Larsih, 26 tahun dan suaminya Tono, 32 tahun, tinggal di rumah petak
kontrakan di samping kanan kamar pasangan suami isteri Mas Diran, 38
tahun dan Murni, 28 tahun. Dan disamping kirinya tinggal Mak Sani, janda
tua 64 tahun, yang tinggal sendirian karena anak-anaknya sudah pada
menikah dan berada di tempat lain.
Pasangan Larsih dan Tono
serta para tetangganya itu tinggal di deretan petak-petak rumah
kontrakan di bilangan kota Bekasi. Ada sekitar 3 atau 4 rumah petak lain
yang sejenis juga tersebar di sekitar rumah yang ditempati Larsih dan
Tono itu. Rumah-rumah itu rata-rata berbentuk bangunan panjang sederhana
dengan deretan petak ruang-ruang kamar ukuran 3 X 6 m2.
Dalam
ruang yang sempit itu para penghuninya melakukan berbagai kegiatan
rumah tangganya. Fungsi dapur, kamar tidur dan ruang keluarga atau ruang
tamu saling silih berganti sesuai kebutuhan.
Antara petak satu
dengan lainnya hanya dibatasi oleh dinding tipis yang terbuat dari
tripleks. Dinding itu telah banyak mengelupas di sana-sini. Pada
beberapa bagiannya bahkan juga ada lubang-lubang sehingga bukannya tidak
mungkin tetangga yang satu mengintip tetangga lainnya.
Secara
berkala Larsih dan Tono menempelkan kertas koran di sana sini pada
dindingnya untuk menutupi bolong-bolong itu sebelum mereka mengecatnya.
Dengan dinding macam itu, untuk saling tegur sapa antar tetangga mereka
tak perlu secara khusus berhadapan atau keluar rumah. Mereka sudah
terbiasa lempar omongan diantara dinding-dinding itu. Sambil melakukan
kegiatan sehari-hari mereka bisa saling bicara dari tempat
masing-masing. Mereka ini memang orang-orang yang mudah dengan cepat
menyesuaikan diri dan terbiasa menghadapi hidup yang serba kekurangan di
tengah kota besar macam Bekasi itu.
Akan halnya keluarga Larsih,
Tono suaminya bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan angkutan.
Hampir setiap hari dia berangkat kerja dari pukul 6 pagi hingga
pulangnya pada pukul 7 malam. Maklum dia menggunakan kendaraan umum yang
apabila kesiangan di pagi hari akan kena macet di jalanan sehingga
berakibat terlambat sampai di kantor. Sebaliknya pada saat pulang tidak
mudah mendapatkan tempat di bus kota yang berjubel itu. Dan tentu saja
hampir setiap hari pula Larsih harus sibuk sendirian di rumah. Sesekali
dia ngobrol sama Mak Sani atau tetangga lain untuk sekedar membuang rasa
bosan.
Adapun tetangga samping kirinya, Mas Diran dan istrinya
Murni, adalah juga orang-orang yang sibuk. Mas Diran bekerja sebagai
Satpam di kompleks pergudangan Bekasi. Dia bekerja bergilir, seminggu
tugas malam, dari pukul 6 malam hingga pulangnya pukul 6 pagi, kemudian
seminggu berikutnya tugas siang dari pukul 6 pagi hingga pulangnya pukul
6 malam. Istrinya, Murni bekerja sebagai perawat di rumah sakit
bersalin di bilangan kecamatan tidak jauh dari rumahnya.
Jadi
pada waktu-waktu tertentu di siang hari rumah Mas Diran dan Murni kosong
selama satu minggu karena Mas Diran kebetulan kena giliran jaga di
siang hari. Dan pada minggu lainnya sesekali Larsih melihat Mas Diran
yang sedang santai di rumahnya karena kebagian gilir jaga di malam
harinya.
Begitulah kehidupan per-tetangga-an mereka selama berbulan-bulan hingga.. Terjadilah peristiwa dan cerita ini..
Peristiwa
dan cerita yang penuh nafsu syahwat birahi, yang akan merubah suasana
dan situasi kehidupan mereka yang tinggal di deretan rumah kontrakan
sederhana itu. O, ya.. Aku lupa. Perlu aku jelaskan bahwa untuk
keperluan mandi, mencuci dan kakus pada mereka tersedia tempat dan
fasilitasnya untuk digunakan bersama. Secara bergantian tentunya. Dan di
situlah terjadi saling ketemu, saling tegur dan saling pandang antar
tetangga satu sama lainnya.
