE!!” katanya ketika dia dipaksa
menghampiri Rere, tangan Albie pun dituntun paksa untuk menyentuh tubuh
Rere. Rere yang tersimpuh hanya bisa melihat Albie memberontak sambil
didorong ke arahnya. Tak lama kemudian dia merasa buah dadanya sekarang
sudah ada di remasan tangan Albie.
Albie merasa perasaannya sekarang ada di dua tempat. Marah dan
bahagia. Dia senang menikmati tubuh Rere walaupun dia lebih suka dengan
cara yang romantis. Tapi disaat yang sama dia benar-benar marah ketika
dia dimanfaatkan keempat orang tersebut untuk menikmati tubuh gadisnya
itu. Tangan Albie terus menempel atas paksaan Sam di dada Rere, Sam
meremas tangannya dari atas dan otomatis juga membuat Albie meremas buah
dada Rere.
Rere mendengar dirinya mengerang sendiri. Ada perasaan aneh mengalir
pada dirinya. Rere merasakan seluruh dirinya bagaikan terbang ke
awang-awang. Tanpa sadar Rere memejamkan matanya seakan meresapi remasan
tangan Albie di buah dadanya. Remasan Albie pun sekarang berubah
menjadi remasan yang sangat halus, berperasaan dan penuh kasih sayang.
Rere membuka matanya dan dia melihat wajah Albie mulai mendekat dengan
wajahnya. Pori-pori kecil di hidung Albie yang mancung sudah terlihat
sangat jelas sekarang.
Albie pun mulai mengecup keningnya. Rere kembali menutup matanya.
Ciuman itu sekarang berpindah turun ke bibirnya. Rere sekali lagi tanpa
sadar membuka bibirnya membiarkan lidah Albie menari-nari menjilati
dinding mulutnya dan menggelitik lidahnya. Remasan kasar Albie di
dadanya tadi sekarang sudah mulai lembut dan halus menjamah seluruh
tubuhnya berpindah kepunggung Rere, mengangkat tubuhnya dan memeluknya
dengan mesra sambil mereka berpagutan terus menerus. Rere sungguh merasa
melayang sekarang, dalam pelukan Albie, dia bisa mencium laki-laki
dambaannya itu.
Mungkin Albie sudah tidak sadar atau sudah mulai terangsang, tetapi
Rere merasakan Albie melepas pelukannya. Dengan terus berciuman, Rere
membuka matanya dan melihat Albie juga sedang memjamkan mata. Namun
tangan Albie sekarang tidak memeluknya lagi. Sambil berciuman Rere
melihat Albie membuka bajunya sendiri. Sejurus kemudian Albie sudah
tidak mengenakan apa-apa lagi.
Rere melihat kemaluan Albie yang sudah tegak keras berdiri. Rere
memekik tanpa sadar memandang benda itu, sungguh besar dan panjang.
Namun Albie dengan sambil terus menciumi Rere kembali memeluk Rere.
Kulit mereka sekarang bersentuhan menempel erat seakan bersatu. Albie
mulai menurunkan ciumannya turun ke bawah, leher Rere terus diciumi
seakan dia menganggumi bentuk leher yang putih dan indah itu. Turun ke
bawah, Rere merasa buah dadanya dijilati Albie, sementara tangan Albie
terus menggerayangi seluruh tubuhnya.
Rere mulai mengaktifkan tangannya, dia sekarang berani memeluk Albie.
Meremas-remas dan memainkan rambut Albie sambil meresapi jilatan Albie
yang serasa maut di sekujur tubuhnya. Erangan Rere membuat Albie semakin
naik birahi. Remasan tangan Rere di punggung dan rambutnya mulai
memberanikan Albie membelai dan menyentuh pangkal paha Rere.
“Achh…“ desah Rere tanpa sadar ketika dirasakan sensasi yang luar
biasa terasa di daerah selangkangannya. Albie pun semakin gencar.
Kembali dia menciumi Rere sambil memainkan klitoris Rere.
“Aku sayang banget sama kamu Re…” bisiknya dengan mesra di kuping Rere.
“Bie… Aku juga sayang sama kamu…” balas Rere sambil terpejam.
Sekarang Rere merasakan tubuhnya dibaringkan oleh Albie. Rere tidak
menolak. Entah ini karena keadaan atau ancaman dari keempat orang yang
sekarang menonton mereka bergumul, atau memang hati Rere juga
menginginkannya. Albie membuka kaki Rere dan dengan sangat hati-hati
mulai mengarahkan batang kemaluannya ke bibir kemaluan Rere.
Seakan mengharapkan saat-saat seperti ini terjadi, Rere bersiap diri
dengan menggigit bibirnya dan mengkonsentrasikan seluruh pikirannya di
daerah kemaluannya. Seakan menanti saat-saat ini, dia memandang wajah
Albie yang sudah berkeringat. Tatapan Albie seperti menunjukkan bahwa
ini adalah hal yang terbaik untuk saat ini dan bahwa dia memang
sungguh-sungguh menyayanginya dan bahwa dia akan bertenggung jawab
dengan segala konsekuensinya. Rere pun mengerti. sekarang dia merasakan
suatu benda tumpul sedang menempel di pintu kemaluannya. Mencoba
mendorong masuk sambil menekan. Rere pun masih menggigit bibirnya.
“Sakit..“ katanya dalam hati ketika dia merasa sedikit dari benda itu
sudah berada dalam dirinya.
Albie pun dengan sangat hati-hati memasukan kejantanannya ke dalam
kemaluan kekasihnya itu sekarang. Sadar bahwa batangnya sudah masuk
setengah, Albie menariknya kembali dan mulai menggoyang-goyangkan secara
perlahan. Dilihatnya Rere yang masih memandangnya. Tetapi dia tidak
menggigit bibirnya lagi. Mulutnya sedikit terbuka dan mendesah pelan.
Albie pun tak kuat lagi untuk tidak menciumnya. Kembali ciuman itu
terjadi dan kali ini dengan penuh nafsu. Albie kembali mendorong
batangnya dan tersadar bahwa semuanya sudah menancap pasti di dalam
kemaluan Rere. Merasa seakan tubuh Rere memijit batang kemaluannya.
Dilihatnya Rere yang kembali menggigit bibir, berkeringat tetapi sangat
menggarirahkan. Albie terus melakukan dorongan-dorongan. Semakin lama
dorongan dan pompaan Albie di dalam kemaluan Rere semakin cepat. Rere
pun sudah mendesah dan mengerang dalam tiap tusukan batang Albie di
dalam tubuhnya.
15 menit sudah mereka bergumul dan menyatu ketika Rere mendengar
Albie mendesah panjang. Butir-butir keringat mereka sudah bercampur
menyatu. Albie terus mengerang sambil menggenjot kekasihnya. “Aku sayang
banget sama kamu Re…Ughh…“ Itulah yang dikatakan Albie sambil
berejakulasi di dalam rahim Rere.
Rere merasakan sesuatu yang hangat menyemprot rahimnya dan Albie
semakin kuat memeluknya. Seakan waktu berhenti, Albie tetap memeluk Rere
sekuat-kuatnya tanpa mencabut benda pusakanya dari dalam tubuh Rere,
seakan dia tidak akan melepaskannya lagi. Tidak ada gerakan sama sekali
kecuali pelukan dan nafas mereka yang terang-engah. Entah kenapa Rere
baru tersadar dan air matanya kembali menghiasi wajahnya yang sekarang
terlihat sayu dan lelah. Albie memandangnya, diakuinya Rere memang
sangat cantik walaupun keringat dan sedikit darah menghiasi wajahnya.
Sambil terus memeluknya, Albie menyeka air mata, keringat dan darah di
wajah Rere.
“Aku akan tanggung jawab Re…Swear… please kamu jangan nangis…
semuanya akan baik-baik saja…“ Albie menenangkan sambil mengusap wajah
Rere. Albie bisa melihat dengan jelas butir-butir air mata Rere yang
terus mengalir di pipinya.
Rere menangis dalam diam. Ekspresinya datar walaupun air mata tak
kuat dibendungnya, terus tumpah mengaliri pipinya yang mulus. Dia terus
menatap Albie yang tepat di atasnya, memeluk kuat dirinya dengan batang
kemaluan masih tertancap ditubuhnya. Tak disangka dia sudah kehilangan
keperawanannya, tak disangka dia menyerahkan keperawanannya kepada Albie
atau Albie yang merenggut keperawanannya yang selama ini dijaganya?
Keperawanan yang dijaga yang suatu saat nanti akan diberikan kepada
orang yang dicintainya. Tetapi kepada siapa keperawanan ini akan
diberikan? Rere berpikir dalam hati. Suaminya nanti? Siapa?
Dirasakannya Albie mengendurkan pelukannya dan dengan hati-hati
bangkit berdiri. Mencabut batang kemaluannya yang sudah mengecil. Rere
sekali lagi merasakan sensasi yang unik pada saat batang itu keluar dari
tubuhnya. Sesuatu mengalir keluar dari dalam kemaluannya. Dilihatnya
cairan kental putih bercampur darah keluar dari kemaluannya. Rere sadar
itu darah perawannya. Albie pun melihat dan langsung kembali memeluk
Rere sambil menciumi wajahnya.
“Aku cinta banget sama kamu… Aku sayang kamu… Re, aku akan selalu
bersama kamu…” Rere tidak tahu harus membalas dengan kata-kata apa. Dia
bingung bercampur sedih, marah, senang dan bahagia. Tetapi apa yang
harus dikatakannya pada Albie.
“Aku capek Bie… Aku mau pulang… Kaki ku sakit. Badanku rasanya
hancur… aku mau pulang Bie… Aku capek…!“ Seru Rere sambil menangis
dipelukan Albie. Memang ini hari yang panjang buat dirinya.
“Iya sayang… Ayo kita pulang… kamu harus istirahat…enggak deh, kamu
harus ke dokter dulu… aku cari dulu baju buat kamu“ Albie menenangkan
Rere. Tetapi ketika Albie berbalik kebelakang untuk mencari seragam Rere
tiba-tiba pukulan keras mengenai tengkuk Albie. Sekejap kemudian Albie
jatuh tak tersadarkan diri.
“Albie…!” teriak Rere.
“Enak aja lo… udah make mau langsung pulang!!” Rupanya Sam memukul
Albie dari belakangnya. Rere sama sekali lupa dengan mereka berempat.
Tadinya dia pikir dia sudah bisa pulang dan istirahat. Namun rupanya
mereka berempat masih belum selesai dengannya. Dilihatnya keempat
kawanan tadi masih tetap berada diruang itu. Rere juga kembali tersadar
bahwa persetubuhannya tadi dengan Albie ditonton mereka secara gratis.
Ben kembali berjalan memposisikan dirinya di depan teman-temannya. Rere beranggapan mungkin dia adalah ketua dari geng tersebut.
“Payah deh cowo kamu nih… masak abis selesai ngewe langsung pulang…
SMP banget sih!“ gerutu Ben sambil menjentikkan jarinya memerintahkan
teman-temannya untuk menggeser tubuh Albie. Mereka pun langsung
membopong tubuh Albie dan diletakan di sofa kecil di pojokan yang tadi
di tumpuk Ben.
“Nah, say… sekarang giliran kita-kita ya…“ seru Ben sambil kembali menjamah tubuh telanjang Rere.
“Tolong…jangan… saya capek… saya udah gak kuat…
sakit…sakit…Agghh…mmpphf…” begitulah kata-kata yang keluar dari mulut
Rere sebelum dibekam oleh ciuman dari bibir Ben.
Dengan ganas Ben mecium bibir Rere. Melahap seperti orang yang haus
akan ciuman. Sambil meremas buah dada Rere yang menggantung indah
didadanya, Ben terus menggarap Rere tanpa ampun. Dalam sekejap. Keempat
orang itu sudah tidak mengenakan apa-apa lagi. Keempatnya langsung
mengelilingi tubuh Rere yang masih telanjang.
Rere pun tak bisa mengelak ketika tangan-tangan nakal menggerayangi
setiap sudut tubuhnya. Seakan sudah diatur, Sam langsung menciumi dan
menjilati buah dada Rere, Dave pun langsung mendarat di leher dan
tengkuk Rere, memberIka n tanda merah tua berkat cupangannya nafsu di
leher Rere. Sementara Zack membilas kemaluan Rere dari sperma Albie dan
darah dengan tissue basah yang entah dari mana didapatnya dan langsung
menjilatinya dengan nafsu.
Rere merasa tidak kuat dengan perlakuan mereka, dia terus saja
mendesah dan mengerang oleh perlakuan mereka, entah karena rangsangan
atau siksaan. Tetapi dia tidak bisa meneruskan erangannya ketika dengan
tiba-tiba Ben memasukan batang kejantanannya ke mulut Rere.
“hisap dong sayang…“ katanya sambil menjambak rambut Rere dan membuat
kepala Rere maju mundur dalam selangkangannya. Sekilas Rere merasa
ingin muntah dan jijik. Dia tidak bisa bernafas. Serasa mulutnya yang
disumpal oleh benda besar panjang, kenyal tetapi keras itu juga menutup
hidungnya.
Rere berusaha mendorong selangkangan Ben dari wajahnya. Tetapi
jambakan pada rambutnya yang kuat membuatnya tak kuasa untuk
memaju-mundurkan wajahnya dengan batang kemaluan Ben di mulutnya. Dalam
menit pertama Rere merasa hal ini sangat menyiksa dirinya, tetapi
jilatan-jilatan dari ketiga yang lain membuatnya serasa terbang ke
awang-awang. Dia pun sekarang tidak melawan ketika Ben menuntun
kepalanya bergerak untuk memberikan pijatan pada batang yang ada di
dalam mulutnya. Dan Rere langsung mengalihkan perhatiannya ke bawah
ketika Rere merasakan sesuatu berusaha masuk ke dalam kemaluannya.
Rupanya Zack sudah siap dengan penetrasinya. Rere tahu dia tidak akan
bisa lolos dari itu, maka dia berusaha untuk menikmatinya mengingat
semakin dia melawan maka akan semakin lama penyiksaan ini. Rere berusaha
untuk mengimbangi setiap genjotan Zack di dalam kemaluannya sambil
terus menghisap batang kemaluan Ben di mulutnya. Sementara leher dan
dadanya di remas dan dicium bergantian oleh Dave dan Sam.
Lima menit sudah ketika Zack mengeluarkan spermanya yang langsung
menyemprot ke dalam rahim Rere. Langsung saja Dave menggantikan
posisinya tanpa harus membilas kemaluan Rere sampai 7 menit berakhir
ketika dia berejakulasi di dalamnya yang kemudian digantikan oleh Sam
yang langsung menggenjot dengan nafsunya. Sementara Ben semakin
mempercepat pemerkosaannya di mulut Rere dan mendorong kepala perempuan
di selangkangannya dengan cepat sambil menggoyang pantatnya maju mundur.
Rere merasa ujung batang Ben sudah ada di kerongkongannya. Mata Rere
kembali berair saking tidak bisa bernafas dengan teratur. Lalu tak lama
kemudian Ben mengeluarkan sperma di dalam mulut Rere yang langsung
meluncur lancar ke tenggorokan Rere. Rere langsung terbatuk tetapi Ben
segera mengatup mulutnya.
“Ditelan dong sayang… jangan di buang, mubajir…” katanya sambil
tersenyum. Rere pun dengan terpaksa menelan sperma kental itu. Dia
berusaha tidak merasakan rasa cairan yang mengalir licin ke
tenggorokannya, tetapi air matanya kembali mengalir. Di bawah sana Rere
mendengar Sam mengerang panjang sambil menancapkan batangnya dalam-dalam
di liang sanggama Rere. Rere tahu dia dan kedua orang sebelumnya sudah
berejakulasi di dalam liang kemaluannya.
Bagi Rere sepertinya waktu berjalan sungguh lambat hari ini. Ketiga
orang yang bersanggama di dalam kemaluannya tadi sekarang masih mencoba
untuk meneguk manisnya tubuh Rere dengan berbagai macam posisi.
Sementara Ben masih dengan nafsu tinggi mencumbunya tanpa sedikitpun
menyentuh kemaluannya. Rere tidak mengerti kenapa Ben tidak menyentuh
daerah vitalnya sama sekali, yang pasti Rere sudah merasakan lelah yang
teramat sangat, luar biasa sakit menyiksa sekujur tubuhnya dan seakan
dunia sedang berputar-putar di sekelilingnya, matanya berat, kepalanya
sakit dan tubuhnya sangat berat sampai akhirnya Rere tergolek pingsan
tak sadarkan diri.
#####################
Part 2
Rere sedang terduduk di kursi malas sambil membaca-baca tabloid
gossip seputar selebritis. Nana Mirdad sekarang sedang hamil tua. Kok
secepat itu ya? Apakah memang dia betul-betul MBA (married by accident)
seperti yang orang-orang gosipin?. Rere terus membalik-balikkan
lembaran demi lembaran tabloid ketika seseorang membuka pintu,
dilihatnya Ben menghambur masuk ke kamarnya. Sosok laki-laki tampan,
tinggi dan putih tetapi sangat di Benci Rere, kenapa ada disini? Kenapa
dia bisa masuk ke kamarnya sementara mama-papanya saja harus mengetuk
dahulu dan meminta ijinnya sebelum masuk ke kamarnya.
“Hallo sayang…” Ben menyapanya sambil mengecup keningnya. “Kamu dah
makan belum?” Seolah tanpa salah, Rere mengelak kecupan di keningnya
itu.
“Ngapain Lo ke sini?!… Ngapain Lo ke kamar gue!!… PERGI LO!!! KELUAR
DARI KAMAR GUE!!!… PERGIIIIIIIII!!!” Teriak Rere kasar. Dia masih ingat
ketika Ben dan ketiga kawannya memperkosanya beramai-ramai di sekolah.
“Kamu ngomong apa sih sayang???? Ini kan kamar kita berdua, jadi ini
kamar aku juga” Jawab Ben kelihatan khawatir dengan sikap Rere.
“JANGAN MIMPI LO!!!! PERGI LO SANA!! KELUAR DARI KAMAR GUE!!” teriak Rere histeris.
“Kamu kenapa sih Re?? Ini aku Ben… Suami kamu… Kamu kenapa? Kamu
demam ya?“ Ben berusaha meraba kening Rere, tetapi Rere dengan cepat
mengelak.
“APA?! SUAMI?! CUIH! MANA BISA LO JADI SUAMI GUE!!! SAMPE MATI GUE
GAK MAU JADI ISTRI LO!! JANGAN MIMPI LO!!” masih dengan nada tinggi,
Rere seakan mendengar suaranya melengking saking marahnya.
“Re, kamu ngomong apa? Jangan gitu!! Ingat kamu lagi hamil tua… itu
anak kita… anak aku, suami kamu…“ Ben berusaha menjelaskan dan
menenangkan Rere. Tetapi setelah mendengar perkataan Ben, Rere bukannya
tenang melainkan bingung. Suami? Hamil? Anak?? Spontan dia melihat ke
bawah. Dilihatnya gelembung besar di daerah perutnya. Rere meraba
perutnya. Memang dia sedang hamil. Hamil besar. Apakah ini hasil dari
pemerkosaan waktu itu? Dia tidak mau anak ini. Lalu dengan keras dia
memukul perutnya, mencoba membunuh mahluk hidup yang ada di dalamnya.
Rere kesakitan. Sakit tepat ketika dia memukul perutnya. Sekejap
kemudian dia terbangun dari kursi malasnya.
Alih-alih kursi malas, ternyata Rere masih tergeletak di suatu
ruangan. Rupanya dia tadi bermimpi. Dilihat sekelilingnya gelap gulita,
didapati dirinya masih telanjang bulat. Perutnya sakit akibat pukulan
tanpa sadar di mimpinya sendiri. Tubuhnya basah bermandikan keringat.
Rere berusaha memfokuskan pandangannya yang buram. Dia meraba sesuatu di
sebelahnya. Dilihatnya samar-samar, itu Albie. Rere terkejut ketika
melihat Albie pun tertidur telanjang bulat seperti dirinya. Rere melihat
sekelilingnya. Sepertinya dia kenal ruangan ini. Rere bangkit berdiri.
Tetapi tiba-tiba kakinya sakit luar biasa. Sekujur tubuhnya sakit.
Selangkangannya terasa perih dan panas.
Akhirnya Rere ingat. Dia masih diruangan BP sekolahnya. Kembali dia
tersadar atas apa yang baru saja menimpanya. Tertatih-tatih Rere
berjalan sambil mencoba meraba ke tembok-tembok berusaha meraih
electricity outlet untuk menghidupkan lampu atau mencari penerangan.
Ditemukan electricity outlet dan dihidupkan lampu. Ketika ruangan sudah
terang, dilihatnya ruangan itu, masih segar dalam ingatannya ketika
Albie merenggut keperawanannya di sofa sana , juga ketika Ben, Dave, Sam
dan Zack yang menyetubuhinya beramai-ramai. Dan Rere juga teringat
karena merekalah dia jatuh pingsan. Dilihatnya jam yang ada di
tangannya. “Jam 9 malam…” katanya dalam hati. Pasti mama sudah
mencari-carinya. Mungkin sudah menelepon ke HPnya untuk menyuruh pulang.
Rere tidak ingat dimana tasnya, dimana semua barang-barang bawaannya.
“dingin…” Rere berseru pelan kepada dirinya sendiri. Rere berusaha
mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Tetapi setelah
dia sadar bahwa tidak ada sehelai Benang pun untuk menutupi
keterlanjangannya, Rere pun merosot terduduk. Jongkok sambil memeluk
kakinya. Membenamkan wajahnya di kedua lututnya yang masih sakit,
terisak-isak menangis.
Rere tak tahu sudah berapa lama dia tersedu-sedu ketika didengarnya
disudut ruangan Albie mengerang pelan. Rupanya Albie sudah sadarkan
diri. Rere melihat Albie memegangi kepalanya yang beberapa jam lalu
dihantam keras oleh Sam sampai dia jatuh pingsan. Beberapa saat kemudian
Albie pun menyadari sesenggukan Rere di tempat Rere membenamkan
wajahnya di kedua lututnya. Albie bangkit berdiri dan menghampiri Rere.
“Re… kamu masih disini? Aku pikir kamu udah dibawa mereka… Kamu gak
apa-apa kan?” Albie membelai rambut Rere yang sudah awut-awutan itu.
“Apanya yang gak apa-apa Bie??“ seru Rere sambil menangis. “Kamu udah liat apa yang terjadi!!“
“Sorry Re, aku gak tahu… si bangsat itu mukul aku dari belakang… Apa
yang terjadi Re??“ tanya Albie sambil terus membelai rambut Rere,
berusaha menenangkan suaranya meskipun dia bisa menebak apa yang akan
dijawab Rere.
“AKU DIPERKOSA BIE!!!!“ Rere menepis tangan Albie dari kepalanya.
“ABIS KAMU PINGSAN AKU DIPERKOSA RAME-RAME SAMA MEREKA!!“ teriak Rere
histeris, seolah itu adalah kesalahan Albie. “MEREKA MENGGILIR AKU BIE!!
MEREKA MAKE AKU RAME-RAME… DI SANA! MEREKA BUANG DI DALAM PERUT AKU
BIE!!“ sambil menunjuk sofa tempat perbuatan maksiat itu terjadi. Albie
pun tahu, ketika melihat tempat yang ditunjuk Rere, dilihatnya darah
kering tercetak di cover sofa itu. Albie sadar itu adalah darah perawan
Rere yang sudah diteguknya.
“Ok Re, aku minta maaf… aku terpaksa… aku dipaksa mereka…“ Albie
seolah kehabisan kata-kata, menyadari kesalahan itu pantas dibebankan
kepada dirinya. Bingung harus berbuat apa-apa, Albie pun memeluk erat
Rere yang masih terduduk di lantai.
“Seperti kata-kataku tadi, aku mau tanggung jawab Re, aku gak akan
meninggalkan kamu.. Aku akan terus berada disisi kamu… Swear! Aku janji…
Aku akan terus menyayangi kamu apa adanya…“
“Aku…aku takut Bie… Aku takut…“ Rere membalas pelukan Albie, dia
menggigil hebat. Menggigil kedinginan atau ketakutan? Albie tidak bisa
mengenalinya. Sekejap kemudian Albie beranjak dari pelukan Rere, mencoba
mencari pakaiannya, tapi tidak ditemukannya.
Rupanya Albie tidak kehilangan akal. Dia segera menuju meja di dalam
ruangan itu. Membuka lacinya dan merogoh-rogoh mencari sesuatu. Rere
melihat Albie mengeluarkan gunting besar dari laci itu. Lalu Albie
berjalan menuju Sofa panjang. Diguntingnya sofa tersebut mencoba
mengambil kulit penutupnya. Setelah itu di gunting menjadi dua. Salah
satu dari kain bahan sofa itu diselimutkan ke Rere, dan yang lainnya
dililitkan ke tubuhnya menutupi setengah bagian bawah tubuh Albie.
“kamu mau ke mana Bie?“ Tanya Rere ketika dilihatnya Albie memegang daun pintu dan membukanya.
“Aku mau cari sesuatu buat kamu pakai Re, biar kita pergi dari tempat
ini…mungkin di ruang laboratorium ada seragam workshop…“ jelas Albie.
“laboratorium pasti udah dikunci Bie… Di mobil ku ada baju serep…
tapi aku gak tau kuncinya ada di mana…” Rere berfikir keras dimana dia
meninggalkan tas sekolahnya. Apa masih di dalam kelas? Tidak mungkin!
Tadi ketika dia keluar dari kelas, dia sudah menjinjing tas sekolahnya.
Juga ketika dia ijin kepada Ika untuk ke toilet, dia juga masih bawa tas
sekolahnya itu.
Tiba-tiba Rere ingat, Ben membuang tas sekolahnya ketika dia berusaha meraih Hpnya.
“Toilet perempuan… Bie, tas aku ada di toilet anak perempuan…”
“OK Re, aku ambilin. Kamu tunggu di sini…”
“Enggak Bie, aku takut… aku ikut kamu aja… aku gak mau ditinggal sendiri…“
Albie pun melilitkan kain bahan sofa ke tubuh Rere. Ketika Rere
mengangkat tubuhnya sendiri untuk mencoba berdiri, Albie melihat buah
dada Rere yang ranum dan putih menggantung indah. Dan ketika Rere
berusaha berdiri dan tertatih menahan berat tubuhnya dengan satu kakinya
yang masih sehat, buah dada itu bergoyang-goyang dengan indahnya,
membuat darah Albie berdesir, berputar di otaknya turun ke bawah
menghantarkan darah hangat ke selangkangannya. Albie berusaha untuk
tetap berkonsentrasi menguatkan akal sehatnya. Tetapi ketika Rere
berdiri, dia juga melihat kemaluan Rere yang terpampang dengan bulu-bulu
halus dipermukaan kulitnya membuatnya tidak bisa menahan ereksinya.
“Ayo Re, aku bantuin jalan…“ tawar Albie mengalihkan perhatiannya.
Mereka berjalan dalam kegelapan gedung sekolah menuju ke lantai dua
tempat toilet perempuan dimana Rere meninggalkan tas sekolahnya. Pikiran
Albie terus melayang kepada pandangannya beberapa menit lalu. Tubuh
telanjang Rere yang indah terus menari-nari didalam pikirannya sementara
dia membopong Rere menaiki tangga. Tiba di toilet perempuan mereka
langsung mendapatkan tas sekolah Rere yang tergeletak berantakan di
ujung sudut pojok koridor. Langsung saja Rere meraih tasnya sendiri dan
mereka bergegas ke pelataran parkiran sekolah.
Rere langsung membuka kunci mobilnya dan berjalan untuk membuka pintu
belakang. Albie membantunya masuk ke back seat mobil. Memang menurut
Albie Honda Jazz Rere seperti ’mobilku, rumahku’ dimana bangku
belakangnya sangat berantakan. Baju Rere berserakan dimana-mana, tetapi
anehnya hal itu tidak di anggap ’messy’ oleh Albie. Malah, ada perasaan
aneh terlintas dipikiran Albie. Celana pendek, baju you can see, tanktop
bahkan Bra Rere pun tergeletak sembarangan di bangku belakang. Boneka
bantal Winnie The Pooh besar menghiasi bangku belakangnya. Hal ini
membuat Albie merasa seperti berada di ’kamar’ Rere. Sekejap saja, hal
ini membuat darah Albie kembali berdesir apalagi melihat kekasihnya
setengah telanjang terbaring lemah tak berdaya dengan bercucuran
keringat dan sedikit bekas darah di pinggir bibirnya.
Albie mengambil tissue yang terletak di dashboard mobil dan air
mineral di botol yang ada di bangku depan. Di basahkannya tissue itu
dengan air sebelum Albie membasuh wajah Rere.
“Aku bersihin dulu Re, baru kamu pake bajunya… biar seger dikit…“
Albie mengelap wajah Rere, membersihkan sisa darah yang mengering,
kening dan lehernya pun di basuh. Tetapi ketika Albie membasuh leher
Rere yang jenjang, putih dan mulus itu, dia tidak bisa menahan untuk
tidak mengecupnya. Tanpa sadar Albie mendekatkan bibirnya ke leher Rere,
memberikan kecupan lembut di sana. Rere sedikit terkejut. Refleks Rere
mengelak dan mencoba menghindar. Hal ini membuat lilitan bahan sofa yang
ada di tubuhnya mengendur dan terbuka.
Waktu seperti terhenti, kurang lebih semenit mereka hanya
berpandangan. Dengan dada yang terbuka, Albie bisa melihat dengan jelas
tanpa gangguan keempat orang beberapa saat lalu bahwa buah dada Rere
sungguhlah indah dan ranum. Bra ukuran 34 B yang beberapa jam yang lalu
menopangnya, sekarang tidak tahu ada di mana. Kencang dan sangat
merangsang. Menantang orang yang melihatnya untuk menjamahnya atau
paling sedikit menyentuhnya. Albie ingin sekali menyentuhnya lagi,
menciuminya lagi. Hasratnya menunjukkan untuk mendekatkan wajahnya ke
buah dada Rere, tetapi hatinya mengatakan bahwa Albie seharusnya memulai
dari atas dulu.
Perlahan tetapi pasti Albie mendekatkan wajahnya ke wajah Rere,
memiringkan mukanya sedikit ke kanan dan entah perasaannya atau bukan,
dilihatnya Rere juga memiringkan wajahnya ke arah sebaliknya mendekatkan
wajahnya ke wajah Albie.
Bibir mereka bertemu, saling melumat satu sama lain. Sekarang Rere
membuka bibirnya, Albie tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan lembut
dia menyapu dinding-dinding rongga mulut Rere dengan lidahnya. Mecoba
melilitkan lidahnya dengan lidah Rere.
Di lain pihak, Rere merasa ciuman ini adalah ciuman rasa terima
kasihnya ke Albie karena sudah menolongnya. Rere berpikir sekarang dia
sudah aman dan bisa pulang. Atau memang dia menginginkan ciuman itu?
Tetapi Rere Benar-Benar sadar ketika dia mengalungkan lengannya
melingkar di leher Albie. Menikmati pagutan mesra di bibirnya. Albie pun
sekarang memulai mengaktifkan tangannya. Di peluk mesra gadis di
depannya itu. Dibukanya lilitan bahan sofa dari tubuh Rere yang membuat
Rere sekarang kembali telanjang bulat. Tanpa melihat dan sambil
berciuman, Albie meremas kedua buah dada Rere. Dia semakin bersemangat
dan terangsang ketika didengarnya Rere mendesah pelan dan bernafas berat
di wajahnya.
Ciuman berpindah dari bibir turun ke leher. Albie merasa tanpa
perlawanan Rere yang berarti menjelaskan bahwa Rere pun menikmatinya.
Kembali Albie mencoba turun lebih ke bawah lagi. Kali ini remasan di
dada Rere berubah menjadi jilatan dan gigitan kecil yang merangsang Rere
menjadi tinggi. Rere memejamkan matanya. Tangannya meremas rambut Albie
yang ada di dadanya. Merasa puas menggumuli buah dada Rere, dengan
hati-hati Albie merebahkan Rere di bangku. Winnie The pooh sekarang
berubah menjadi bantal, menahan baringan tubuh Rere di atasnya. Albie
turun lebih ke bawah lagi menuju selangkangan Rere. Menjilat dan
menekan-nekan tonjolan kecil di sana. Rere terkejut hebat dan
menggelinjang tetapi di saat yang sama dia merasakan sensasi yang luar
biasa di tubuhnya. “Aaacchhhhh… Bie…“ racau Rere terangsang berat.
Cairan Bening kental mulai keluar dari lubang kemaluan Rere. Albie terus
menjalankan jurusnya di selangkangan Rere. Jilatan di segitiga Rere
sekarang berubah menjadi hisapan kecil. Masing-masing hisapan Albie di
kemaluannya membuat Rere tak bisa menahan rangsangan yang bergejolak di
tubuhnya.
“Aaaaccchhhhhhhhhhh… Bie… masukin Bie… Aku udah gak tahan…“ Rere
heran mendengar dirinya berkata seperti itu. Tetapi itu bukan dirinya
yang bicara. Tetapi perasaan hawa nafsu di luar kendali Rere. Albie pun
mengambil posisi. Seakan lupa dengan luka di sekujur tubuhnya dan sakit
di perutnya, Rere membuka kakinya memberikan posisi mudah Albie untuk
berpenetrasi di dalam rongga kewanitaannya.
Peluh keringat menetes di dada Rere ketika jatuh dari dahi Albie saat
dia berusaha menaikinya. Kembali mereka berciuman mesra sambil
berpelukan seolah badan mereka serasa ingin menyatu. Albie menuntun
batang kemaluannya di mulut kemaluan kekasihnya. Menusuk pelan-pelan
agar sensasi yang didapatkannya dapat dinikmatinya. Jepitan demi jepitan
di setiap inci batangnya sungguh terasa luar biasa. Permainan kali ini
betul-betul lepas buat Albie. Respons luar biasa dari Rere pun
membuatnya terangsang lebih tinggi.
Habis tertelan kemaluan Rere, Albie mulai menggenjotnya naik turun.
Seperti tanpa lelah, ritme kali ini betul-betul teratur. Perlahan tapi
pasti, dorongan-dorongan dikemaluan Rere semakin cepat dan sensasional.
Rere hampir menggigit bibir Albie yang menempel di bibirnya. Pelukannya
semakin kencang seakan tak mau menyudahi kejadian ini. Tak lama kemudian
Rere merasakan otot pada batang yang ada di dalam kemaluannya semakin
kencang dan berdenyut keras. Tak berapa lama kemudian, Albie
menyemprotkan spermanya, dia berejakulasi di dalam kemaluan Rere.
Sengaja tertanam lebih dalam, Albie membiarkan batangnya tertelan
beberapa saat sampai batang itu mengecil dengan sendirinya. Menyudahi
dengan mengecup kening Rere, Albie mencabut kemaluannya di ikuti aliran
spermanya yang mengalir keluar dari kewanitaan Rere.
“Re…” Albie tak tahu harus bicara apa, “Makasih ya…”
Rere pun hanya diam saja. Bahkan ketika dia memakai celana pendek dan
memungut baju ’serep’ dari jok mobilnya, dia diam seribu bahasa saat
memakainya. Albie tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Tetapi dengan
mantap dia kembali melilitkan bahan sofa yang tadi terlepas ke bagian
bawah tubuhnya.
“Kamu tunggu sini ya… Aku mau cari kunci gerbang dulu. Mungkin aku
bisa cari di tempat pak somad…“ Kembali Rere diam seribu bahasa, tetapi
dia menganggukan kepalanya tanda setuju.
Albie pun keluar dan berlari kecil menuju belakang sekolah. Rere
terus melihatnya sampai Albie menghilang tertelan gelapnya gedung
sekolah.
Tidak sampai 10 menit berlalu Albie kembali dengan mimik lega.
Sepertinya dia berhasil menemukan kunci yang dimaksud. Tidak langsung
menghampiri Rere, Albie menuju gerbang sekolah, membiarkannya terbuka
lebar dan menghampiri Rere.
“Ayo kita ke pergi dari sini…” Katanya sambil membopong Rere pindah
ke bangku depan mobil. Rere pun mengangguk kuat seakan kata-kata itulah
yang ditunggunya sejak bel pulang sekolah berbunyi.. Albie menstater
mobil dan meluncurkannya keluar dari pelataran sekolah menuju keramaian
di luar sana.
“Kita ke dokter dulu ya Re… kamu harus periksa luka kamu…“Albie menyarankan. “Apanya yang sakit?” tanya Albie kembali.
“Tadi perut aku sakit banget, but it’s ok now tapi My leg is killing me right now…
gak tau, mungkin patah atau apa… hidung aku juga gak jelas patah ato
enggak…” jawab Rere. Hal ini melegakan Albie. Menandakan dengan menjawab
itu berarti Rere sudah tenang dan tidak marah kepadanya.
“Kok kamu bisa datang ke sini??“ Tanya Rere tiba-tiba ditengah-tengah perjalanan mereka.