Dan dari sini pulalah awal dari segala peristiwa dan cerita ini..
Larsih
adalah perempuan yang suka sibuk. Dia tidak mau diam. Selalu ada yang
dia kerjakan. Disamping setiap hari dia membersihkan dan merapikan
rumahnya yang kecil itu Larsih juga senang memasak dan mencuci
pakaiannya atau pakaian suaminya. Hampir banyak waktunya dia habiskan di
dapur dan tempat mandi dan cuci.
Dan tentu saja tetangganya,
dalam hal ini Mas Diran justru sering melihat dan berjumpa Larsih di
tempat ini. Pada saat dia kena gilir jaga malam se-siang hari Mas Diran
yang sendirian karena istrinya lagi kerja banyak keluar masuk di tempat
mandi dan cuci ini. Karena seringnya bertemu berdua saja, mau tidak mau
seringlah terjadi saling tegur sapa antara Larsih dan Mas Diran. Tidak
bisa dipungkiri bahwa Larsih yang baru 26 tahun itu memiliki daya tarik
seksual yang lumayan. Ibarat kembang Larsih ini sedang mekar-mekarnya
dan ranum.
Semerbak bau dan tampilan tubuhnya bagaikan madu yang
mampu membuat mabok para kumbang dan kupu-kupu. Tubuhnya yang nampak
‘getas’ dengan tingkahnya yang gesit membuat dia demikian mudah
memancing syahwat para lelaki normal yang melihatnya. Dan tentu saja
syahwatnya Mas Diran yang juga lelaki normal itu. Diam-diam selama ini
Mas Diran memang selalu memperhatikan sosok Larsih. Dia cukup
‘kesengsem’ dengan istri tetangganya itu.
Dan dari waktu ke waktu
Mas Diran sering dan semakin merasa sepi saat tidak bisa menyaksikan
Larsih berada di tempat mandi dan cuci. Dia jadi gelisah. Mondar-mandir
atau mengintip ke belakang di tempat mandi cuci itu. Tak dipungkiri
bahwa Mas Diran suka membayangkan betapa nikmatnya kalau bisa berasyik
masyuk dengan Larsih.
Dia melihat banyak kelebihan Larsih dari
istrinya Murni. Dia melihat dan mambayangkan betapa Larsih akan sangat
‘panas’ saat berada di ranjang. Dia bisa merasakan bagaimana perempuan
dengan betis kecil dan dada yang bidang macam Larsih itu akan menjadi
kuda betina liar yang terus meringkik kehausan saat bergelut di ranjang.
Mas Diran juga membayangkan bagaimana susu Larsih yang belum melahirkan
anak itu akan menjadi kenyal saat mendapatkan sentuhan atau sedotan
dari lidah atau bibir lelaki. Susu yang pada saat kena sentuhan birahi
akan membuat putingnya naik terangkat dan mencuat ke depan. Warnanya
yang merona merah akan sangat menantang seseorang untuk mendekatkan
bibirnya dan menghisapinya.
Mas Diran tidak bisa mengelakkan
penisnya yang selalu ngaceng saat membayangkan pesona Larsih yang istri
tetangganya itu. Akan halnya Larsih sendiri, dia menyadari dan tahu
bahwa dirinya termasuk seorang perempuan yang memilik pesona seksual.
Banyak lelaki dan khususnya Mas Diran yang tetangganya itu sering
kepergok saat memperhatikan tubuh indahnya.
Beberapa kali, atau
sering kali dia mencuri pandang dan melihat bagaimana Mas Diran melotot
matanya melihat tampilan dirinya. Sebagai perempuan muda, Larsih tidak
menutupi kebanggaannya saat ada lelaki, siapapun dia, yang menunjukkan
ketertarikan atau kekaguman pada dirinya atau pada tubuhnya. Bukankah
itu merupakan semacam pengakuan dari para lelaki bahwa dirinya cantik,
menarik dan pantas dikagumi? Dan Larsih termasuk perempuan yang selalu
haus pengakuan macam itu.
Walaupun Tono suaminya tak pernah
berhenti memuji kecantikannya dia masih juga senang saat ada lelaki lain
yang memperhatikan dengan penuh nafsu pada bagian-bagian sensual
tubuhnya. Dia tahu Mas Diran suka memperhatikan tulang pipinya yang
tinggi dan membuatnya nampak manis itu. Dia tahu Mas Diran sangat suka
mempehatikan bibirnya saat dia sedang berbicara apa saja. Dia tahu Mas
Diran suka memperhatikan lehernya yang jenjang dan bahunya yang lebar,
seakan menunggu kesempatan kapan untuk bisa mendaratkan lidah dan
bibirnya di atasnya.