“Aku emang belum niat pulang… suntuk banget abisnya. Tadi pulang
sekolah aku sengaja tunggu kamu di kios samping sekolah. Aku masih liat
mobil kamu di parkiran… jadi aku tungguin aja sambil ngobrol sama si
Gondrong yang jaga kios…“
“Trus, kok bisa masuk ke dalam kan ke kunci…?“ selidik Rere tiba-tiba.
“aku manjat tembok…Aku emang niat belum pulang dulu sebelum liat kamu
pulang trus selamat sampe rumah. Aku pikir kamu ada tugas penting di
sekolah sampe lama belum pulang. Kirain juga kamu lagi ngerjain apa di
Lab biologi ato di lab komputer gitu…“ “Sampe aku denger ada yang
gedor-gedor gerbang trus denger kamu teriak minta tolong…“ “si Gondrong
bilang itu cuma halusinasi aku aja karena aku kelewat khawatir and
tergila-gila ama kamu…“ jadi aku ngecek sendiri ke sekolah, aku liat
kamu udah mulai di tindihin sama si bangsat itu… jadi otak udah gak
mikir panjang langsung aku manjat tembok…“ Gerutu Albie ketika mengingat
bagaimana gadis impiannya di perlakukan oleh Ben dan teman-temannya.
Rere sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Dia sungguh takjub
mendengar bahwa Albie setiap hari selalu memastikannya selamat sampai
rumah sebelum dia sendiri pulang ke rumahnya. Entah apa yang akan
terjadi kalau Ben tidak datang pada saat itu. Mengulur waktu sebelum Ben
dan kawan-kawan memperoksanya? Toh akhirnya dia juga diperoksa
beramai-ramai. Tetapi setidaknya dia memberikan sesuatu yang berharga
miliknya kepada orang yang disayanginya. Dan perasaan lega ketika dia
mengetahui bahwa bukan Albie yang menjebaknya. Tetapi siapa? Ika? Tetapi
kenapa Ika bisa setega itu? Salah apa dia sama Ika?
Sesaat dia memikirkan bagaimana persahabatannya dengan Lola. Mungkin
sekarang saatnya dia mengesampingkan persahabatan dan mulai mengutamakan
perasaan hatinya. Mungkinkah?
——————————–
A little preview:
Biodata Rere:
Full Name : Renata Bargen
Nick name : Rere
Nama Ayah : Andy Bargen
Nama Ibu : Kinanti
Nama sahabat : Lola
Umur : 16 tahun
Tinggi / berat : 168 cm / 50 kg
Ukuran Bra : 34 B
Hobby : Hanging out, music, movie (any things involved in entertainment).
Ciri-ciri : Rambut lurus panjang di bawah bahu (toning burgundy mengikuti fash)
Hidung mancung mungil (mixed ibu dan ayah), mata bulat sedikit besar, bibir mungil berisi, kulit putih mulus terurus. (gorgeous).
——————————–
Rere dijebak temannya Ika sehingga dia perkosa oleh empat pemuda
berseragam putih abu-abu (tidak tahu dari sekolah mana) Ben, Zack, Sam
dan Dave. Dengan segala perlawanannya, Rere berusaha untuk menyelamatkan
diri sehingga menyebabkan beberapa luka di sekujur tubuhnya.
Albie laki-laki yang disukainya ternyata juga disukai sahabatnya.
Datang menolong pada saat Rere betul-betul tidak berkutik lagi. Tetapi
akhirnya pemerkosaan terus berlangsung dengan Albie memetik keperawanan
Rere lebih dahulu.
“Pak Somad masih pingsan… tapi aku pikir besok dia udah sadar…“ kata Albie tiba-tiba membuyarkan lamunan Rere.
“Ooo…“ seru Rere sekenanya, dia jadi teringat bahwa pak Somad memang tak sadarkan diri ketika dia meminta pertolongannya.
Honda Jazz Rere meluncur ke kawasan perumahan di daerah Bintaro. Rere
tahu itu adalah jalan menuju rumah Albie. Tiba di sana Albie
memarkirkan mobilnya di depan rumah.
“kamu tunggu sini ya Re, aku ganti baju dulu“ katanya sambil melirik
sepotong bahan yang melilit di pinggangnya. “Abis itu aku anterin kamu
ke dokter…” Rere mengangguk pelan dan Albie pun langsung keluar dari
mobil masuk ke rumahnya. Rere memperhatikan kompleks di perumahan
tersebut memang sangat sunyi. Dia tahu Albie memang tinggal sendiri di
rumahnya, seorang anak tunggal yang ditinggal kerja kedua orangtuanya di
luar kota. Rumah Albie besar, tetapi sedikit tak terurus. Banyak rumput
liar tumbuh lebih panjang di sekitar halaman depan rumahnya. 3 menit
kemudian Albie muncul dari dalam rumah mengenakan pakaian lengkap. Jeans
biru dan kaus denim warna merah ditutupi jacket jeans berwarna cream.
Mereka pun langsung meluncur kembali ke jalan besar. Albie
membelokkan mobil tepat ketika Rere melihat gedung sedang yang berplang
tertulis ’klinik 24 jam’.
“Cuma sedikit memar di pelipis dan bibir robek sedikit…“ demikian
kata dokter jaga yang memeriksa Rere di klinik tersebut. “Ini tulang
kering sepertinya tidak patah, cuma sedikit retak saja… ringanlah, tapi
kamu harus istirahat dan pakai gibs sampai kurang lebih 1 seminggu…
gimana? kok bisa jatuh sih? Kecelakaan di mana?“ selidik dokter.
“Cuma jatuh dari tangga aja kok dok, saya kepeleset abis tangganya
licin…“ Rere berbohong kepada dokter, rupanya dia dan Albie sepakat
untuk tidak menceritakan kejadian sebenarnya. Ada nada lega di setiap
kata-kata Rere, mengetahui bahwa dia tidak mengalami patah tulang.
Bagaimana nantinya kalau tulangnya patah nanti…
Setelah menyelesaikan segala sesuatu di klinik, Albie mengantar Rere
pulang ke rumahnya. Rere juga berencana untuk membohongi orangtuanya
dengan cerita yang sama yang diceritakan ke dokter. Dan Albie pun
langsung mengemudikan mobil Rere menuju ke rumah sang pemilik.
*********
Seminggu setelah kejadian yang menyedihkan itu, Rere akhirnya kembali
masuk sekolah. Desas-desus di sekolah selama Rere istirahat di rumah
mengatakan bahwa (dari versi pak Somad) ada sekawanan pelajar dari
sekolah lain yang menyerbu sekolah. Mereka (masih versi pak Somad)
rupanya rival dari sekolah ini, mau menghancurkan sekolah dengan
mengacaukan ruangan sekolah. Merusak apa saja yang mereka lihat dan
karena hanya salah satu ruang kelas saja yang terbuka dan juga ruang BP
yang kebetulan pada saat itu tidak terkunci.
Tidak ada yang mencurigai kenapa Rere harus istirahat selama seminggu
dan datang dengan menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan. Rere
pun juga bungkam seribu bahasa. Dia sudah memperingatkan Albie untuk
merahasiakannya juga. Albie bersikeras untuk meminta Rere melaporkan ke
pihak yang berwajib. Tapi entah karena hal apa, Rere lebih memilih diam.
Mungkin dalam pikirannya, jika semua khalayak sekolah mengetahui
kejadian itu, apa tanggapan mereka. Kasihankah? Jijikkah? Support
positifkah? Atau malah melecehkan dia karena sudah di ’pake’
beramai-ramai. Tetapi siapapun yang menjebaknya tidak pernah menunjukkan
tanda-tanda. Ika juga sungguh tidak tahu mengenai air mineral itu. Dia
sendiripun meminumnya dan pingsan di mobil tepat ketika supirnya
mengantarkan pulang. Rere juga mendengar bahwa teman sekelasnya itu di
bawa ke rumah sakit dan dokter memprediksinya hanya kebanyakan minum
obat tidur saja.
Lola masih tidak mau di ajak bicara, Rere berfikir kenapa dia cepat
sekali menghilang. Lola terlihat semakin menjauhi Rere ketika dilihatnya
Albie semakin dekat dengan Rere. Rere sendiri juga sungguh merana,
semenjak kejadian itu dia jadi sangat pendiam. Selalu murung dan tidak
pernah meninggalkan bangku kelasnya selain bel sekolah yang memulangkan
semua siswa. Tetapi sekali-sekali Rere masih menyempatkan diri untuk
meng-sms Lola, mungkin suatu saat dia mau mereplynya. Sepertinya usaha
Rere sia-sia, dia semakin merana. Rere merasa bahwa hari-harinya di
sekolah semakin membosankan saja. Dia merasa sangat kesepian. Kecuali
Albie (yang terus memperhatikannya), Rere merasa tidak punya hiburan
sama-sekali. Dia mau Lola ada di sampingnya, hang out bersama, nonton
bersama atau tertawa-tawa bersama seperti dulu lagi.
Kesepian Rere semakin menjadi ketika papa dan mamanya harus pergi ke Glasgow, Scotlandia untuk tugas kantor, “maybe three years, or four… We don’t know… depends on the duty dear…” papanya menjelaskan. “But, we’re going to pick you up right on your graduation, sweetheart...”
Orang tuanya memang menyarankan Rere untuk menyelesaikan sekolahnya
lebih dahulu di Jakarta . Dan mereka akan memboyongnya untuk kuliah di
sana .
Sebenarnya Rere ingin ikut papa-mamanya, tetapi memang dia harus
menyelesaikan pendidikannya dulu yang tinggal dua semester lagi. Sudah
empat minggu berlalu Rere tinggal sendiri di rumah hanya di temani
pembantunya. Sekarang dia sudah pulih seperti semula, tidak perlu
menggunakan tongkat lagi. Albie pun sering berkunjung kerumahnya hampir
setiap hari. Rere tidak mengerti, sekarang semenjak dia hidup mandiri,
kehidupan seks sepertinya sudah menjadi hal yang biasa saat Albie
berkunjung. Mereka pasti melakukannya jika ada kesempatan. Rere pun
tidak kuasa menolaknya. Sebenarnya Rere juga tidak kuasa menolak
kehadiran Albie ke rumahnya. Kadang dia merasa jenuh padanya. Tetapi
sekali lagi, dia memutuskan untuk menjalaninya pelan-pelan.
*********
Hari ini cuaca panas sekali. Di dalam kelas pun Rere merasakan udara
pengap yang luar biasa. Dia berharap pelajaran cepat selesai dan segera
menuju mobilnya untuk menghidupkan ACnya dan mungkin alunan coldplay
bisa mendamaikannya. Tetapi saat yang ditunggu-tunggu tidak kunjung
datang. Lagi-lagi Pak Burhan tak henti-hentinya menerangkan sejarah
tentang The Great War (War World One), War World Two dan prediksinya tentang War World Three semenjak kejadian 11 September di Twin Towers
WTC, US. Rere sungguh bosan luar biasa. Entah kenapa dia paling Benci
pelajaran sejarah walaupun dia tahu suatu saat pasti ada manfaatnya. “Who cares…”
katanya dalam hati. Bell berbunyi tepat ketika pak Burhan menceritakan
tentang kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan para pengamat dan
peneliti dunia saat kejadian 11 September tersebut. Sebenarnya hal ini
mungkin bisa dibilang menarik. Tetapi rupanya bukan hanya Rere yang
merasa bosan, teman-teman sekelasnya pun langsung membenahkan buku-buku
mereka dan segera berhambur keluar. “Kita sambung minggu depan…” teriak
pak Burhan agak keras. Memang suaranya kalah keras dengan kebisingan
aktivitas siswa-siswi pasca bell pulang.
Seperti yang dilamuni Rere, dia segera menuju pelataran parkir
sekolah untuk menghidupkan AC dan menyetel musik di mobilnya. Rere tahu,
Albie pasti lagi main basket bersama teman-temannya. Seakan tak perduli
karena panas yang menyengat, Rere sedikit berlari menuju mobilnya. Dia
sedang merogoh tasnya untuk mencari kunci mobil ketika tiba-tiba mobil
Carry hitam berhenti mendadak di depannya hampir menyerempetnya,
menggeser pintunya terbuka dan seorang pria tak di kenal mencondongkan
badannya, mendekap mulut Rere dan menariknya masuk ke dalam mobil. Rere
tidak menyangka hal ini akan terjadi. Kejadiannya begitu cepat, sampai
dia tak sempat untuk berteriak. “Now what…” gerutunya dalam
hati. Sampai di dalam mobil mereka langsung melaju mobil dengan
kecepatan sedang sehingga tidak ada orang yang curiga.
Rere hanya melihat 2 orang ketika dia terduduk di dalam mobil, satu
memegang kemudi dan yang satu lagi duduk di bangku tengah sebelahnya
yang tadi membekap Rere. Dia tidak bisa melihat siapa yang mengemudi.
Tetapi rasanya dia pernah melihat mata yang balik menatapnya dari kaca
di dalam mobil. Rere juga tidak bisa mengenali orang yang duduk di
sebelahnya, dia sungguh besar, dengan kulit coklat dan beberapa brewok
yang tak tercukur rapi. Jantung Rere berdegup kencang.
Rere berusaha kabur tetapi Carry ini hanya mempunyai satu pintu samping yang di geser dan di jaga oleh orang di sebelahnya.
“Siapa lo??!! Ngapain lo bawa gue!!! Buka pintunya!!” Teriak Rere
sambil mencoba meraih pintu mobil untuk menariknya terbuka. Tetapi tubuh
lawan di depannya sungguhlah kuat. Dia menghadang dan membekap Rere
yang melawannya.
“Hallo Re…pa kabar…” sapa tiba-tiba orang di depannya. Rere terkejut
melihat sosok yang sekarang menghentikan mobil dan memalingkan wajahnya
ke belakang untuk menyapa Rere. “Ben…” seru Rere dalam hati. Spontan
Rere menjadi pucat, teringat kembali bayangan-bayangan menyakitkan yang
terjadi 2 bulan yang lalu.
“Mau kemana sih? Kok buru-buru banget??” senyum Ben masih sama
seperti dulu. Sinis dan menakutkan. Senyum itu membuat wajah tampannya
menjadi tak berarti sama sekali.
“Ben…” Rere menyerukan nama itu tanpa sadar.
“Masih inget ya say… aku pikir kamu udah lupa… Oia, kenalin tuh
namanya Tony… aku minta bantuan dia buat ngambil kamu…” seakan hal ini
sudah biasa, Ben mengenalkan temannya yang langsung tersenyum sinis pada
Rere.
“Gue pikir semuanya udah selesai Ben… Lo mau apa lagi?? Lo udah
dapetin semua!!! Kenapa lo ganggu gue lagi!!?“ Teriak Rere hampir
menangis.
“Tadinya emang gitu say… tapi engga tau kenapa, semenjak kejadian itu
aku kebayang-bayang kamu terus…, kok kayaknya aku jatuh cinta ya…” Rere
merasa nada itu seakan melecehkannya. “Sayang ya papa-mama kamu lagi di
luar negeri… kalo enggak kan aku bisa dateng ngapelin kamu… kali aja
bisa ngelamar kamu… he..he..he…” spontan Rere terkejut bukan main. Dia
tahu itu kalimat sindiran. Dari mana Ben tahu kalo orangtuanya memang
sudah pindah keluar negeri.
“Ngomong apa sih lo… Bokap-nyokap gue ada di rumah. Kalo mereka tau
gue gak pulang mereka akan lapor ke polisi. Gue udah ceritain semuanya
sama mereka, kalo ada apa-apa sama gue, gue udah mastiin ke mereka kalo
lo yang ngapa-ngapain gue!!” Rere berbohong. Dia berharap Ben
mempercayai kata-katanya dan melepaskannya sehingga kejadian ini tidak
akan terjadi lagi.
“Aduuuh, kamu gak cocok banget ya kalo ngebo’ong…” balas Ben. “Aku
tau papa-mama kamu udah pindah ke luar negeri. Aku kan tiap hari
ngawasin kamu!! Lagian kalo emang bener cerita kamu. Emang orangtua kamu
tau siapa aku?? Dari mana dia bisa ngelacak aku… say.. kalo mau bo’ong
yang cantik donk…” celetuk Ben dengan nada malas dan kembali menyetir
mobil tanpa memperhatikan reaksi Rere.
Seakan sudah di vonis mati, Rere terkejut bukan main. Kembali
perasaan takut mengisi kepalanya. Spontan dengan segala upaya dia
mendorong tubuhnya ke depan. Meraih kemudi dan membelokkannya ke kiri,
ke tepi jalan berharap mobil ini akan menabrak sesuatu dan orang-orang
sekitar akan menolongnya “Lepasin gue!!!” teriaknya. Tetapi rupanya Ben
lebih tanggap. Dia segera menahan kemudi yang tak kalah kuatnya dengan
tarikan Rere. Tony pun langsung beriisiatif untuk menarik Rere ke
belakang dan menahannya.
“Lepasin gue lo bajingan!!! Lepasin gue!!!!“ Rere meronta dalam
dekapan Tony yang kuat. Kakinya menendang-nendang Ben di depan,
tangannya menggedor-gedor kaca berharap kaca itu akan pecah sehingga dia
bisa berteriak minta tolong. Tetapi ketika dia berupaya dengan sekuat
tenaga dari arah depan Rere merasa hidungnya ditutup dengan saputangan.
Seakan dunia tidak berudara. Rere sulit bernafas. Bau obat bius sangat
menyengat langsung mengalir masuk ke otaknya. Membuat dia pusing bukan
kepalang. Rere melihat seakan-akan seluruh isi di dalam mobil
berputar-putar di kepalanya dan tiba-tiba kepalanya berat luar biasa.
Tubuhnya lemas tak berdaya, dan akhirnya Rere jatuh terkulai tak
sadarkan diri.
Rere tidak bisa mengingat berapa lama dia pingsan, tetapi ketika dia
tersadar, dia berada di ranjang besar dan empuk berkerangka besi ukiran
yang indah di tata dengan beberapa bantal besar diselimuti bed cover.
Spontan Rere meraba tubuhnya. Lega, pakaiannya masih lengkap. Sejenak
dia memperhatikan ruangan sekitarnya. Sungguh mewah ruangan ini, dengan
home theatre lengkap di sudut ruangan beserta koleksi dvd
bertumpuk-tumpuk di sebelahnya. Dia bangkit turun dari tempat tidur
berjalan mengitari kamar berusaha mencari pintu untuk pergi dari tempat
ini. Ada beberapa pintu di sana. Rere menarik daun pintu dari salah satu
pintu itu. Ketika terbuka, ruangan disebelahnya adalah kamar mandi
besar dilengkapi dengan shower dan bathupnya. Hal ini biasa, yang
membuat unik kamar mandi ini dilengkapi dengan jacuzzi bulat dengan
gelembung air menguap dari bawah tak henti-hentinya. Rere menutup
kembali pintu itu. Dia sedang tidak ingin mandi meskipun dia tergoda
untuk mencoba menenggelamkan dirinya di jacuzzi itu, untuk menghilangkan
penatnya.
Kembali dia membuka salah satu pintu yang lain. Ternyata pintu itu
adalah pintu lemari pakaian dan sepatu. Bertumpuk-tumpuk sepatu tersusun
rapi di raknya. Baju-baju, kemeja dan kaos terlipat dan tergantung rapi
di salah satu sudut. Rere menyadari. Semua itu adalah ukuran dan model
untuk laki-laki. Berarti dia ada di kamar laki-laki. Tetapi kamar siapa?
Ben?
Rere menutupnya lagi dan membuka satu pintu yang tersisa.
“Terkunci!!” hatinya melengos. “Di mana ini…” kembali dia mencoba untuk
melihat sekelilingnya. Rere berkomentar kenapa kamar sebagus dan semewah
ini tidak mempunyai jendela satupun. Tiba-tiba dari pintu yang terkunci
terbuka menjeblak mengagetkan Rere yang terbengong takut di dalamnya.
Ben muncul dan masuk ke dalam kamar. Menutup kamar dan menguncinya dari
dalam.
“Udah bangun ya say… enak tidurnya??” Sapa Ben ramah. Rere tidak
percaya dengan mimik Ben. Spontan dia mundur berusaha menjauh dari Ben.
Rere melihat Ben hanya mengenakan celana pendek selutut dengan kaos
oblong warna putih dengan sebatang rokok yang menyala dan asbak di
tangan kanan, sementara di tangan kirinya dia menenteng paper bag besar
yang Rere tidak tahu apa isinya. Ben menghampiri Rere, tetapi Rere
lagi-lagi menjauhinya.
“Kamu kok kaya orang jauh aja sih say… takut?… apa malu? Gak usah
malu dong say…kita kan udah kenal luar dalem…” Ben tersenyum, tetapi
entah kenapa Rere tidak merasakan kesan manis di senyum itu.
“Pergi lo dari gue!!!! PERGI!!!!… TOLONG…TOLONG…TOLONG…!!” Rere
berteriak ke dalam tembok. Berharap suara itu bisa menembus tembok dan
memanggil orang dari luar. Tetapi dengan tenang Ben menghisap rokoknya,
menghembus asapnya dan berjalan menuju tempat tidur, meletakkan paper
bag yang dibawanya tadi di atasnya.
“Percuma say, kamu mau teriak sekencang apa juga gak bakal ada yang
denger… Sekarang kita lagi ada di villaku, letaknya jauh dari perumahan…
tapi jangan kebanyakan teriak… Aku pusing dengernya…” lagi-lagi Rere
merasakan nada dingin yang mengancam di setiap kata-kata Ben.
“Di dalam paper bag itu ada baju ganti buat kamu… baru sebagian sih…
ntar aku beliin lagi…mulai sekarang kamu tinggal disini sama aku sampai
kita pindah ke tempat lain…” Ben bicara lantang seraya berjalan ke arah
pintu seakan tak peduli dengan tawanannya. Rere tahu Ben mau keluar dari
kamar ini. Dia sendiri heran dengan apa yang akan dilakukannya. Dia
berlari ke arah pintu. Menghadang Ben di depan pintu tepat ketika Ben
akan menarik gagangnya.
“A..aa..Apa maksud lo…? Selamanya? Disini…? Sama lo??” Rere gugup dan bingung dengan pertanyaannya.
“Denger ya re…” sambil mengapit dagu Rere dengan punggung telunjuk
dan ibu jari tangan kanannya, Ben menengadahkan wajah Rere ke arahnya
dan mendekatkan hidungnya tidak lebih dari seinci dengan hidung Rere.
“Gue selalu ngedapetin apa yang gue mau… kalo gue bilang gue mau lo… gue
pasti ngedapetin lo walaupun dengan cara apapun… mendingan lo mandi
sana ganti baju biar seger… gue males maen sama orang yang loyo…” Rere
merasakan tangan Ben di dagunya dingin sedingin kata-katanya. Tetapi
bukan saatnya buat Rere untuk melempem. Dengan masih menghadang Ben di
pintu Rere berusaha bicara dengan lantang.
“Gue gak takut sama lo Ben…ato siapapun nama lo!!…Lo lepasin gue
sekarang ato gu…” belum sempat Rere menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba
‘PLAK’
Dengan Rokok dan asbak di tangan kiri, Ben menampar keras Rere dengan
tangan kanannya dan langsung mencekik leher Rere yang jenjang. Spontan
Rere tidak bisa apa-apa lagi. Tanpa sadar Rere memegang tangan Ben
dengan kedua tangannya seolah ingin melepaskan cekikan Ben yang ternyata
sangat kuat. Wajahnya yang putih lambat laun menjadi kemerahan. Matanya
berair menahan nafas yang rasanya sudah 1 jam lamanya seiring dengan
cekikan Ben di lehernya.
“Jangan pernah lo ngancem gue… Lo gak tau siapa gue!!! Mulai sekarang
gue yang nentuin apa yang boleh and yang gak boleh lo lakuin!! Mulai
sekarang lo harus nurutin semua perkataan gue… mulai sekarang nasib lo
ada di tangan gue…” sungguh-sungguh Ben berbicara seakan ingin
menunjukkan ke gadis ditangannya bahwa dia tidak main-main. Sambil
mencekik leher Rere, Ben menarik Rere menjauh dari pintu. “mendingan lo
mandi sekarang…” Ben melepaskan cekikannya, spontan Rere langsung
terjatuh bersimpuh di lantai karpet, lepas keseimbangan dan
terbatuk-batuk seakan udara yang masuk ke paru-parunya terasa sesak dan
sedikit.
Ben kembali menghisap rokoknya dengan tenang. “Gue mau pesen makanan…
sebentar lagi gue kesini… jangan pernah lo berani macem-macem…” kembali
ucapan Ben dingin seperti es bagi Rere. Akhirnya Ben membuka pintu dan
berjalan keluar. Rere tidak melihat Ben menutup pintunya, tetapi dia
mendengar tanda klik arti pintu kembali terkunci. Tanpa sadar Rere
mengisak, air matanya menetes di kedua pipinya yang putih mulus, dia
tidak tahu apa yang akan terjadi padanya nanti. Bagaimana nasibnya
nanti. Apakah Albie menyadari kalau dirinya sudah pergi ke tempat yang
Rere gak tahu ada dimana. Tas sekolah dan telepon genggamnya juga tidak
tahu ada dimana. Sambil berpikir, Rere berjalan menuju kamar mandi.
Mungkin Albie akan menyadarinya kalau dia melihat mobil Rere masih
terparkir di pelataran sekolah. “Ya, pasti Albie datang menolong lagi…”
Rere berusaha menghibur dirinya sendiri.
Rere membuka kran air dan menutup sumbat di bathup. Dia mengisinya
dengan air hangat… membuka pakaiannya dan meletakkan tubuh telanjangnya
ke dalam bathup yang sudah setengah terisi. “hangat…” katanya dalam
hati. Serasa dia lupa sedang berada dimana, dia menikmati tubuhnya
terendam air hangat dan menikmati bath time-nya, Rere memejamkan mata
dan mulai tertidur ketika tiba-tiba ada tangan yang menyentuh bahunya.
Rere terlonjak kaget. Ketika membuka matanya dia melihat Ben sudah ada
di sampingnya
“Kamu seksi deh kalau basah…” senyum Ben kembali menghiasi wajahnya.
Rere benar-benar benci orang yang ada dihadapannya. Dia mencari handuk,
tetapi tidak ditemukan. Dia mencoba mengambil seragamnya untuk menutup
tubuhnya. Tetapi seragam itu tidak ada di lantai tempat dimana tadi dia
meletakannya. Rere berusaha menutup tubuhnya dengan tangannya meskipun
dia tahu tidak akan berhasil. Alhasil, dia hanya menutupi buah dadanya
yang putih kenyal dan sangat menantang itu dengan melipat tangannya di
daerah tersebut sementara kemaluan Rere tak kuasa untuk ditutupi.
Ben dengan santai mencoba untuk mencium bibir Rere. Tak diduga, Rere
mendorong tubuh Ben menjauh dan keluar dari bathup. Ben pun terjatuh ke
lantai kamar mandi yang licin. Dengan telanjang Rere berlari keluar dari
kamar mandi menuju kamar, dia meraih pintu keluar, tetapi pintu itu
terkunci. Rere menelusuri kamar dengan pandangannya mencoba mencari
kunci untuk membuka pintu. Tepat ketika Rere berputar, Ben sudah ada di
hadapannya dan langsung saja kembali Ben menampar keras Rere hingga Rere
terjatuh terjerembab di lantai karpet. Ben memutar tubuh Rere agar
terlentang dan menindihnya. Dia langsung menciumi gadis yang ada di
bawahnya itu dengan nafsu yang tinggi. Rere masih saja berusaha untuk
menghindar, melupakan rasa perih dan panas di pipinya dan berat tubuh
lawannya.
“Jangan…please… gak mau… TOLOOOONG!!! TOLOOOONG…TOLLffmpph…” Ben
menghentikan lolongan Rere yang keras dengan menerkam bibirnya, melumat
dengan ganas. Lidahnya berusaha masuk ke dalam mulut Rere, bermain-main
di dinding rongga mulutnya. Tangan Ben yang kuat membekap kedua tangan
Rere ke atas, membuat tubuh Rere terlentang pasrah menantang lawannya.
Sambil menahan tangan Rere, Ben menindih dan mencumbui bibir Rere. Entah
kenapa permainan ini tidak bisa dinikmati Rere seperti waktu yang lalu.
Pikirannya kalut, marah, takut dan bingung menjadi satu. Dia
benar-benar tertekan. Cumbuan Ben sekarang turun ke buah dadanya.
Lagi-lagi mulut Rere yang terbebas kembali berteriak, hal ini membuat
Ben senewen. Dengan tidak melepaskan tindihannya. Kembali Ben menampar
Rere.
“Diam!! Ato gue siksa lo pelan-pelan!!” Ancaman Ben ternyata membuat
Rere ciut. Dia pun menjadi diam. Dia tidak mau disiksa, tetapi juga
tidak mau diperkosa. Rere memilih diam walaupun dalam hatinya sangat
memberontak.
Ben pun kembali meneruskan permainannya. Setelah mengetahui
ancamannya berhasil, Ben melepaskan bekapan tangannya pelan pelan. Rere
pun tidak berkutik lagi. Dia hanya diam terlentang tak bereaksi sama
sekali. Matanya menatap ke langit-langit, hampa dan kosong. Beberapa
tetes air mata menetes keluar tanpa reaksi. Sementara mulai membuka
pakaiannya satu persatu, sehingga dengan hitungan detik, Ben sudah
berbugil ria. Dia terus melumat tubuh Rere yang hanya pasrah menerima
setiap cumbuannya. Ben mulai menuruni badan Rere menghadapkan wajahnya
di selangkangan Rere. Ben membuka paha Rere dan membenamkan kepalanra di
pangkalnya. Ketika lidah Ben menjilat klit daging kecil di sana, Rere
menggelinjang sedikit. Bukan rangsangan tetapi perasaan tidak nyaman
yang dirasanya.
Rere sama sekali tidak menikmati pergelutan kali ini. Dia merasa
seperti di sangkar burung emas yang mengurungnya. Ketika dirasakan
batang kemaluan Ben mulai menekan liang sanggamanya. Rere berusaha
mendorong tubuh Ben dari atasnya. Tetapi Ben tak bergeser sedikitpun.
Dia semakin bernafsu mendengar Rere mengerang kesakitan. Tepat ketika
dirasakan posisi batang kejantanannya tepat di pintu sanggama Rere,
tanpa peringatan, Ben langsung menusukkannya jauh ke dalam. Rere
menjerit kesakitan. Kemaluannya yang kering tidak siap untuk dimasuki
benda apapun membuatnya sangat menderita. Ben sama sekali tidak
memperdulikannya, dia mulai menggenjot tawanannya. Semakin lama semakin
cepat sehingga dorongan-dorongannya yang kuat membuat badan Rere
terdorong maju mundur.
“Enak banget sih say punya kamu… uuggh…” Ben meracau ditelinga Rere.
Kembali air mata rere mengalir tak terasa. Dia tidak mengisak juga tidak
bereaksi sama sekali.
“Aku emang sengaja engga make kamu waktu itu… biar aku jadi orang
yang terakhir yang make kamu sampai selamanya…“ Rere tidak mendengarkan
celoteh Ben. Dia sedikit meringis ketika genjotan Ben semakin dalam dan
cepat.
Tiba-tiba Ben mencabut batang kemaluannya dari kemaluan Rere. Sedetik
kemudian dia mengangkat kedua kaki Rere ke atas sehingga Rere merasakan
kedua lututnya tepat menempel kuat di masing-masing buah dadanya
membuat selangkangannya lebih terbuka menantang. Ben menahan kedua kaki
Rere dan mengarahkan batangnya ke selangkangan Rere. Tetapi bukan
kemaluan Rere yang dicoba ditusuknya, melainkan saluran pembuangan
belakang Rere. Rere pun terlonjak kaget ketika dirasakan anusnya diraba
oleh kepala kemaluan Ben. Dia memberontak kuat menolak keras maksud dan
tujuan Ben.
“Jangan!!! Jangan di situ…Jangan!!!! gak mau… jangan!!“ Rere
memberontak. Dia menggoyang-goyangkan tubuhnya keras berusaha
memelesetkan kepala kemaluan Ben di lubang duburnya. Tetapi sekali lagi
usahanya sia-sia. Ben mengunci mati tubuh dan kaki Rere tak berkutik.
Dia pun menusukkan kepala batangnya ke lubang belakang Rere. Sedikit
demi sedikit batang itu menerobos masuk ke dalam. Rere menggigit
bibirnya sendiri. Serasa sesuatu merobek tubuhnya. Kali ini dia
mengerang keras ketika Ben menggenjot lubang belakangnya. Ben tahu itu
bukan karena kenikmatan, tetapi dia semakin bersemangat memompa dubur
Rere.
“Aku kan gak merawanin depan kamu waktu itu… Boleh donk aku merawanin
belakang kamu…“ Ben berbisik pelan sambil mencondongkan tubuhnya ke
telinga Rere.
Rere sungguh tersiksa dengan anal seks ini. Sungguh mati dia tidak
membayangkan dirinya beranal dengan pria manapun. Ketegangan dan
kesakitan melanda tubuh Rere. Keringatnya sekarang mengucur menahan
sakit bercampur dengan air matanya. 5 menit pergelutan itu berlangsung.
Rere sungguh tidak kuat lagi. Akhirnya Ben mempercepat genjotannya di
dalam dubur Rere. Beberapa detik kemudian Rere merasakan batang yang
tertanam ditubuhnya berdenyut kuat dan tak lama sesudahnya Ben
menyemprotkan cairan spermanya di dalam tubuh Rere.
Ben tidak menunggu batangnya mengecil terlebih dahulu, dia langsung
mencabut kejantanannya dari dalam tubuh Rere. Dilihatnya spermanya
mengalir keluar bercampur cairan sedikit berbusa berwarna pink. Ben tahu
itu adalah darah Rere. Dia sadar telah memerawani anus Rere. Ben pun
tersenyum.
“We’re going to have the greatest days everyday honey…”
katanya sambil mengecup kening Rere. Rere memalingkan mukanya. Dia
melingkarkan tubuhnya dilantai karpet, memeluk lututnya dan mengisak
mengucurkan air mata. Sementara Ben berjalan meninggalkan Rere menuju
kamar mandi. Sedetik kemudian Rere mendengar bunyi gemericik air
mengalir dari kamar mandi. Dia tahu Ben pasti sedang membersihkan
badannya. Dia sungguh-sungguh benci orang itu.
Lima menit kemudian Ben keluar dari kamar mandi. Dia melilitkan
handuk kecil di pinggangnya. Rere pun masih bersimpuh di lantai karpet.
Ben menghampiri Rere, berjongkok di sebelahnya sambil membelai rambut
Rere.
“Say… Mending kamu mandi deh…biar seger… tar lagi makanan dateng…aku
tungguin makanan di luar ya… ntar lagi aku ke sini… “ katanya mesra.
Rere sungguh tidak menggubris pesan Ben. Dia terus melingkarkan tubuhnya
di lantai karpet tempat dimana pergelutan terjadi beberapa menit yang
lalu. Ben pun bangkit dengan tak lupa mengecup rambut Rere. Dia berputar
menuju pintu, membuka dan berjalan keluar ruangan. Sekali lagi Rere
mendengar bunyi klik tanda pintu kembali terkunci.
Rere berpikir sampai kapan dia akan mengalami nasib seperti ini. Dia
sekarang putus asa. Sia-sia sudah air matanya mengalir di pipi, tetapi
tidak bisa meluluhkan perasaan Ben yang sekuat baja. “Mama…” katanya
menangis tersedu. Seandainya dia bisa bertemu mamanya sekarang, mungkin
hatinya akan tenang. Tetapi hal itu tidak mungkin. Dia benar-benar tidak
tahu ada di mana sekarang. Menunggu dan menanti apa yang akan terjadi
pada dirinya selanjutnya.
#####################
Part 3
Rere
“LO DAH JANJI!!!… LO BILANG GUE BOLEH BALIK KE SEKOLAH!!!!” teriak
Rere histeris dengan suara hampir melengking memprotes keputusan Ben
yang ingkar, menagih janjinya yang diberikan beberapa hari lalu bahwa
meskipun dia disekap dan ditawan, Ben membolehkan Rere untuk tetap
sekolah dan melanjutkan studinya. Tapi kenyataan ketika dia menuntut
untuk dapat pergi ke sekolah lagi, janji itu tidak pernah ditepati. Rere
meledak…seolah segala sesuatu yang berkecamuk di hatinya semenjak dia
ditahan, tumpah dan meruah. “LEPASIN GUE!!!!… LEPASIN GUE!!! LO
MANIAK!!!” Dengan segala kekuatan yang ada di tubuh lemahnya Rere
melempar dirinya ke hadapan Ben, memukuli dan mencakari Ben sekuat kuku
kecilnya dapat melukai, yang ternyata di respon acuh oleh Ben seolah dia
tidak merasakan apa-apa. “LEPASIN GUE DARI SINI!!!… GUE GAK MAU DI SINI
TERUS!! LO PEMBOHONG!!! KENAPA GAK LO BUNUH AJA GUE SEKALIAN!! HA??!!”