Dia tahu Mas Diran suka memperhatikan celah
di antara buah dadanya. Dia tahu Mas Diran suka memperhatikan ketiaknya
saat menjemur pakaiannya. Dia tahu Mas Diran suka memperhatikan
pantatnya yang seksi saat dia nungging menyapu lantai tempat mencuci.
Dia juga tahu bagaimana mata Mas Diran berusaha menembusi celah roknya
saat dia jongkok di tempat cucian. Dia juga tahu dan merasakan betapa
Mas Diran pengin melihat bagian-bagian tubuhnya yang sangat rahasia.
Dan
Larsih sangat menikmati bagaimana Mas Diran memuaskan matanya untuk
menikmati pesona tubuhnya. Dia sangat senang saat melihat mata Mas Diran
yang melotot seakan hendak menelanjangi dan melahap tubuhnya. Dan
Larsih akan kesepian dan gelisah pada saat tak ada Mas Diran. Pada saat
Mas Diran kena giliran jaga siang hari, hati Larsih menjadi kosong dan
merasa sendirian.
Larsih menjadi malas berbuat apapun. Malas
masak, malas nyuci, malas mandi dan malas lain-lainnya. Dia merasa
kehilangan pengagumnya. Dan dia juga seakan kehilangan semangat
hidupnya.
Begitulah hingga pada suatu pagi..
Lokasi di rumah
kontrakan pagi ini nampak sunyi. Murni sudah berangkat kerja. Tono sudah
berangkat kerja pula. Kebetulan Mak Sani juga sedang pergi nginap di
tempat anaknya di Serang. Nampak Larsih dengan cuciannya yang
menggunung, karena baru saat ini pengin nyuci sesudah 4 hari
bermalas-malasan. Dia nampak sibuk dengan memilah-milah dan menggilas
pakaian-pakaiannya. Pagi ini dia menunjukkan semangatnya kembali. Dia
tahu mulai hari ini Mas Diran untuk selama satu minggu ke depan akan
selalu berada di rumah pada siang hari. Dia kena tugas jaga di malam
hari selama seminggu.
Sesudah satu minggu menunggu dalam sepi,
hari ini Larsih sudah bertekad akan banyak nyuci atau masak yang
membuatnya bisa mondar-mandir di tempat mandi dan cuci ini. Dia sudah
rindu akan mata hausnya Mas Diran yang seakan menelanjangi dan hendak
menelan tubuhnya itu. Dia sudah rindu akan pandangan penuh birahi Mas
Diran yang bisa membakar semangat kerjanya pula. Dia merasakan betapa
dari setiap pandangan mata Mas Diran pada bagian-bagian tubuhnya membuat
dirinya sangat bangga dan tersanjung.
Pagi ini Larsih lebih dari
sekedar nyuci. Pagi ini Larsih sengaja berdandan khusus untuk Mas
Diran. Dia memakai baju atas yang memperlihatkan belahan dadanya lebih
membelah, disamping lebih menunjukkan keindahan bahu dan ketiaknya. Baju
atasnya itu hanyalah sepotong kain yang membungkus sebagian kecil
dadanya dengan tali kecil yang nyangkut ke bahunya. Dengan baju macam
itu Mas Diran akan lebih bisa menikmati keindahan tubuhnya, ketiaknya
dan belahan dadanya.
Larsih juga mengenakan rok yang sangat
pendek. Dia ingin menunjukkan betisnya yang ranum bak padi bunting serta
membuat lebih banyak menampakkan bagian dengkul hingga naik ke sedikit
pahanya. Pada saat jongkok, bukan tidak mungkin Mas Diran juga
berkesempatan melihat secercah celana dalamnya. Jantung Larsih berdesir
saat mengkhayalkan bagaimana nanti Mas Diran terpukau pada saat
menyaksikan bagian-bagian tubuhnya yang sensual dan sangat rahasia ini.
Jam
menunjukkan pukul 9 pagi. Larsih sudah tak sabar menanti kehadiran Mas
Diran. Mas Diran memang biasa bangun siang sesudah tugasnya yang hingga
pagi hari itu. Biasanya dia baru keluar untuk mandi sekitar pukul 10
pagi.
Tetapi untuk pagi ini, mungkinkah dia keluar lebih awal..?