Kali ini tidak ada air mata di kedua
kelopaknya, dia benar-benar tidak bisa memaafkan Ben, sehingga kalau
dia diberikan kekuatan, meskipun Ben tidak mau, dia ingin membunuh
dirinya sendiri. Harapan untuk hidup normal dan bahagia betul-betul
sudah sirna dari garis masa depannya. “JANGAN DIAM AJA LO PENGECUT!! APA
PENJELASAN LO KALI INI, HA?? DASAR MANIAK!! LEPASIN GU…” Plak!!
“DIAAAAMMM!!!!!” dengan tiba-tiba Ben menampar Rere ketika dia tidak
tahan lagi dengan semua teriakan Rere. Rere terlempar keras terjatuh di
lantai karpet, wajahnya tidak sengaja menyerempet tepi tempat tidur dan
meninggalkan goresan luka di pelipisnya. Darah menetes dari ujung
lukanya. Tapi Rere tidak perduli, dia tidak merasakan sakit sama sekali.
Diseka pelipisnya dengan punggung tangannya yang menorehkan tinta darah
di kulitnya. Dia bangun dan terus menghampiri Ben seolah menantang siap
menghadapi apapun yang akan terjadi.
“Tampar gue lagi…” darah itu kini telah menetes sampai di pipinya.
“Tampar gue lagi…” Rere sendiri juga terkecoh dengan kelakuannya. Tetapi
dia yakin, apapun yang akan terjadi, terjadilah. “Cuma itu aja kan yang
lo bisa!? Iya kan ??” Dia memantapkan wajahnya mendekati wajah Ben,
membelalakkan matanya.
“Keputusan gue waktu itu klise…” Ben tak kalah sinisnya menghadapi
Rere. “Coba lo pikir, apa gue bisa ngelepasin lo gitu sementara gue tau
lo pasti masih nyoba cari cara lagi buat lepas dari gue?” Ben mengetuk
dahi Rere dengan telunjuknya, “Pikir pake otak dong!! Gue gak sebego
yang lo pikir!!” Ben kini menjauh dari Rere, meletakan pantatnya di sofa
tepat di belakang Rere. Menyulutkan api ke batang rokok yang sudah
dijepit di antara kedua bibirnya. Menghisap rokok itu dalam-dalam ke
paru-parunya “Meskipun emang gue punya rekaman porno lo… dan dapet kartu
As lo…tapi gue masih gak sudi kalo lo nanti ketemu Albie lagi…” Ben
meniupkan asap rokok keluar dari tubuhnya. “Jadi, gue masih mikir-mikir
lagi buat ngijinin lo keluar dari sini…” Ben masih terus dengan santai
menghisap rokoknya. “Tapi kalo lo masih tetap maksa buat keluar… yaaa…
berarti lo maksa gue buat nyebarin film-film panas lo…” katanya menatap
ringan lawan bicaranya.
“Basi tau gak lo!!” kali ini Rere betul-betul tidak takut lagi pada
Ben. Semua ancaman-ancaman Ben selama ini seperti angin lalu saja. Dia
pun menghampiri dan berdiri tepat dihadapannya. “Gue dah gak peduli lo
mau ngapain hidup gue… Udah cukup gue selama ini ngalah sama lo!!” Dada
Rere naik turun menahan setiap amarah yang keluar dari tiap
kata-katanya. “Gak ada hal yang baru lagi apa yang bisa lo lakuin??
Kecuali ancaman basi lo!? Dasar lo pengecut!! Banci banget sih lo!!”
Puas rasanya memaki-maki Ben seperti itu. Dan melihat Ben menunduk
seperti itu menerima ocehannya, Rere semakin menjadi-jadi mengeluarkan
semua unek-uneknya. Tapi tepat ketika Rere akan memulai untuk
menumpahkan tentang betapa pengecutnya Ben yang hanya berani pada satu
wanita dan harus digawangi oleh ketiga teman-temannya yang lain, Ben
tiba-tiba menatap Rere ke atas dari tempat duduknya. Rere tidak bisa
mengenali tatapan Ben itu. Dia belum pernah melihat Ben melihatnya
seperti itu. Dan perlahan tapi pasti, tatapan buas itu dikembangkan oleh
senyuman Ben yang sinis. Mengingatkan Rere pada topeng joker dalam film
Batman yang tersenyum tipis berbahaya.
Ben tidak berkata apa-apa, tetapi tiba-tiba dia bangkit berdiri
mengagetkan Rere di depannya. Ben beranjak menuju kamar lemarinya dan
menguncinya dari luar. Rere tidak mengerti akan apa yang dilakukan Ben
sekarang. Lalu Ben berpindah ke sebuah lemari besar di sudut ruangan.
Dia menjangkau tas besar di atas lemari tersebut. Membuka tas itu dan
meletakan dengan sembarangan di lantai. Kemudian Ben mulai membongkar
lemari di mana baju-baju Rere ada di dalamnya. Merampas dengan kasar
semua pakaian-pakaian Rere yang ada di dalamnya. Panties, bra, bahkan
lingerienya pun dimasukkan ke dalam tas besar tersebut. Dalam 2 menit,
Ben sudah mengosongkan seluruh isi lemari yang dulu dibelikannya untuk
dipakai Rere. Selesai mengunci pakaian itu, dia menyapu sekeliling kamar
dengan pandangannya. Rere tidak mengerti apa sebenarnya yang dilakukan
Ben. Setelah selesai menyapu ruangan dengan pandangannya, Ben menarik
tas besar tersebut dan membawanya ke luar kamar. Belum selesai Rere
memecahkan teka-teki ini, tiba-tiba Ben masuk kembali ke dalam kamar dan
memandang Rere penuh arti.
“Apa maksudnya ini??“ Rere mengatakan kalimat yang pertama kali
timbul dalam otaknya. Tetapi Ben hanya tersenyum. “Apa kita mau pindah
dari sini??” Rere mulai lagi, dia berpikir mungkin Ben sudah mengusirnya
pergi dari tempat itu.
“Buka baju lo!!” Ben berkata dengan nada yang seolah memaksa.
“Maksud lo apa?!” spontan Rere memeluk dirinya sendiri, seolah pernyataan Ben seperti mau memerkosanya.
“Udah!! Buka baju lo sini!!” dengan kasar Ben menarik pakaian dari tubuh Rere, berusaha untuk menelanjanginya.
“Enggak!! Ngapain lo!! LEPASIN GUE!!!” Rere berusaha berkutat untuk
mempertahankan pakaian yang ada ditubuhnya. Dia tahu keadaan ini tidak
mungkin sesuatu yang baik. Dia kembali mengabsorbsi tindakan Ben
merampas semua pakaiannya. Nampaknya Rere mulai mengerti.
Tetapi, dengan keadaan tenaga yang sangat kontras antara mereka
berdua, Rere mulai terpojok ke sudut ruangan, dengan masih bersandar ke
tembok dia terus memeluk pakaian yang ada di tubuhnya seolah itu adalah
sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya saat ini.
“Jangan!!… Lepasin gue!! Jangan ganggu gue!!!” apapun yang dikatakan
Rere tampaknya hanya angin lalu untuk Ben. Tapi, alih-alih melepaskan
pakaian Rere, karena perlawanan Rere yang keras, Ben malah mengoyak
pakaian Rere dan seperti kerasukan sesuatu, Ben masih saja dengan
kesetanan mencabik-cabik pakaian Rere sehingga rusak total.
Sekarang Ben bisa melihat buah dada Rere yang mengkilat karena
keringatnya dari perlawanannya –padahal ruangannya itu ber-AC, buah dada
itu naik turun mengikuti irama nafas berat siempunya seperti menari
ditempatnya. Dan potongan-potongan pakaian yang koyak itu seolah menjadi
asesories di sekitar gunung kembar itu. Sesuatu berdenyut di
selangkangan Ben. Seringai Ben seolah di-amin-i oleh ‘adik kecil’nya.
“Apa maksud lo!!” walaupun terpojok, Rere terus saja melawan ketika
dia sudah dapat mengendalikan nafasnya. “Mau lo apain baju-baju gue!!?”
Tapi Ben tidak menjawab. Bahkan seringai mautnya makin berkembang. “Ben,
jangan gila!!” teriak Rere ketika dia melihat Ben membuka celananya
sendiri.
Tapi Ben hanya tersenyum, dan dia segera mengunci Rere ketembok
dengan satu tangannya, tepat ketika Rere ingin menghindarinya. Rere
berusaha untuk terus berkutat. Dia sedang tak ingin diperkosa saat itu.
Dia tidak mood untuk seks pada saat seperti ini.
“Gak mau…!! Lepasin gue!!!” Ben tetap diam seribu bahasa, dia terus
mengunci mahluk cantik di hadapannya ke tembok. Rere terkejut ketika
celana dalamnya dikoyak kasar oleh Ben. Kejadian itu begitu cepat sampai
akhirnya dia tidak memakai bawahan sama sekali di tubuhnya. Seolah,
daerah yang seharusnya vital menjadi kawasan bebas pandangan dengan
kostum compang-camping di atasnya. Sedetik kemudian, Ben menempelkan
badannya di badan Rere.
Meskipun dalam posisi berdiri, tapi dengan terpepet ke tembok seperti
itu, Rere sama sekali tidak bisa berkutik. Juga ketika dia merasakan
Ben mengangkat kaki kirinya dan meletakkannya ke pinggul Ben, barulah
dia merasakan sesuatu yang panjang dan keras sedang menempel di daerah
vitalnya. Ben terus berusaha mengalungkan salah satu kaki Rere ke
pinggulnya. Salah satu tangannya mencoba meraih ‘adik kecil’nya yang
sudah bangun sementara badannya terus menempel menekan tubuh Rere
merapat di tembok. Dia menuntun tubuh kejantanannya untuk mencari lubang
di selangkangan tubuh lawannya.
“Gue gak mau!! Jangan di paksa!! Lepasin!!!” Rere terus menghindar
manakala Ben berusaha untuk mencium bibirnya. Dia terus membuang
wajahnya ke kanan kiri untuk menghindari ciuman Ben. “Jangan…!” teriak
Rere ketika salah satu tangan Ben memegang pantatnya dan berusaha
mengangkat tubuhnya yang sudah setengah melingkari pinggul Ben.
Tapi Ben seperti kerasukan setan, dengan keras kepala terus mencoba
untuk memasuki tubuh Rere dengan batang kemaluannya. Ben sama sekali
tidak peduli bahwa lawan mainnya berusaha untuk berontak, bahwa
selangkangan gadis itu masih kering dan belum bisa untuk dipenetrasi,
bahwa kejadian ini sungguh tidak diinginkan oleh pasangannya atau bahkan
si perempuan sedang marah-marah kepadanya. Dengan kekuatan tenaga yang
tidak seimbang, Ben dapat menguasai tubuh Rere dan dengan sekuat-kuatnya
dia menekankan batang kejantanannya ke dalam kemaluan Rere ketika
dirasa sudah menyentuh pintunya.
Tepat ketika batangnya sudah bersarang di tubuh Rere, Ben mengolah
‘adik kecil’nya dengan ritme sedang. Dilihatnya Rere dengan senyum
kemenangan. Tubuhnya berusaha untuk mengimbangi tinggi badan Rere sambil
terus menggoyangnya maju mundur. Dipandanginya mata Rere yang sekarang
berkaca-kaca. Pelipisnya yang tadi terluka sekarang dijilati Ben dengan
nafsu seolah menghapus darah yang mengalir kering di pipinya.
Sementara Rere sekarang merasa sangat terhina. Dia tidak bisa
menyangka bahwa Ben bisa menyanggamainya seperti itu. Sekuat apapun
tenaganya untuk melawan, toh akhirnya dia disetubuhi juga. Rere bertekad
untuk tidak menikmati permainan ini. Dia berusaha menolak perasaan
bahwa diselangkangannya sekarang terjadi denyut kenikmatan dan sudah
basah oleh lendir kewanitaannya, menolak libidonya untuk naik terus saat
mendengar Ben mengerang kenikmatan dalam setiap nafas beratnya di
telinganya.
Tetapi, tepat ketika Ben melepaskan tangannya dari pinggang yang
menahan tubuh Rere agar setara dengan tinggi selangkangannya, Rere
mengerang keras saat tubuhnya dengan tiba-tiba merosot sehingga
kejantanan yang ada di dalam tubuhnya menyodok begitu dalam di pintu
rahimnya. Rasa ngilu menyerang bagian bawahnya. Tapi Ben terus mengocok
‘adik kecil’nya di dalam tubuh Rere. Air mata kemarahan yang tadi
bersarang di matanya, sekarang berubah menjadi air mata keputus-asaan
dan kesakitan yang sangat mendalam. Sehingga dengan terpaksa, Rere
mengalungkan kedua tangannya di leher Ben untuk menjaga selangkangannya
setara dengan selangkangan lawan mainnya, dan terus mengalungkan satu
kakinya di pinggul Ben sementara kaki yang lain berjinjit menyeimbangi
tinggi badan pemuda di hadapannya. Tetapi, jerit kesakitan dan respon
Rere dianggap sebagai penyemangat buat Ben untuk terus berperan. Dia
bahkan menaikkan ritme goyangannya tanpa sepatah katapun keluar dari
bibirnya. Hanya erangan kenikmatan dan nafas berat yang keluar dari
bibirnya sambil meremas buah dada Rere dan membungkukkan badannya
mencoba mendekatkan bibirnya dengan benda kembar itu tanpa menghentikan
kegiatan si ‘adik kecil’nya.
Mendapat stimulasi seperti itu, Rere semakin tersiksa. Dia merasa
tidak bisa terus tetap memerankan sikap menolaknya. Tusukkan Ben dalam
tubuhnya sekarang mempunyai rasa nikmat ketika buah dadanya diremas
kasar dan dihisap oleh Ben.
“Aaahh… ssshhh… Ben…udah…gak… mau…” desahan Rere dalam setiap
masing-masing kocokkan Ben. Tubuhnya terdorong-dorong ke atas mengikuti
irama tusukkan Ben diselangkangannya. Dan sekitar 2 menitan berlalu,
tiba-tiba Ben mengangkat tubuh Rere dan menggendongnya dari depan tanpa
melepaskan kegiatan batangnya di bawah sana . Dia menaik turunkan badan
Rere yang masih tetap bersandar ditembok dengan kedua tangannya berusaha
mengocok kejantanannya dengan beban itu.
Tidak ada yang bisa dilakukan Rere saat itu kecuali menikmati
diam-diam permainan ini. Dia berusaha untuk tetap menjadi korban dalam
situasi ini. Dia tidak mau dengan adanya kejadian ini, batal untuk
menghirup udara bebas. Dan selama 5 menit berlalu sebelum Ben akhirnya
berejakulasi di dalam rahimnya, Rere hanya mengerang dalam diam. Tanpa
menunggu waktu, Ben melepaskan gendonganya dan mencabut kemaluannya dari
daerah segitiga Rere.
“Fiiuuhh…” nafas dalam Ben berbunyi, “That was really great, wasn’t
it??” katanya kemudian duduk di sofa sambil mengambil sebatang rokok
untuk dinyalakan. Disebelahnya Rere nampak shock dengan kejadian yang
baru saja di alami. Dia tidak tahu harus bagaimana dan hanya terdiam
seperti patung sementara cairan kental putih mengalir keluar dari dalam
kemaluannya, menetes di bagian dalam kaki jenjangnya, tanda Ben memang
berejakulasi di dalam kemaluannya.
“Well,… that was new…“ Ben memulai pembicaraan sambil menyodorkan
segelas air putih kepada Rere. Dan dia meletakan kembali gelas itu ke
atas meja ketika Rere mengacuhkannya. “Katanya lo mau sesuatu yang
‘baru’…” sindir Ben puas. “Tadinya gue emang mau ngasih lo ngelanjutin
sekolah lagi…” kata Ben lagi, “tapi setelah gue pikir-pikir lagi, gue
gak mau ngambil resiko” lanjutnya “ntar yang ada malah lo bakal lepas
selamanya lagi…tul gak??”
“So… gue kembali ke keputusan awal gue… Lo akan terus disini sampe
kita pindah ke tempat lain…” kata Ben santai. “and baju-baju lo bakal
gue tahan… just in case… kalo lo kabur diam-diam…”, “jadi, sabar ya
sayang… nikmatin aja hari-hari kita…” dan dengan kata-kata itu, Ben
memungut sobekan-sobekan pakaian Rere di lantai dan mengambil sisa
pakaian yang masih menempel di tubuh Rere. “ Ada handuk kecil di kamar
mandi… kalo mau mandi… Jangan coba-coba kabur ya… lo gak mau kan diliat
bugil sama orang banyak…” dengan kecupan ringan dan senyuman kecil Ben
meninggalkan Rere sendiri di kamar.
Seakan sudah satu atau dua jam Rere terpatung seperti itu. Pikirannya
buntu bukan kepalang. Dia tidak tahu harus bagaimana sekarang.
Terkurung di dalam kamar sungguh sangat menyesakkan. Bahkan, air mata
serasa sudah kering untuk mengalir. Dengan putus asa, Rere melangkah
menuju kamar mandi. Memutar kedua kran air dingin dan panas. Setelah
mendapatkan kehangatan yang diinginkan, dia membasuh sisa sperma di
sekitar selangkangannya. Rasa perih dirasakan ketika dia mencoba
membersihkan kelaminnya. Rupanya, penetrasi kering tadi membuat alat
vital Rere menjadi perih dan sedikit memar. Tanpa menggubris rasa tidak
nyaman itu, dia langsung membersihkan tubuhnya. Serasa tubuh itu sangat
kotor sekali. Serasa banyak noda yang mengganggu di sekitar permukaan
kulit mulusnya.
Sekitar 15 menitan, Rere berpikir untuk menyudahi kegiatannya di
kamar mandi. Handuk kecil yang tergeletak di wastafel di dalam kamar
mandi, memang benar-benar handuk kecil yang sama sekali tidak bisa
dililitkan di sekitar tubuhnya. Dengan sedikit kesal, dia membuang
handuk yang sudah mengeringkan tubuhnya itu ke sudut ruangan.
Keluar dari kamar mandi, didapati ruangan kamar masih kosong. Rere
sudah terbiasa setiap dia keluar dari kamar mandi, pasti Ben sudah ada
di kamar menunggunya. Tapi kali ini, dia benar-benar tidak ada dan
mungkin pergi entah kemana. Dan sambil berusaha menerima nasib yang akan
datang nanti, dia melangkah telanjang ke kamar tidurnya.
Rasanya sudah berhari-hari setelah kejadian perampasan pakaian itu
Rere menjalani hari-harinya seperti orang bisu. Tidak banyak kata-kata
yang keluar dari bibir mungilnya. Walaupun melayani dingin semua
keinginan seksual Ben, serasa menunjukkan demo halus bahwa dia tidak
menikmati semua itu, Rere tetap diam seribu bahasa. Semua dilakukan
dalam keadaan bugil. Satu-satunya bahan kain yang dipakai untuk menutupi
tubuhnya hanyalah selimut kain halus yang menutupi tempat tidur. Dia
tahu, Ben tidak keberatan Rere menggunakan selimut itu untuk menutupi
tubuhnya “Buat apa ditutupin, ntar juga dibuka lagi…” itulah yang
dikatakan Ben walaupun dia tidak memperlakukan Rere secara kasar lagi.
Rere sedang menunggu Ben membawakan makanan pada suatu siang ketika
didengarnya suara bersenandung sambil menyapu di balik pintu keluar yang
selalu terkunci itu. “Itu bukan suara Ben… Itu suara perempuan…” Hati
Rere seperti bertalu “ Ada orang lain disini…” katanya dalam hati.
“Mbaak… mbaak… “ digedornya pintu itu, dan entah kenapa degup jantung
di dadanya terdengar lebih kencang dari biasanya. Dan suara senandung
itu berhenti, juga dengan suara kegiatan menyapu. “ Ada orang di luar
yaa? Ibu…? Siapa yang di luar…Tolong buka pintu…” Rere melanjutkan
dengan mengetuk pintu itu lebih keras lagi.
Bunyi ‘Klik’ terdengar dua kali dari lubang kunci pintu itu. Tanpa
sadar Rere mengencangkan lilitan kain selimut di tubuhnya. Dan begitu
pintu terbuka, sosok lugu seorang ibu-ibu sederhana terpampang di
depannya.
“Lho… Ibu siapa?” Rere berusaha menenangkan suaranya.
“Saya bibi di sini non… Saya baru seminggu kerja di sini…” kata ibu
itu dengan rasa hormat luar biasa. Rupanya dia tidak tahu siapa Rere
yang sebenarnya. “Non kebangun ya… maaf bibi tidak bermaksud mengganggu
non, nanti bibi gak akan nyanyi lagi…” Tetapi Rere tidak sepenuhnya
mendengarkan celoteh ibu tua itu. Dia begitu kaget melihat ruangan yang
berada di balik pintu kamar yang selama ini menguncinya. Ruangan besar
super mewah dengan keramik yang Rere tafsir sangat mahal. Lingkaran
tangga marmer spiral meliuk-liuk di sebagian besar ruangan itu. Seperti
aula kerajaan di dalam rumah. “Apa non adiknya tuan Ben?? “lanjut Ibu
itu “…maaf non, tapi bibi kerja sendiri di rumah sebesar ini…jadi bibi
tidak sempat melayani non…tapi kenapa non terkunci dari luar… Lho…Non
mau kemana?”
Rere langsung melangkahkan kakinya ketika dia melihat pintu besar
yang seperti pintu utama di rumah itu. Hatinya berdegup kencang sekali
serasa gumpalan jantungnya ingin meloncat keluar dari songketnya. Dia
berharap mudah-mudahan pintu itu tidak terkunci. Seolah rumah ini begitu
besar sampai dia membutuhkan beberapa menit setelah menuruni undakan
tangga spiral besar itu untuk mencapai pintu. Dan ketika di putar knob
berlapis emas pintu itu, ternyata tidak terkunci dan pintu terbuka.
“Non mau kemana…?” Ibu tua itu ternyata mengikuti Rere dari belakang.
Tapi Rere tidak menggubrisnya. Tidak ada waktu untuk berhenti. Dia
ingin mencapai kebebasannya.
Bahkan, halaman rumah ini juga begitu luas. Rere baru sadar ternyata
dia benar-benar di sekap di dalam istana. Dia sedikit berlari untuk
mencapai pintu pagar. Jalan aspal sedang ditengah-tengah taman yang
terawat menuju pagar besar itu juga begitu panjang. Rere sedikit
terengah ketika dia mencapai pagar besar itu. Dibukanya pintu pagar yang
kecil di pojok pagar yang ternyata tidak terkunci.
“Non… mau kemana…Apa gak mandi dulu…kenapa nyeker…ayo pake sandal…
trus jangan begini keluarnya…” ibu itu memegangi kain putih yang melilit
di tubuh Rere.
“Bi… tolong… masuk aja ke dalam… anggap aja bibi gak ketemu saya
tadi…” kata Rere tidak sabar. Dia berusaha memperhatikan jalan di luar
pagar itu. Hanya jalan kompleks kecil yang memang sangat sepi.
“Tapi non… kenapa gak nunggu tuan Ben saja… biar nanti dia yang
antar… jalan ke depan jauh sekali non…emang non mau kemana…” tapi Rere
tidak sempat menjawab pertanyaan ibu itu. Matanya menangkap mobil sedan
hitam yang tiba-tiba muncul dari tikungan di ujung jalan. Masih sambil
menarik kain penutup tubuhnya dari tangan ibu itu, Rere berusaha
mengenali siapa yang ada di balik setir mobil itu. Tapi kaca mobil itu
begitu gelap.
Hatinya berdegup kencang sekali, sambil terus berkutat halus
melepaskan dirinya dari ibu tua yang keras kepala ingin menariknya
kembali ke dalam, Rere memperhatikan mobil sedan itu sekarang sudah
semakin dekat dengan mereka. Dan dengan perasaan kalut luar biasa di
dalam hatinya, dia masih terus berusaha melepaskan diri dari ibu itu.
“Bi, tolong… saya harus pergi!!” Dia sekarang memperhatikan mobil itu
berhenti beberapa centi di depan mereka. Pintu mobil terbuka. Dengan
radar yang luar biasa tanggap Rere langsung melepas kasar tangan ibu tua
itu dari tubuhnya dan berlari sekuat tenaga ke arah dimana mobil itu
muncul ketika dilihatnya Ben yang terlihat murka berusaha keluar dari
mobil dan ternyata dia lupa membuka seatbeltnya sehingga memberikan Rere
beberapa detik untuk lari sekuat kakinya bisa membawanya.
“TUNGGU!!! BERHENTI!!!!… RERE!!!!” teriak Ben sambil berlari mengejar
gadis yang sekarang sudah berjarak kira-kira 5 meter di depannya. Rere
terus berlari. Ini kesempatan emasnya. Dia tidak mau kembali ke tempat
neraka itu. Kain putih berkibar di belakangnya melambai-lambai
mengiringi pelariannya. Walaupun batu-batuan kecil menyakiti telapak
kakinya yang telanjang, Rere tidak perduli. Dia terus berlari. Tahu
bahwa Ben tidak jauh di belakangnya, Rere berfokus ke depan. Berusaha
menekan otak kecilnya untuk bekerja. Berpikir mencari jalan keluar.
“Rere!!… Mau kemana lo?!… Lo gak tau daerah sini!! Nanti kesasar!!
Tunggu!!“ nyanyian Ben di belakang Rere. Dia tahu, Ben pasti marah
sekali. Tapi dia tidak perduli.
Rere membelokan dirinya ditikungan jalan tepat dimana mobil Ben tadi
muncul. “Kenapa gak ada orang sama sekali!!” kata Rere dalam hati.
Lingkungan itu sepi sekali. Dan dia masih saja terus mendengar Ben
berteriak-teriak di belakangnya. Langsung saja, ruang hampa menggerogoti
paru-parunya. Antara berdegup kencang dan kelelahan, Rere berusaha
menarik nafas dalam. Dia tidak boleh berhenti. Dan tepat ketika ujung
jalan kecil ini sudah terlihat, Rere melihat jalan kompleks kecil yang
sedikit banyak pasti dilewati mobil yang lalu lalang. Ada tikungan kecil
tepat di depannya. Apakah Ben akan tahu kalau dia nanti bersembunyi di
sana ? Dia memberanikan diri menoleh kebelakang. Ben tepat di
belakangnya, “Tunggu!!” Rere mendengarnya berteriak. Sambil terus
berlari, terus memegang erat lipatan kain yang melilit di sekitar
dadanya, Rere tidak memperhatikan bahwa ada lubang kecil di ujung jalan
itu. ”AAHHHH…!!” dan kakinya terjeblos kedalam lubang itu
dan diapun jatuh menggelinding di –yang terlihat seperti—jurang
kecil. Dia tidak bisa mengonsentrasikan penglihatannya. Jatuh terus
terguling ke bawah. Rasa perih terasa dilengan kirinya ketika duri besar
menggores lengannya. Sambil terus terguling ke bawah, Rere berusaha
memegang erat kain di tubuhnya. Dan bunyi keresek keras memberitahu Rere
bahwa kain itu robek tergores ranting pohon, tapi dia terus terguling
ke bawah.
Akhirnya Rere bisa berhenti berguling. Rasa luar biasa pusing terasa
sekitar kepalanya. Terhuyung sedikit, dia berusaha untuk bangkit. Dan
dengan tanggap melihat ke belakang, berusaha mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi.
Dia terjatuh di ketinggian kurang lebih 1.5 kilo meter dari atas.
Kain lilitannya pun sedikit kendur. Tapi dia meyakinkan dirinya, dia
tidak apa-apa. Terlihat sosok Ben berdiri mematung di atas sana . Rere
tahu, Ben pasti memikirkan cara untuk terjun juga ke bawah dan menangkap
dirinya. Tanpa berpikir panjang, Rere membalikkan badannya untuk
kembali berlari, tapi…
“REREEEEEE!! “ teriak Ben histeris. Beberapa kejadian beruntun
terjadi secara bersamaan. Rere tidak menyadari bahwa di belakangnya
adalah jalan aspal kecil, bahwa ada sinar lampu menuju ke arahnya, bahwa
ketika Ben memanggil namanya dia seharusnya tidak boleh berlari, Bahwa
sinar lampu itu adalah sinar yang datangnya dari sebuah Terano, bahwa
Terano itu berusaha untuk mengerem dan berhenti, bahwa sipengemudi
terlambat sepersekian detik untuk menginjak remnya dan bahwa Rere
melupakan kain kendur di tubuhnya ketika menggunakan kedua tangannya
untuk berusaha menghentikan mobil itu menghantam tubuhnya.
Sesuatu yang sangat keras dan berat menghantam perutnya, melempar
keras tubuhnya ke belakang. Rere mengejan menahan rasa luar biasa sakit
di perut dan tubuhnya. Dia tidak menyadari bahwa setengah tubuhnya
sekarang terpampang bebas ketika dia memuntahkan darah segar dari
mulutnya yang mungil. Masih terus berusaha berkonsentrasi untuk tetap
sadar, Rere berusaha bangkit. Siempunya Terano akhirnya keluar dari
mobilnya dan dengan sedikit berlari berusaha untuk menolong Rere.
“Mbak… sorry banget mbak… apa yang sakit… “ seorang pemuda tinggi
tegap menghampiri Rere yang masih bersimpuh menahan perutnya yang tadi
terhantam. “Ayo mbak, saya antar ke rumah sak—“ tapi pemuda itu tidak
menyelesaikan kalimatnya. Rere pun sadar apa yang membuatnya menjadi
bisu. Rere yang sedang menyeka mulutnya dari sisa darah yang dia muntahi
tadi pun menyadari bahwa antara terkejut dan bingung, bagian atas
tubuhnya terpampang terbuka memperlihatkan buah dadanya yang putih
berisi yang sekarang sedikit ternoda merah karena muntahan darahnya.
Dengan sigap, dia menaikkan kain yang tergeletak lemas di sekitar
perutnya, menutupi kembali buah dadanya. Dan dengan gugup berusaha
membalas si pemuda tersebut.
“Enggak mas… saya gak apa-ap—“ terkejut bukan main, Rere kembali
sadar dengan situasinya. Dia kembali melihat ke atas kemana Ben tadi
diam mematung memanggil dirinya. Ben tidak ada di sana , Rere menyapu
lingkungan sekitar, hanya ada dirinya, pemuda yang menabraknya dan mobil
Terano yang menabraknya tadi. “—eng… oh iya…” sambung Rere tiba-tiba,
“tolong saya mas… antar saya ke… ke rumah sakit…” dan tanpa di suruh,
Rere mengerahkan seluruh tenaganya mengangkat tubuhnya dan sedikit
tertatih berjalan menuju ke mobil itu. Dan pemuda itu pun dengan tenang
melangkah kembali ke mobilnya sambil melirik ke kiri dan kanan mencoba
mengenali lingkungan sekitar.
Rere menenggelamkan posisi duduknya ke bawah sehingga sedikit
kemungkinan untuk terlihat dari luar. “… Jalan mas…—tolong …” dia
menambahkan buru-buru, berusaha untuk ramah agar pemuda itu tidak
tersinggung.
Mobilpun melaju, melegakan hatinya dan menyadarkan Rere bahwa
ternyata dia sekarang berada di suatu tempat dimana sejauh mata
memandang, kebun-kebun teh menghampar di sepanjang jalan.
“ Eng. .. kita ada di mana ya…?” Tanya Rere pelan-pelan, dia sedikit ragu, apakah pertanyaan itu akan menolongnya.
“Kita ada di Puncak… lho emangnya gak tau?” Rere terkejut bukan main.
Ternyata pertanyaannya bukan dijawab oleh sipengemudi di sebelahnya
melainkan dari seseorang di bangku belakang. Spontan Rere menengok ke
belakang. Karena sibuk mengkhawatirkan Ben, dia jadi lupa mengawasi
sekitar mobil. Ada 2 pemuda lain di bangku belakang. Masih terlalu dini
untuk menunjukkan kekhawatirannya.
“Oh… sorry, saya gak tau kalo ada orang lain…” katanya sambil
mengencangkan pegangan kain di dadanya. Perasaannya tidak karuan. Ada
kekhawatiran yang tidak ada hubungannya dengan Ben kali ini. Tapi dia
berusaha menenangkan hatinya melihat penampilan ketiga pemuda itu, Rere
yakin mereka baik. Mereka sangat manis dan berwajah ramah. Mungkin
berkisar usia 22 sampai 25 tahunan, tapi si pengemudi tampaknya yang
paling muda di antara mereka.
“Oh iya… Gue Bami, itu yang pake baju ijo namanya Firdo, trus yang
duduk dibelakang lo persis namanya Michael tapi panggilannya Mika…” kata
si pengemudi tiba-tiba melupakan semua tatakrama bahasanya yang tadi
begitu sopan ketika menabrak Rere.
“Rere… “ sambil tersenyum Rere membalas singkat, entah kenapa hatinya
makin tidak karuan. Apalagi dengan kondisi fisiknya yang sama sekali
tidak mengenakan apa-apa di balik kain putih itu. Dan dengan gugup dia
memperhatikan jalanan sekitar. Beribu-ribu petak kebun teh masih
menghiasi kaca mobil itu. Dia masih jauh dari aman. Jalanan yang
berkelok-kelok ternyata sangat jarang dilalui oleh orang lain.
“Kenapa pake ini Re…” tanya Bami tanpa melepaskan pandangannya dari
jalanan sambil menyentuh kain putih yang sekarang berbecak-becak darah
yang tumpah dari mulutnya di sekitar pahanya, membuyarkan Rere dari
kekhawatirannya. Spontan Rere semakin khawatir. Dia lantas mempererat
genggamannya di lipatan dada kain itu. Itu pertanyaan yang tidak sopan.
Dia tidak mau menjawabnya. Dan Rere sempat memperhatikan mata lelaki itu
menatap penuh arti dari kaca mobil depan ke teman-teman di belakangnya.
Rere semakin khawatir dengan keadaan sekitar yang sangat sepi.
Nalurinya mengatakan bahwa hatinya salah. Mereka memang bertampang
manis, tetapi mereka tidak ramah.
“Eng. .. saya turun di sini aja mas Bami… “ pinta Rere dengan
hati-hati mencoba menutupi kegugupannya. “sepertinya saya sudah tidak
apa-apa…”
“Lho… katanya mau ke rumah sakit… ayo kita antar ke sana … itu luka
goresnya makin biru…” sahut Firdo dari belakang. Yang membuat Rere
kaget, pemuda itu mengusap pelipisnya yang terluka dari belakang. Rere
semakin kalut.
“Eh… iya gak apa-apa kok… udah bisa jalan sendiri…” balas Rere sambil
dengan pelan-pelan menghidari usapan tangan Firdo di wajahnya. Berusaha
agar tidak membuat mereka tersinggung. “Tolong stop mas Bami… saya
turun di sini aja…” pinta Rere dengan sopan.
Sepertinya Bami tidak mendengar Rere, dia hanya tersenyum sambil memperhatikan jalan. Atau memang dia tidak mendengar?
“Mas Bami… tolong stop mobilnya, saya turun disini saja…” ulang Rere.
“Kirain gue bakal kena masalah… nabrak orang… fiiuuhhh…gak taunya
malah dapat durian runtuh…” jawab Bami pura-pura menyeka keringat di
dahinya sambil menatap ke kaca depan. Rere tidak mengerti. Dia mencoba
memahami apa arti omongan lelaki itu.
“Gue pikir tadi malaikat, hantu ato apalah itu… kok putih-putih
berdiri di jalanan… gak taunya bidadari yang terluka… hahaha…” Mika
akhirnya mengeluarkan suaranya membalas tatapan Bami dari belakang.
“Puter balik Bam…kita ke vila lagi… “ sambung Firdo tanpa mengurangi
maksud nada bicaranya. Akhirnya Rere mengerti apa yang mereka bicarakan.
Dan diapun berusaha membuka pintu mobil yang seharusnya tidak dia naiki
untuk terjun ke jalan. Dia tahu dia tidak aman, malah dia dalam bahaya
yang sangat besar. Tapi pintu itu terkunci. Dan tepat ketika dia ingin
memprotes Bami kenapa pintu itu terkunci, pada saat bersamaan, tangan
kasar menariknya ke belakang. Seseorang menyetel kepala bangku mundur ke
belakang dan yang lain menyeretnya ke belakang.
Rere berteriak, berontak menggedor-gedor kaca mobil di sampingnya.
Dia tidak mau dianiaya lagi. Sudah cukup dia menderita. Alhasil, kaca
mobil sama sekali tidak berubah, bahkan retak sedikitpun tidak. Bami
menepi mobilnya dan berputar di salah satu blok kebun teh tepat ketika
Firdo dan Mika berhasil menarik Rere ke belakang dari bangkunya.
“Mau kemana Re…katanya mau ke rumah sakit… ayo kita antar…” Firdo
menyungging senyum ketika menempatkan Rere ditengah-tengah mereka.
“Jangan… please… udah cukup… gue gak bisa lagi… tolong… jangan…” Rere
tidak perduli, dia mengiba kepada mereka ketika dia merasa tidak bisa
berkutik lagi. Tetapi Firdo dan Mika malah membuka lipatan kain yang ada
di tubuh Rere dengan kasar. Rere tidak sempat mempertahankan tubuhnya
agar tidak telanjang. Terlambat, kain itu sudah terbuka di bagian
dadanya. Senyuman mata Bami terlihat dari kaca depan mobil.