Hati
Larsih melonjak girang sekaligus deg-degan saat mendengar gerendel
pintu rumah Mas Diran dibuka. Dengan hanya bercelana kolor dan kalung
handuk Mas Diran keluar dari rumahnya.
“Pagi, Dik Larsih. Sudah rajin nih, ya. Bagaimana kabarnya. Dik Larsih dan Mas Tono sehat?”, sapa ramah Mas Diran.
Dengan
muka berona kemerahan karena menahan desirnya jantung dan hati, Larsih
menjawab, “Pagi Mas Diran. Baik. Baru bangun ya?!”, sambil menebar
senyuman dan matanya menatap tubuh Mas Diran.
“Iya, nih. Semalam
benar-benar begadang karena ada satu teman yang absen. Saya mesti
menggantikannya. Ss.. Saya kk.. Kehilangan giliran tidurnya, dd.. D..
Dik”, kali ini jawabannya agak tersendat. Mas Diran menyaksikan betapa
Larsih nampak sangat membangkitkan birahinya dengan pakaiannya yang
banyak terbuka itu.
Sepertinya Larsih langsung tahu. Dia gembira
hatinya karena tujuannya tercapai. Kemudian sambil pura-pura membetulkan
ikatan rambutnya, Larsih mengangkat tangannya hingga ketiaknya yang
mulus dan indah itu nampak terbuka lebar. Bak seorang penari yang
sekaligus koreografer, dia juga menggerakkan bagian-bagian tubuh lainnya
dengan harapan Mas Diran bisa menikmati keindahan leher lehernya,
belahan dadanya dan juga bibir sensualnya.
Dia menyahut omongan Mas Diran dengan sedikit melempar umpan,
“Yaa..,
khan ada Mbak Murni, Mas. Tentunya khan ada dong.. Sambutan di pagi
hari.. “, sambil sedikit melepas senyuman dan lirikan matanya yang
menggoda. Seperti gayung bersambut, Mas Diran merespon dengan penuh
pemahaman dan dorongan untuk’jemput bola’. Dengan gaya ‘lelaki yang
penuh derita’ dia menjawab,
“Ah.., nggak koq, dik. Setiap pagi
saya datang, setiap pagi itu pula Murni siap berangkat. Jadinya yaa..
Selalu selisiban, begitu”.
Mas Diran juga sempat mikir, kenapa
kali ini Larsih ini kok demikian beda. Pakaiannya beda. Duh.., tuh
lihat.., belahan dadanya.., dan ituu.., ketiaknyaa.. Huuhh.. Indah
banget, sih.. Pasti wanginyaa.. Dia memang tahu, Dik Larsih ini seneng
kalau diperhatikan. Apalagi kalau saat memperhatikan menampakkan
pandangan kekagumannya. Tetapi kali ini..
Dan omongannya lebih
berani. Bukankah omongannya tadi banyak mengandung godaan dan
pancingan-pancingan? Adakah Larsih dilanda rasa sepi? Adakah Mas Tono,
yang suami Dik Larsih kurang memberikan makanan batin? Mungkinkah Larsih
ini kesepian dan sengaja menunggu sentuhan-sentuhan birahinya.., ah..,
jangan terlalu jauh.. Kasihan Dik Tono, begitu pikir Mas Diran.
Tetapi
tak perlu dipungkiri, penis Mas Diran ngaceng juga. Rasa sepi hati
Larsih telah sedikit terobati. Dia sudah menyaksikan kembalinya sang
pengagum dirinya. Persiapan yang sungguh-sungguh untuk disuguhkan kepada
pengagumnya juga sudah dia lakukan. Dia sudah memakai baju yang paling
menarik.
Dengan berpura-pura membetulkan ikatan rambutnya dia
sudah menyuguhkan pesona ketiaknya, leher jenjangnya dan belahan dadanya
pada Mas Diran dengan cara yang sangat atraktip dan mendebarkan hati.
Dia juga sudah sudah membuka omongan dengan omongan yang tak biasanya.
Omongan yang nyata-nyata bisa menjadi umpan pancingan. Omongan yang
mengandung goda. Sebenarnya dia juga nggak tahu, kenapa omongan itu
keluar begitu saja dari mulutnya?!
Bukankah omongan macam tadi
bisa menimbulkan pertanyaan aneh dan menggoyahkan hati serta pikiran Mas
Diran?! Ah.., Mas Diran nampak beranjak untuk mandi. Sepintas Larsih
mengikuti dengan ekor matanya hingga Mas Diran masuk dan menutup kamar
mandinya. Dia melihat betapa tubuh Mas Diran itu demikian kekar sehat.
Dia melihat sepintas betapa dadanya penuh otot. Mas Diran bisa merawat
tubuhnya. Tidak seperti dada Mas Tono yang kerempeng itu.
Larsih
juga memperhatikan betapa dengan tubuh jangkungnya Mas Diran, ada kali
sekitar 175 cm, sungguh membuatnya tampil sebagai lelaki yang jantan dan
tegap. Dd.. Dan, seandainya kepalaku jatuh bersandar pada dada ituu..
Ahh.., jangan terlalu jauh.
Ada Mbak Murni.., jangann.., begitu
lamunan Larsih yang langsung membuat wajahnya memerah. Begitulah,
nampaknya hari ini telah tumbuh sebuah komunikasi yang beda antara
Larsih dan Mas Diran. Komunikasi yang terasa bernuansa romantis walau
yang tak ter-ucapkan dalam kata-kata vulgar. Komunikasi dua insan
manusia yang selalu haus akan penyaluran naluriah syahwatnya.
Komunikasi
yang membuat hati keduanya berdesir-desir. Komunikasi yang kemudian
membuat dan menggelisahkan batin mereka berdua. Sejauh ini komunikasi
itu memang masih bersifat ‘cara mata memandang serta ucapan pameo’ yang
bisa mengandung banyak makna. Komunikasi itu memang masih diluar
jangkauan akan makna ‘hubungan’. Makna ‘hubungan’ yang bisa lebih
konkrit mengarah dalam bentuk komunikasi fisik.
Tetapi komunikasi
yang terjadi antara Larsih dan Mas Diran hari ini sudah memungkinkan
berkembang ke arah ‘bahaya’, mengingat pada Larsih ada Tono dan pada Mas
Diran ada Murni, pasangan-pasangan hidup mereka.
Bukan tidak
mungkin mereka terseret ke komunikasi yang menyentuh hati. Dan lebih
jauh lagi menjadi komunikasi yang menebar panggilan birahi, seperti
serbak bunga pada kumbang. Atau nyanyian angsa jantan untuk menarik
angsa betina. Atau aroma kemaluan serigala betina yang menebar hingga
tercium serigala jantan. Dan akan lebih berbahaya lagi apabila
komunikasi itu bergeser dan berubah menjadi ‘hubungan’ yang bersifat
fisik.
Yang telah terjadi saat ini adalah, kalau tadinya antara
mereka hanya saling curi pandang, kini baik Mas Diran maupun Larsih
sudah berani langsung saling pandang. Saling melirikkan matanya, saling
mengangkat alis sebagai pertanda pada hal-hal yang belum mungkin
terucapkan. Saling menggoda dan menyindir pada hal-hal yang mengarah ke
erotisme.
Tetapi bagaimanapun baik Larsih maupun Mas Diran masih
memperhitungkan adanya tetangga yang tinggal di rumah petak yang lain di
sekitarnya. Mereka sangat menjaga jangan sampai terlanjur mengundang
perhatian tetangga mereka itu. Kalau hal itu terjadi akan berbahaya bagi
kehidupan rumah tangga mereka dan akan sulit bagi mereka untuk bisa
melangsungkan komunikasi selanjutnya.
Tetapi yang namanya
panggilan syahwat dan birahi tak pernah putus akal. Dewa-dewa cinta yang
sangat kreatip selalu mengirimkan berbagai akal bulusnya. Gagasan dan
akal bulus para dewa cinta itu dengan gampang merasuki keduanya.
Lihatlah..
“Dik Larsih, kemarin Mas Tono bawa koran Kompas, khan?
Aku pinjam dong. Aku pengin baca berita Pemilu 2004, nih,” terdengar
suara Mas Diran dari balik dinding rumahnya yang penuh bolong itu.
“Ada, Mas. Aku antar ke depan rumah ya,” jawab Larsih.
“Nggak
usah. Lewat sini saja dik. Dari arah bangku Dik Larsih ini khan ada
bolongan. Cukup untuk nyeploskan koran. Gulung saja dulu, dik,” usul Mas
Diran yang sangat unik, menggunakan bolongan dinding mereka untuk
mengirimkan koran Kompasnya.
Dan sejak itu banyak dan beragamlah
pemanfaatan lubang dinding dekat bangku Larsih itu. Dari kiriman sambel
kecap untuk makan siang, pisang goreng, pinjam ballpen, pinjam buku dan
sebagainya. Lubang yang letaknya kira-kira sepinggang di atas lantai itu
terjadi karena triplek dinding yang telah keropos.