“Cukup??” Mika membalas dengan nakal sambil melirik ke buah dada Rere
yang terbuka dan menyentuh darah yang mengering tepat di tengah-tengah
buah dadanya. “Kita mau nolong… tenang dikit… tar lagi sampe kok ke
rumah sakit…” Rere tahu dia bohong. Terano itu sudah kembali ke arah
sebaliknya menuju jalan berliku yang tadi dilewatinya. tanpa berpikir
panjang, Rere mendorong tubuh Mika yang tepat di dekat pintu,
meng-unlock pengunci pintu. dan mencoba membukanya. Tapi pintu mobil itu
masih tetap terkunci.
“Galak juga nih bidadari Do…” canda Mika ketika dia sudah kembali membalikkan tubuh Rere ke tengah-tengah mereka.
Begitu posisi Rere di tengah-tengah mereka, Firdo sama sekali tidak
berminat membalas obrolan Mika, dia malah dengan ganas meraba Rere.
Meremas buah dada Rere yang ranum terbuka dengan kasar sambil menciumi
lehernya dari samping.
“Jangan… LEPASIN!!…” teriak Rere putus asa. Tapi tidak ada yang
memedulikan teriakan Rere. Bami tetap melaju mobilnya. “Tolong… jangan…
gue udah sakit.. Tolong…jangmmpph…” Mika tiba-tiba melumat bibir Rere
dari sisi yang lain. Kali ini Rere benar-benar tidak bisa berkutik,
tubuhnya dikunci mati oleh Mika dan Firdo. Hatinya berdegup kencang
ketika dirasakannya jari-jari Mika sudah menyusup di selangkangannya.
Meraba bibir bawahnya dengan kasar. Rere merasa sangat sakit. Hati dan
harga dirinya yang sudah hilang sejak lama kini kembali dikoyak. Dia
hanya bisa berteriak dalam dekapan ciuman Mika. Jari-jari Mika masih
dengan lincah bermain di selangkangan Rere sementara Firdo masih dengan
gemasnya meremas dan menciumi buah dada Rere dan Bami masih melaju
mobilnya dengan cepat.
“Sialan lo berdua… gak bisa nunggu sampe vila apa??” gerutu Bami yang
entah kenapa Rere merasa tidak ada nada marah di dalam kalimatnya.
Masih berusaha melawan, Rere hanya bisa memberontak menggerak-gerakkan
badannya, berusaha memelesetkan jari-jari Mika yang sepertinya ingin
menyusup kedalam pintu rahimnya. Dan ketika Rere merasa jari-jari itu
sudah berada tepat di pintu kelaminnya, dia melihat mata Mika yang penuh
nafsu menatapnya kembali, dan ciuman kasar di bibir Rere tiba-tiba
berhenti seraya memberikan senyuman yang Rere tahu itu bukan senyuman
yang baik tepat ketika dirasakan salah satu jari Mika menerobos masuk ke
dalam vaginanya.
Kembali Rere teriak dalam lumatan bibir Mika. Tubuhnya melonjak
kesakitan seraya membusungkan dadanya. Hal itu membuat Firdo yang
bibirnya tepat di buah dada Rere semakin ganas melumat dan menghisap
putting merah muda di sana . Sakit Rere rasakan dalam hatinya. Bahkan
dia tidak sempat berpikir betapa malang nasibnya karena Bami sepertinya
mendapatkan suatu tempat yang aman untuk memarkirkan mobilnya. Dan
menonton aksi kedua temannya pada gadis yang mereka temukan.
“Gila tuh body… killer banget ya…” cetus Bami entah kepada siapa.
“Enak susunya Do…?” tapi nama yang diajak bicara tidak menjawab. Rere
yang masih terus berontak melihat Bami kini merendahkan punggung
bangkunya serasa ingin bergabung ke bangku belakang dan sedetik kemudian
membuka seleting celananya dan mengeluarkan batang dan mengelusnya
pelan sambil mengocoknya sendiri.
Sementara kocokkan jari Mika di dalam selangkangannya semakin lama
semakin cepat. Air mata kini mengalir dari kelopaknya. Dia sungguh tidak
menyangka hal ini akan terjadi. Sungguh Rere merasa merana di
tengah-tengah ketiga laki-laki ini. Sepertinya nafsu mereka tidak bisa
dibendung. Dan hisapan mulut Firdo di buah dadanya juga tidak pernah
puas.
Rere masih berusaha untuk bisa berkomunikasi dengan ketiga orang itu,
mencoba meminta belas kasihan dari mereka. Hisapan ganas bibir Mika
akhirnya berpindah ke belakang telinganya, masih sambil
menggosok-gosokkan jarinya di dalam rahim Rere. Kini, batang kelamin
Bami semakin keras. Rere sedikit ngeri melihat ukuran batang itu.
Sungguh besar kemaluan Bami. Batang kejantanan ke-enam yang pernah Rere
lihat dalam hidupnya. Dan dia yakin sebentar lagi akan melihat batang
yang ke-tujuh dan ke-delapan. Membayangkan jumlah itu membuat Rere
semakin putus asa. Dia terus menangis.
“Tolooong… jangan… lepasin…udah… cukup…” entah kenapa Rere merasa
sama sekali tidak punya kekuatan lagi. Kocokkan, jilatan dan
hisapan-hisapan di sekitar tubuhnya membuatnya dilemma. Rere berusaha
menolak perasaan nafsu yang sepertinya muncul dari dalam dirinya. Dia
merasa marah pada dirinya sendiri jika libidonya tumbuh. Bahkan
luka-luka ditubuhnya sekarang sudah tidak terasa lagi.
Setelah beberapa saat berlalu, Rere kembali merasakan Firdo
menunjukkan nafsunya yang sudah tinggi. Dia menghentikan segala
kegiatannya dan langsung membuka celana panjangnya. Mengeluarkan
kemaluannya yang ternyata sudah tegak menjulang. Sambil mengocoknya
pelan, dia mencoba mengajak temannya berbicara.
“Mik, gue mau masuk… “ Spontan Rere melihat ke arahnya ketika Mika
melepaskan segala aktivitasnya pada tubuh Rere. Mahluk kecil itu sudah
bangun dari tidurnya dan sekarang berdiri dengan kokoh ditengah-tengah
pangkal paha Firdo. Segera saja, ketakutan melanda pikiran Rere melihat
ukuran bena itu yang lebih besar dari pada ukuran Bami. Daerah
segitiganya masih sakit dan trauma dengan segala kejadian yang
menimpanya, dan sekarang dia harus menghadapi benda yang lebih besar di
atas ukuran rata-rata masuk ke dalam tubuhnya.
“Enggak… jangan!!… Tolong…” kembali Rere berusaha kabur setelah
merasa tubuhnya sudah terbebas. Tapi pintu masih terkunci dan Mika
dengan santai memegangi Rere. Mendorong Rere kembali keposisi awalnya.
PLAK!! Tamparan keras menghantam pipi kirinya. Bukan sakit yang
dirasakan Rere, tapi rasa terkejut yang hampir membuat jantungnya
berhenti. “tidak…” dalam hati Rere. Dia melihat Firdo dengan tampang
geram, serasa melihat sosok Ben yang lain. Rere tidak bisa menerima ada
sosok lain yang seperti Ben. Sosok yang ringan tangan dengan nafsu yang
tinggi.
“Jangan ngelawan!! Atau lo gue bunuh…” ancam Firdo. Dengan kecut Rere
merespon ancaman Firdo. Sudah terlalu sering di dalam pikirannya muncul
pikiran itu. Kalau bisa memang dia lebih baik mati. Firdo menarik kasar
kedua kaki Rere agar mendekat kepadanya sehingga membuat badan Rere
terlentang di bangku tengah itu. Mika membuat pahanya menjadi bantalan
untuk kepala Rere, sementara itu Bami masih saja menonton mereka sambil
memainkan ‘adik kecil’nya dan juga sambil mengawasi daerah sekitar,
menjaga agar tetap aman. Firdo dengan tidak sabar membuka kedua paha
Rere yang sekarang sudah ada di hadapannya. Rere memperhatikannya Firdo
tertegun sebentar ketika melihat kemaluan Rere yang sudah terbuka. Dan
tanpa basa-basi lagi, dia mengarahkan adik kecilnya ke lubang kecil di
daerah terlarang Rere.
Kini Rere sudah menyerah ketika dirasakannya benda lunak dan tumpul
itu sekarang menempel di bibir kemaluannya. Dengan hampa dia merasakan
Firdo menggesek-gesekkan kepala penisnya di sekitar klit Rere sebelum
memasukkan benda besar itu ke dalam rahimnya. Dia sedikit mengernyit
merasakan sakit yang amat sangat ketika Firdo memaksakan penetrasi
kering pada adik kecilnya ke dalam vaginanya. Sungguh sesak terasa di
dalam kemaluannya. Begitu juga di dalam mobil ini. Dia terhimpit di
antara 3 lelaki. Tepat ketika Firdo menggoyangkan kemaluannya, air mata
Rere kembali menetes. Dia menangis tanpa suara. Mika mencoba menghapus
air matanya sambil membelai rambutnya.
Firdo terus menggenjotnya, ritmenya sedang dan teratur. Rere mengerti kalau dia berusaha menahan durasi permainannya.
“Jangan diem aja dong Re… “ kata Bami tiba-tiba. Tanpa Rere sadari,
Bami sekarang sudah berada dekat sekali dengannya, ternyata Bami
berpindah ke bangku depan di sebelah setir yang punggung bangkunya sudah
di sejajarkan dengan bangku belakang. Sambil menyodorkan ‘adik
kecil’nya yang sudah membesar itu ke mulut Rere. “Hisap Re…” itu
perintah kalau Rere dengar dari nadanya, tapi Rere enggan mengoral orang
yang sudah menabraknya. Dia memalingkan wajahnya, tetapi Mika menahan
wajahnya dan membuka paksa mulut Rere dengan menekan rahang Rere membuat
bibir Rere membentuk huruf O. Bami pun memasukkan batang kejantanannya
ke dalam mulut Rere yang sekarang sudah terbuka. Dan mengocoknya di sana
.
Kembali Rere teringat kepada memori 4 bulan yang lalu di ruang BP
sekolahnya. Dia teringat ketika pertama kalinya harus mengoral Ben
dengan terpaksa sementara entah kemaluan Zack, Dave atau Sam yang sedang
mengocok bagian bawahnya. Sama dengan keadaan yang sekarang. Bami pun
menahan dan menggerakkan kepala Rere maju mundur seraya menciptakan
pijatan yang enak untuk ‘adik kecil’nya dan Firdo masih dengan
semangatnya mengosok kemaluannya di dalam kemaluan Rere.
“Curang lo semua… gue juga mau masuk…” Mika memprotes kedua temannya.
Firdo yang mendengarnya langsung menghentikan aksinya. Tapi Bami
mengacuhkan mereka masih dengan terus menggoyang selangkangannya di
mulut Rere.
“Masih ada satu lubang lagi kan Mik…” Rere tahu maksud Bami, spontan
dia teriak, tetapi teriakannya teredam batang kejantanan Bami yang masih
saja ada di dalam mulutnya. Akhirnya Bami mengeluarkan batangnya dari
mulut Rere. Rere terbatuk-batuk merasakan nafas lega kini mengisi lubang
hidungnya. Tetapi belum sempat dia mengatur nafasnya, mereka kembali
menjamah tubuhnya. Rere berontak keras ketika dengan kasar mereka
memaksanya untuk duduk dan menungging.
PLAK!! Kali ini panasnya tamparan Firdo dapat dirasakan di pipi kirinya. Membuatnya kepalanya membentur bangku tengah.
“Diam!!” teriak Firdo. “turutin kita ato gue buang lo ke dalam
jurang!!” Rere memang tadi melihat ada banyak jurang di sekitar sini.
Alangkah senangnya jika ada seseorang yang menjatuhkannya ke jurang sana
. Mungkin mati jatuh dengan kepala lebih dulu dan pecah, tidak begitu
sakit rasanya. Tapi tetap saja Firdo tidak melakukannya, dia malah
memaksa tubuh Rere untuk menungging dan bertumpu di kedua tangannya.
“Jangan!! Gak mau di situ…Jangan!!!” berontak Rere ketika dirasakan
seseorang meraba lubang belakangnya. Meraba-raba dengan kasar lubang
dubur Rere seperti ingin membuatnya licin. Seseorang –entah siapa— juga
meludahi lubang anusnya dan meratakan cairannya. Rere menggigit
bibirnya. Dia tahu rasa sakit akan dirasakannya sebentar lagi. Dan
sepertinya ketiga orang itu tidak memberikan kesempatan sama sekali pada
Rere. Bami dengan segera menyusupkan kembali batang kemaluannya ke
dalam mulut Rere. Rasa takut yang teramat-sangat menjalari pikiran Rere.
Dia tidak mau dikeroyok beramai-ramai. Mungkin sedikit melawan akan
membuat Firdo benar-benar mau membunuhnya. Tapi, apakah setelah mati
mereka masih akan menggaulinya? Dan setelah melayani mereka, apakah
setelah selesai mereka akan membunuhnya atau malah menahannya sama
seperti Ben menahan dirinya. Rere merasa dunia ini sudah runtuh di atas
tubuhnya sendiri. Dia jadi teringat kata pepatah tentang ‘keluar dari
kandang macan, masuk ke kandang harimau’.
Benda tumpul yang keras sekarang menyeruak masuk ke dalam lubang
duburnya. Rere tidak mau perduli milik siapa benda itu. Dia juga tidak
bisa berkonsentrasi dan pasrah dengan kocokkan penis Bami di dalam
mulutnya. Dan sekarang, penis seseorang sudah masuk sepenuhnya ke dalam
lubang duburnya. Walaupun anal bukan hal pertama kali untuk Rere, tapi
dia merasa merana sekali. Setiap gesekan penis itu bergerak di dalam
duburnya, seolah menyayat setiap inci dinding lubang belakangnya.
“engh…” rintihannya tertahan batang penis Bami yang terus saja
memperkosa mulutnya. Keringat mulai menetes disetiap pori-pori kulitnya.
Serasa Rere dapat melihat endapan hawa di setiap pojok-pojok kaca
mobil. Entah kenapa air matanya terus mengalir, dia berpikir seharusnya
stok air matanya sudah habis. Tapi semua itu belum selesai, karena
tiba-tiba seseorang menarik tubuhnya, membuat hisapan mulutnya di
kejantanan Bami terlepas dan menelentangkan dirinya menindih seseorang
di belakangnya dengan kejantanan yang masih terus menancap di bagian
belakang tubuhnya. Sedetik kemudian, Rere sadar kalau itu adalah Firdo
yang sedang menyanggamai lubang belakangnya ketika Mika sekarang muncul
di hadapannya. Dia tidak begitu heran kenapa rasa benda itu begitu besar
dan menyakiti tubuhnya.
Di posisi seperti itu, Rere sama sekali tidak berusaha untuk
menyelamatkan diri lagi. Lingkungan sekitar yang sejak tadi
diperhatikannya benar-benar sepi, dia sama sekali tidak melihat ada
seseorang yang berlalu lalang sejak Terano itu terparkir. Tapi Rere
masih bisa melihat dengan jelas hamparan kebun teh yang luar biasa luas.
Kini Mika mengambil ancang-ancang di depannya. Rere tahu apa yang akan
dilakukannya, dia pernah melihat adegan itu di salah satu video porno
milik Ben. Tapi dia sama sekali tidak berpikir bahwa suatu saat akan
mengalaminya, karena Ben sama sekali tidak menyukai permainan dan posisi
seperti itu. Ben lebih mengerti kalau Rere hanya bisa satu lawan satu,
walaupun sekeji apa sifat dan siksaannya pada Rere, Rere yakin bahwa Ben
tidak akan pernah berbuat keji secara seksual.
“Please… jangan begitu…” iba Rere ketika dilihatnya Mika mencoba
untuk berpenetrasi dari depan. Tidak ada yang mau merespon Rere, mereka
seperti terserang penyakit tuli atau lebih parah lagi dari libido
tinggi. “Aaahhh…” teriak Rere merasakan sekarang Mika sudah memasuki
tubuhnya. Kini posisi Rere tepat ditengah-tengah Firdo dan Mika, dia
sungguh merana. Dia merasa terhina diperlakukan seperti itu. Tubuhnya
seolah menciut dan terdesak ke dalam lubang karet sempit ketika kedua
pemuda itu memperkosanya secara bersamaan. Walaupun mereka menggoyang
dengan tempo pelan, Rere masih saja merasa tersiksa. Teriakan dan
erangannya terdengar menyayat hati siapa saja yang mendengarnya, tapi
Bami hanya tersenyum. Kini, keringat membasahi sekujur tubuh Rere, wajah
dan dadanya terlihat mengkilat di tengah-tengah laki-laki yang
menyanggamainya.
Rere sadar, seberapapun keras teriakannya, tidak akan ada yang bisa
menolongnya. Remasan dan hisapan Mika dikedua buah dadanya pun sama
sekali tidak membantunya untuk menikmati permainan mereka. Tidak ada
rangsangan sama sekali yang Rere rasakan. Ciuman Bami pun di bibirnya di
tolak dengan tegas. Rere melengoskan kepalanya ketika Bami ingin
menciumnya. Tapi, Rere menyadari, tidak ada hal apapun yang bisa
menghalangi keinginan mereka. Dengan kasar Bami memaksa wajah Rere
menghadap wajahnya dan dengan ganas menciumi bibirnya. Jijik dirasakan
Rere ketika lidah Bami bermain di dinding atas mulutnya. Hanya air mata
yang keluar dari kelopak matanya yang indah yang menunjukkan betapa
menderitanya dia sekarang. Selangkangannya terasa panas, lubang duburnya
perih, tapi Firdo masih dengan kencang memeluk perutnya yang masih
sakit dari belakang dan menekan-nekan kejantanannya menusuk bagian dalam
belakang Rere, menguntungkan Mika yang otomatis juga terstimulasi
oleh kemaluan Rere. Kini Bami menghentikan ciumannya dan mengambil
posisi tepat di samping kepala Rere, dia tersenyum sambil menyodorkan
—entah bagaimana caranya— ‘adik kecil’nya untuk di hisap Rere. Ternyata,
bagian tengah mobil yang sekecil ini bisa memuat 4 insan yang melakukan
aktivitas maksiat di dalamnya walaupun keadaan itu harus membuat mereka
berhimpitan.