Semula sudah
ditutup koran-koran yang ditempel dengan lem sagu. Tetapi ya, mudah
lepas. Dilem lagi, lepas-lepas lagi. Dan akhirnya setengah dibiarkan.
Lubang itu tidak tepat berbentuk bulatan. Dari atas turun memanjang
hingga sekitar 12 cm dengan lebarnya yang 3 cm. Tetapi kalau diperlukan,
lubang itu bisa direnggangkan sedikit sehingga bisa untuk nyeploskan
botol kecap yang besar itu atau lainnya.
Pada saat lain lubang
itu kembali menyempit sehingga tidak menarik perhatian siapapun termasuk
Tono suami Larsih maupun Murni istri Mas Diran. Dengan lubang macam
itulah akal bulus para dewa cinta bisa memanggil-manggil birahi dan
syahwat manusia kapan saja. Dengan adanya lubang pada dinding itu
komunikasi erotis antara Mas Diran dan Larsih berkembang dengan sangat
pesat.
Dari waktu ke waktu panah dewa cinta dengan pasti menembus dan membutakan mata dan hati mereka.
Kata-kata
yang saling ejek dan goda dengan seling tawa saling dilontarkan antara
Larsih dan Mas Diran melewati dinding rumah mereka. Dan ucapan-ucapan
mereka dengan cepat berkembang semakin bebas, semakin panas serta
semakin vulgar. Kini nampak keduanya sedang ber-asyik masyuk dengan
saling berbisik antar dinding.
Larsih secara khusus menarik
bangku plastik untuk kemudian duduk mendekat ke dinding dan lubang itu.
Demikan pula Mas Diran. Dia menarik kursi makannya untuk mendekati
dinding dengan lubangnya itu pula.
“Gede donk, punya Mas Tono?,” bisik Mas Diran melontarkan godaan ‘hot’-nya.
“Ah,
jangan mengejek lho. Dosa tuh. Memangnya seperti punya Mas Diran, bisa
buat pentungan kalau lagi jaga malam?,” balas Larsih disertai tawanya
yang menderai tertahan.
“Ya, tapinya banyak loh yang pengin kena pentunganku,” ganti Mas Diran yang ketawa.
“Ya, sudah. Sana cari yang suka pentungan Mas Diran!,” ketus Larsih bernadakan cemburu.
“Eh, eh, eh.. Jangan marah.., ayolah say..,” buru-buru Mas Diran membujuk Larsih.
Justru
cemburu Larsih kian membara. Dia menganggap Mas Diran juga mengobral
goda pada perempuan lain. Dia merasa seakan Mas Diran punya perempuan
simpanan. Mukanya cemberut. Dia tidak menjawab bisikkan Mas Diran.
Sesudah
beberapa kali berusaha memancing omongan Larsih, bisikkan Mas Diran
tetap tak mendapatkan respon, Sekali lagi dewa cinta perlu ikut campur.
“Ya, sudaahh.., aku mau tidur sajaa..,”
“Eeii.. Tunggu. Kembalikan dulu koranku. N’tar dicari yang punya,”
Kemudian Larsih menuju lubang di dinding, “Mana?,” permintaan ketusnya.
“Nih, ambil sendiri?,” jawab Mas Diran dari balik dinding sambil menunjukkan koran di tangannya..
“Ceploskan saja!,”
“Nggak, ah, nanti robek. N’tar aku dimarahin Mas Tono, lagi!,”
Cemburunya
yang masih membakar akhirnya kalah. Larsih takut nanti suaminya mencari
korannya. Dan apa katanya kalau ternyata koran itu ada di tempat Mas
Diran. Akhirnya dia mengasongkan tangan kanannya masuk ke lubang itu
untuk mengambil korannya.
Melihat tangan yang indah dan lembut
itu Mas Diran tak mampu menahan pesonanya. Saat itulah Mas Diran kontan
meraih tangan Larsih. Larsih kaget dan serta merta berusaha menarik
tangannya. Tetapi mana kuat melepaskan diri dari pegangan kokoh Mas
Diran. Sambil meronta-rontakan tangannya dia berteriak-teriak dalam
bisikkan,
“Lepaskan. Lepaskan. Aduh.. Lepaskaann..!,”
Tetapi
Mas Diran justru lebih menggoda. Dengan memegang pada tangan kanannya,
tangan kirinya mengelusi jari-jari Larsih. Elusan yang cepat berkembang
menjadi urutan-urutan. Dan rontaan tangan Larsih itu pelan-pelan mereda.