Kembali Rere merasakan Bami menekan kedua sisi rahangnya ketika
dengan tegas dia menolak untuk mengoral batang kejantanannya. Membuat
—dengan kasar— bentuk O yang indah di mulut Rere dan menyulutkan
kejantanannya masuk ke dalam mulutnya. Rere berusaha teriak, dia tidak
mau diperlakukan seperti itu. Dia sungguh terhina, dia merasa sakit
sekali. Seluruh tubuhnya habis disisipi setiap batang kejantanan ketiga
pemuda itu. Rere menangis dalam diam, dia tahu, dia hanya bisa berharap
semua itu akan segera berakhir.
Tepat ketika 3 menitan berlalu, Rere mendengar Firdo mulai mengerang
berat di belakang telinganya, kembali lubang duburnya terasa nyeri luar
biasa ketika Firdo mempercepat ritme goyangannya. Rere hanya bisa
memejamkan mata, berusaha untuk tidak merasakan sakit yang teramat
sangat di bagian bawahnya. Sampai beberapa saat kemudian, Firdo
menyemprotkan spermanya di dalam anus Rere. Dan terkulai lemas
melepaskan pelukan eratnya di perut Rere. Tetap saja, Rere belum bisa
bernafas dengan bebas karena kejantanan Bami masih terus menggenjot
mulutnya. Tepat ketika Mika mempercepat goyangannya, Bami berejakulasi
menyemprotkan cairannya di mulut Rere. Rere tidak mau menelannya, dia
segera memuntahkan sperma itu keluar dan mengalir ke lehernya yang putih
mengkilap.
“Tolong… jangan buang di dalam… “ keluh Rere berharap Mika masih mau mendengarnya. “Tolong… gue lagi subur…”
“Ok…” kata Mika akhirnya. “Buka mulut lo…” lanjutnya seraya mencabut
batangnya dari tubuh Rere dan menyarungkannya kembali ke mulut Rere.
Rere masih harus mengoral Mika sebentar sebelum akhirnya dia dia
merasakan laki-laki itu berejakulasi di dalam mulutnya. kembali Rere
memuntahkan cairan itu yang akhirnya mengalir ke bagian leher dan
dadanya.
Bami entah sejak kapan sudah kembali ke balik setirnya. Apakah ini
artinya mereka sudah selesai? Rere berharap dalam hati ketika
didengarnya dari bawah telinganya Firdo berkata
“Lo boleh turun dari gue…” sedikit terkejut, dia tidak menyadari
bahwa ternyata dia masih terlentang di atas tubuh Firdo. Penis Firdo
yang sekarang sudah melembek, terlepas lemas dari dalam duburnya ketika
Rere mengangkat tubuhnya sendiri untuk duduk di sebelah. Dirasakan
sperma kental mengalir keluar dari anusnya yang terluka menandakan bahwa
pemuda itu memang berejakulasi di dalam. Dilihatnya ketiga lelaki itu
kembali merapikan penampilan mereka. Bami melempar kain putih berbercak
darah dari bangku depan ke pangkuan Rere. Dan berdasarkan insting,
dengan cepat Rere melilitkan kembali kain itu menutupi tubuhnya. Tidak
tahu harus berbuat apa, Rere memikirkan nasibnya, seraya menunggu apa
yang akan terjadi selanjutnya.
“Lo boleh pergi sekarang…” kata Firdo santai. Rere tidak mengerti,
dia merasa tidak akan semudah itu mereka menyuruhnya pergi. “Lo bilang
lo mau turun… lo boleh turun sekarang…sekarang! sebelum gue berubah
pikiran…” masih dengan nada santai.
Tanpa berpikir lagi, Rere segera mengangkat tubuhnya keluar dari
mobil itu. Mungkin sudah terlambat, tapi dia memang ingin pergi dan
menjauhi mereka sebelum segala sesuatunya menjadi lebih buruk.
Telapak kakinya yang telanjang kembali menapaki lantai aspal yang
kasar. Hawa dingin sekarang bertiup dari segala arah. Tanpa melihat ke
belakang Rere menapaki kebun teh, berusaha menjauh dari jalan aspal yang
ternyata sangat mengerikan itu. Dia masih bisa mendengar derum mobil
sekarang menjauhinya. Perasaan lega luar biasa mengisi hatinya sekarang.
Dia aman… at least, for now… Di pelajari lingkungan sekelilingnya,
ribuan petak kebun teh itu benar-benar sepi. Entah kenapa pikirannya
sekarang buntu. Hatinya hancur, harga dirinya sudah benar-benar hilang.
Harapan untuk hidupnya sekarang sama sekali tidak ada. Pikiran buntu
dalam dirinya mencuil menggoda Rere untuk mengakhiri segala sesuatu yang
menimpanya sekarang. “come on Re…” katanya dalam hati, “banyak jurang
di sini…terjun aja…” goda sisi jahatnya. Kalau boleh jujur, Rere sangat
ingin mengakhiri semua penderitaannya. Dia terus melangkah tanpa
memperhatikan sekitarnya. Kain putih yang sekarang tidak putih lagi
meliliti tubuhnya tanpa bisa mengurangi hawa dingin yang menerpa
tubuhnya.
Hari sudah semakin gelap, Rere masih bingung apa yang harus
dilakukannya. “Minta pertolongan orang..” katanya dalam hati, tapi
kemudian dia berpikir kembali, siapakah yang akan menolongnya dengan
keadaan setengah telanjang seperti ini. Bahkan mungkin dia akan menemui
orang yang sama seperti Bami dan kawan-kawannya. Tanpa disadari, jurang
terjal sekarang ada di depannya. Sedikit terpeleset, dia mengukuhkan
dirinya agar tidak terjatuh. Gemeretak giginya menandakan bahwa seluruh
tubuhnya menggigil kedinginan. Dia berusaha memfokuskan pandangannya.
Sama sekali tidak terlihat di matanya dasar dari jurang di depannya itu.
Apakah kalau dia loncat sekarang dia akan langsung mati? Apakah kalau
terjun nanti dia bisa merasakan perihnya kematian? Atau hanya terluka
dan akhirnya cacat seumur hidup? Dia tidak mau cacat, dia mau mati saja.
Badannya sudah kotor sekali penuh dosa. Atau mungkin nanti Sang
Pencipta bahkan tidak mau menerimanya? Ah, biarlah. Rere
berpikir, mungkin rohnya yang gentayangan akan mengganggu Ben seumur
hidupnya. Karena tidak mungkin ada orang atau mahluk apapun yang bisa
hidup jika terjun ke dalam jurang itu, Rere memperhatikan, surau hitam
nan kelam mewarnai dasar jurang yang Rere tidak tahu sedalam apa. Sore
ini langit masih jingga, tetapi dasar jurang itu begitu kelam.
Kembali, air mata menetes di kedua pipinya yang sekarang kotor penuh
peluh dan luka gores. Melayang sosok Albie di pelupuk matanya ketika dia
memejamkan mata.
“Met tinggal Albie…” katanya kemudian. Masih dengan memejamkan mata,
Rere kembali berpikir ke orangtuanya. “Met tinggal Ma… Pa. .. maafin
Rere…” rintih Rere terisak. Air matanya deras mengaliri wajahnya.
“Lola…” Rere teringat sahabatnya dan sama sekali tidak bisa membuat air
matanya berhenti. “Seandainya…..kalo gue punya kesempatan… gue mau minta
maaf sama lo… gue dah nyakitin elo…Tapi…” sesegukan Rere berusaha
memantapkan dirinya. “Mudah-mudahan Albie akan sadar… begitu gue gak
ada… mudah-mudahan dia akan sadar kalo elo tuh cewe yang manis… kalo lo
tuh cewe yang pantes untuk di sayangi…” mengakhiri kata-katanya, Rere
melangkahkan kaki beberapa inci ke depan. Tanah lunak dipijakannya
berjatuhan ke bawah jurang. “Met tinggal semuanya…” Kali ini dia sudah
mantap, bertekad mengakhiri hidupnya. Tidak ada sesuatupun di dunia ini
yang bisa mengobati lukanya. Rere sudah bersiap untuk menjatuhkan
tubuhnya untuk
bertemu dasar jurang ketika dengan tiba-tiba tangan seseorang dengan
kuat menangkap dan memeluk tubuhnya dari belakang, menahan berat badan
Rere agar tidak terjatuh ke bawah.
“RERE!!!” suara laki-laki yang tak asing berteriak tepat di belakang
telinganya. Rere memalingkan wajahnya untuk melihat ke belakang.
Sepintas dia merasa bahwa Albie yang akan datang dan menolongnya lagi.
Tapi, setelah memfokuskan pandangannya pada raut muka di dekatnya, Ben
dengan tampang pucat ketakutan yang membalas tatapan matanya. Memegangi
dirinya dari belakang menarik tubuhnya agar menjauhi tepi jurang. Rere
berontak, berkutat lemah dalam pelukan Ben yang sangat kuat.
“LEPASIN GUE LO BAJINGAN!!! LEPASIN GUE!!” teriak Rere histeris. Ben
adalah orang terakhir yang Rere harapkan untuk bertemu di saat-saat
seperti ini. “JANGAN SIKSA GUE LAGI!! PLEASE… BIARIN GUE PERGI!!!”
berontak Rere sambil menangis histeris. Dia merasa semua ini adalah
kesalahan Ben sejak awal, bahkan ketika ketiga pemuda tadi yang
memperkosanya itu juga termasuk kesalahan Ben. Tapi Ben masih dengan
sangat kuat terus memeluknya dari belakang, berusaha membawanya menjauh
dari jurang, tidak menghiraukan teriakan-teriakan dan pukulan-pukulan
kecil Rere di tubuhnya.
Merasa sudah aman dari jarak tepi jurang, Ben akhirnya membalikkan
tubuh Rere dan memeluknya dari depan dengan erat. Ada sesuatu yang aneh
yang Ben temukan dari Rere, pelukannya terasa lengket dan dingin. Dan
Ben dapat mencium sesuatu yang dia kenal dari tubuh Rere. Ben
menjulurkan Rere ke depan sambil terus memegang pundaknya menahan agar
Rere tetap berdiri. Memeriksa mata Rere yang merah menahan air mata dan
amarah, banyak luka gores di sekitar kening dan pelipisnya, pipinya
merah, sedikit sisa-sisa darah kering masih melekat di wajah, pinggir
bibir dan lehernya, Rere masih sangat cantik pikir Ben dalam hati, dan
apa itu? Ben mencoba menyentuh sesuatu yang putih kering, berkerak yang
sekarang terasa lembab terkena keringat Rere di sekitar mulut, leher dan
dada gadis itu. “Sperma kering…” kata Ben dalam hati. “Oh tidak… Rere…”
sambungnya menyadari apa yang telah terjadi pada tawanannya itu
beberapa saat lalu.
“Yeah!!…” cetus Rere sinis, “Puas lo sekarang!! Hah?!!…” sambungnya
marah, “Puas Lo!??… Lo dah bikin hidup gue ancur!! ITU YANG LO MAU KAN
??!” nada Rere kini semakin tinggi, dia sadar badannya sudah sangat
lemah, mungkin kalau memancing amarah Ben, dia akan membuangnya ke dalam
jurang itu.
Sementara Ben masih memegangi Rere di pundaknya. Sedikit shock mendengar perkataan Rere.
“SENENG KAN LO??” masih dengan teriakan Rere
“Apa yang terjadi…” Tanya Ben sedikit datar.
“Apa yang terjadi?” balik Rere bertanya, “APA YANG TERJADI!!…. MEREKA
PERKOSA GUE!! ITU YANG TERJADI!! NGERTI LO!!” entah kenapa tiba-tiba
air matanya menghilang, rasa amarahnya sekarang berkobar-kobar melebihi
rasa putus asa yang tadi dirasakannya. Bahkan hawa dingin tadi sekarang
tidak dirasakannya. “Sekarang…” sambung Rere lagi, “mendingan lo lepasin
gue… jangan ganggu hidup gue lagi…”
“Siapa mereka…” tanya Ben lagi.
“Siapa mereka???” Rere tidak habis pikir dengan pertanyaan Ben, “HOW
THE FUCK SHOULD I KNOW?!!” bibirnya hampir bergetar menjawab pertanyaan
Ben tadi. Dia marah sekali. Rasanya tidak etis Ben bertanya siapa mereka
yang telah memperkosa dan membuangnya di jalanan seperti ini.
Sepintas, Rere bisa melihat Ben yang berwajah hampa dan pucat. Tapi
tiba-tiba “PLAK!!” tamparannya menghantam pipi kiri Rere. Dengan badan
yang sudah lemah seperti itu, Rere tidak mempunyai kekuatan untuk
bertahan lagi, dia kembali jatuh ke lantai aspal. Sama sekali tidak ada
rasa sakit dalam tamparan itu. Mungkin kulitnya sudah kebal karena udara
dingin dan amarahnya.
“Siapa mereka, lo harus tau!!” Ben berkata kemudian, nada itu
perasaan marah dan terluka. Rere bisa merasakannya. “Biar gue bisa cari
mereka dan bunuh mereka semua!!” Rere bisa melihat tangan kanan Ben kini
mengepal. Mendengar Ben membelanya, Rere tidak bisa menahan rasa
sedihnya. Kini air matanya kembali mengalir, badannya bergetar hebat,
menggigil kedinginan.
“Lo gak perlu repot-repot bunuh mereka…” balas Rere dari jalanan
aspal yang sekarang merasa energinya sudah habis semua, “mendingan lo
bunuh gue aja…” sambungnya lagi, “please Ben… gue udah gak tahan lagi…”
rintih Rere.
“Jangan ngaco lo Re…” seru Ben sambil kini berjalan menghampiri Rere,
mengangkat tubuh Rere dari tanah aspal dan menggendongnya. “Buat apa
gue capek-capek nyulik lo, kalo cuman untuk ngeliat lo mati…” kini dia
membawa Rere menuju sedan hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat
mereka, “Mendingan gue langsung bunuh lo waktu pertama kali gue ngeliat
lo…” lalu Ben meletakan Rere di bangku depan di samping setir,
mengeluarkan selimut tebal dari bangku belakang dan menyelimuti Rere
yang menggigil hebat seraya membungkusnya seperti bayi. Setelah itu, Ben
berlari kecil mengitari mobil menuju pintu sisi yang lain. Duduk di
sebelah Rere, Ben memasangkan seatbelt pada Rere dan dirinya sendiri.
Membelai rambut Rere dan mengecup keningnya pelan sebelum memacu
mobilnya. “Ayo… kita pulang…”.
Semilir angin sejuk dirasakan Rere ketika mobil sudah berjalan. Dia
sama sekali tidak bisa mencerna semua kejadian 10 menit yang lalu.
Tamparan Ben di pipinya sekarang terasa panas, namun entah kenapa rasa
itu sekarang menghangatkan hatinya. Perilaku Ben yang kasar sekaligus
lembut tadi benar-benar menggugahnya. Rere juga tidak bisa memutar
otaknya untuk bertindak lebih lanjut. Rasa luar biasa lelah menggerogoti
tubuhnya sekarang. Kedua kelopak matanya yang indah itu sekarang terasa
berkilo-kilo beratnya. Rere memejamkan mata mencoba mempelajari apa
yang sekarang dirasakannya dalam hati. Dia bahkan sempat merasakan Ben
membelai rambutnya sambil berbisik “I’m really sorry Re…” sebelum dia
terlelap tertidur terbawa alam bawah sadarnya untuk mengistirahatkan
hati dan tubuhnya.
Cheers…..
.
TAMAT
Minggu, 11 Januari 2015
Sidebar
Search
-
Aku Andre ingin menceritakan petualangan dengan si nyokap. Siang itu, aku dan mama berada di minimarket kami. Aku tidak kuliah. Seperti b...
-
Aku adalah seorang pria berumur 42 tahun, menikah dan sudah memiliki dua anak yang lucu-lucu. Setelah membaca kisah-kisah di situs ini, ...
-
Berawal dari gue mau ambil uang di atm sebuah bank swasta yang letaknya berada di sebuah mall di kota ku. nah pada saat itu gak terl...
-
Namaku sebut saja ningsih (18) aku seorang pembantu rumah tangga di sebuah keluarga kaya raya di jakarta. Pekerjaan ini terpaksa aku lalu...
-
Hari ini adalah hari Minggu, tak seperti hari-hari lainnya aku harus bangun pagi, untuk bersiap pergi ke kantor, hari ini aku santai seka...
-
Hari itu Rita pulang agak kemalaman dari tempat kerjanya di bilangan Senen, jadi kendaraan umum pun sudah agak jarang yang melintas. Sem...
-
Dalam cerita ini saya menamakan diri saya, “Heather”. Ini bukan nama saya yang asli, untuk suatu alasan yang saya pikir paling baik un...
-
Namaku Hendri, aku bekerja di sebuah kantor BUMN. Aku sudah menikah selama 3 tahun dengan istriku. Walau kami belum dikaruniai anak, kami...
-
Petualanganku di dunia birahi sudah malang melintang. Dimana pun lokasi syur di Jakarta sudah pernah ku datangi. Ada satu tempat favoritk...
-
Larsih, 26 tahun dan suaminya Tono, 32 tahun, tinggal di rumah petak kontrakan di samping kanan kamar pasangan suami isteri Mas Diran, 38...
Popular Posts
DAFTAR ISI
-
▼
2015
(32)
-
▼
Januari
(32)
- Kontolku disepong 3 cewek
- Ternyata Kontolku dilomot
- Memek kakak Iparku
- Kontol Juraganku menjebol memekku
- Permainan lidah Rina memang mahir
- Memperkosa 3 Wanita Berjilbab
- Menikmati memek ibu temanku
- Celah Dinding Kontrakan
- Rina Gadis Jilbab Bertubuh Sekal
- Gairah Ibu Muda Berjilbab
- Memek Atun pembantuku
- Mama Lisna dan Pak RT
- Aku Sadar Dijadikan Obyek Onani Oleh Anakku
- Memuaskan Ustazah Dila Yang Lagi Horni
- Kuentot memek dokter berjilbab
- Kubuka Jilbab Ibu Kostku Yang Menggoda
- Wanita berjilbab itu istri orang, dan dia menikmat...
- Digilir 8 Kontol
- Desahan Tanteku bikin aku muncrat
- Ngentot Dahsyat dengan Syahrini
- Mantapnya memek wulan guritno
- Nafa Urban mendesah
- Memek Diana mantaaaap
- Memek Denita dibanjiri sperma
- Rere Gadis SMU yang Malang
- Sony kamu sungguh luar biasa Sayang
- Menjádi pemuás náfsu seks Ibu mudá
- Ngentot TINNY, PACAR SAHABATKU
- CEWEK DESA
- Gemes Deh
- Keperawanan ku Hilang di Penginapan
- Menikmati Memek Sari teman Kost
-
▼
Januari
(32)
0 komentar:
Posting Komentar