Cemburu Larsih padam. Dia menikmati elusan tangan Mas Diran. Sesaat
hening. Yang terdengar nafas-nafas dua insan yang terpisah oleh dinding
tripleks.
Tiba-tiba Larsih disergap perasaan merinding. Dia
seakan jatuh dari ketinggian tetapi tak pernah menyentuh tanah. Dia
merasakan ke-lengang-an yang nikmat pada saat jatuh itu. Ketinggian itu
seakan tanpa batas. Elusan tangan Mas Diran pada tangannya telah
menyentuh sanubari dan membangkitkan nikmat. Larsih seperti terlempar
dan jatuh melayang ke awang-awang.
Akan halnya Mas Diran.
Sebenarnya dia tidak sengaja dan merencanakan hadirnya tangan Larsih
itu. Tetapi ketika dia menyaksikan tangan lembut nyeplos dari lubang
dindingnya, refleksnyalah yang meraih tangan itu. Yaa, macam inilah
hasil kerjanya dewa cinta..
Dan saat tangan lembut itu meronta,
dia tak ingin melepaskannya lagi. Dia sungguh mengagumi kelembutan
tangan itu. Itu bukan macam tangan Murni yang kasar. Dia langsung
terdorong untuk mengelusi kelembutan tangan Larsih itu. Duh, punggung
tangan inii.., betapa indahnya.. Duh, jari-jari inii.., betapa
lentiikk..
Dan tiba-tiba hadir sebuah dorongan yang sangat kuat.
Mas Diran mendekatkan tangan Larsih itu ke mukanya. Dia menciumi tangan
itu. Dan kemudian lebih jauh lagi dengan menjilat dan mencaplok. Mas
Diran mulai mengulum jari-jari Larsih yang lentik itu. Siirr.. Jantung
Larsih terasa berdesir. Sebuah badai birahi mendera langsung ke
sanubarinya. Larsih seperti tersengat listrik ribuan watt saat
ujung-ujung jarinya merasakan adanya sentuhan lunak kehangatan.
Dia
memastikan Mas Diran sedang mencium dan memasukkan jari-jari tangannya
kemulutnya. Sengatan listrik itu merambati seluruh bagian tubuhnya.
Larsih merasakan seakan hendak pingsan. Dia cepat berpegang pada dinding
dan tanpa sadar dia merintih,
“Dduuhh.. Mas Diraann.., j.. Jj.. Jangaann.. ,” tangannya kembali meronta kecil.
Kata
‘jangan’ yang keluar dari desah Larsih itu tanpa disertai upaya
sungguh-sungguh untuk menarik lepas dari kuluman bibir Mas Diran.
Lumatan Mas Diran pada jari-jari Larsih disertai dengan sedotan-sedotan.
Dia isep-isep jari-jari itu dengan sepenuh perasaannya. Dia merasakan
betapa lembut tangan Larsih di ujung bibirnya.
Dia juga menjilati
telapak tangan Larsih yang terasa membasah karena keringat dinginnya.
Larsih menggelinjang hebat. Dan tanpa sepenuhnya disadari tangan kiri
Larsih mulai bergerak meraih kemudian merabai buah dadanya sendiri.
Badai birahi itu telah membuat Larsih tenggelam dalam samudra nikmat.
Dia
bergetar dan menggigil merasakan kuluman mulut Mas Diran pada
jari-jarinya. Dia merasa nafsu birahinya seketika terdongkrak dan
terpacu keluar. Buah dadanya terasa sangat menggatal sehingga tangan
kirinya serta merta meremasinya. Jari-jarinya memijit-mijit
pentil-pentilnya. Dia juga meracau..
“Mmaass.., Mass.., Maass.. Jangaann.. Ampun Maass.. ,” ucapan yang penuh paradoks dari bibir mungil Larsih.
Kata
‘.. Jangaann.. ‘ itu semakin jauh dari makna sejatinya. Kata itu justru
untuk mengukuhkan kuluman Mas Diran pada tangan dan jari jemarinya.
Larsih semakin memperkeras pijitan pada pentil-pentilnya.
Mas
Diran semakin terbakar mambara. Nafsunya yang tidak banyak tersalurkan
pada istrinya kini pengin ditumpahkan pada Larsih. Tetapi apa mau
dikata. Mereka berada di ruangan terpisah. Yang mereka bisa lakukan
hanyalah berbisik atau seperti sekarang ini, merabai dan menciumi tangan
Larsih.
Dan nampaknya Larsih telah menyerah dalam kendali Mas
Diran. Dia tengah tenggelam dalam birahi syahwatnya. Mas Diran jadi kini
pengin tahu, adakah Larsih juga merindukannya?
Adakah Larsih juga ingin menyalurkan dorongan birahinya?
Adakah Larsih akan memberikan respon balik sesudah tangan dan jari-jarinya kini dalam kulumannya?
Pelan-pelan
dia kendorkan pegangannya pada tangan Larsih. Dia pengin tahu, apakah
Larsih akan langsung menarik tangannya ke balik dindingnya.
Ternyata tidak.
Justru
kupingnya menangkap desah lirih dari mulut Larsih yang mengesankan
betapa haus perempuan yang istri tetangganya itu untuk dipuaskan
syahwatnya. Justru jari-jari Larsih kini meruyak-ruyak dalam mulutnya.
Sesaat Mas Diran tetap mengkulum dan menggerakkan lidahnya pada
jari-jari indah itu sebelum akhirnya menarik lepas tangan itu dari
mulutnya dan meraih tangan itu untuk mengembalikan ke balik dindingnya.
Larsih
mengikuti apa yang menjadi kehendak Mas Diran. Tangan Mas Diran terus
menggamit tangannya untuk dikembalikan nyeplos melalui lubang dinding
itu. Tetapi ternyata tangan Mas Diran terus ikut nyeplos. Lubang itu
melebar ditembusi oleh tangannya yang kekar. Tangan penuh otot yang
coklat kehitaman, yang nampak banyak didera oleh kehidupan yang kasar
dan keras itu kini berada di depannya.
Larsih berdesir terpana melihat tangan Mas Diran itu. Mau apa dia?
Tangan
itu bergerak menggapai-gapai. Larsih memastikan Mas Diran ingin meraih
dirinya. Dia memang tak akan bergerak dari tempat duduk bangku
plastiknya. Dan tangan itu berhasil menyentuh pahanya yang hanya memakai
rok pendek. Nampak dengan jari-jarinya yang kasar tangan itu merabai
dan mengelusi pahanya.
Apa yang kini terlihat dan dirasakan
Larsih sungguh suatu hal yang penuh sensasi. Selama ini tak pernah satu
orang lelakipun yang pernah menyentuh tubuhnya apalagi pahanya macam
yang Mas Diran lakukan dengan tangannya ini. Tetapi kini sebuah tangan
lelaki yang berotot dan kasar itu datang nyeplos dari lubang dinding
untuk mengelusi pahanya. Kembali jantungnya langsung berdesir. Dan
kembali badai birahi menderanya. Kembali nuraninya serasa disengat
listrik ribuan watt.
Darah Larsih yang tersirap membuat wajahnya
serasa terbakar memerah. Matanya tak lagi mem-fokus ke arah manapun.
Pelupuk matanya setengah tertutup. Larsih terbawa arus birahi yang
sangat nikmat. Elusan-elusan yang sering juga diseling sedikit cakaran
dari tangan Mas Diran mengaduk-aduk nuraninya dan membuahkan erang dan
rintih nikmat yang penuh iba.
“Oohh.. Mmaass Diraann..,” sambil tangannya seakan mau menahan gerak dan laju tangan Mas Diran.
“Maass.. Mass..”.
Sementara
itu tangan Mas Diran itu mulai menggeser sentuhannya menuju ke arah
pangkal pahanya. Larsih membiarkan tangan itu bergerak kemana maunya.
Dia seperti sedang melayang. Kenikmatan birahi ini membuatnya ngambang
di atas bumi. Hingga terjadilah.
Tangan Mas Diran kini merabai
bagian tubuh Larsih yang paling peka. Tangan Mas Diran mengelus-elus
pangkal paha dan selangkangan Larsih itu. Tangan dan jari-jari Mas Diran
meremas celana dalamnya untuk menggelitiki vagina Larsih. Larsih
menggelinjang dengan hebat. Nafasnya tersengal. Tangan-tangannya mencari
apapun untuk bisa dia pegang. Mulutnya merasa sangat haus.
Tangannya
akhirnya memegang meremasi tangan Mas Diran. Larsih merintih dengan
diikuti tubuhnya menggoyang-goyang maju mundur hendak menjemput rabaan
tangan Mas Diran itu. Begitulah perempuan. Dia menikmati antara ‘ya’ dan
‘jangan’, untuk membiarkan semuanya berjalan tanpa kendalinya.
Jari-jari ituu.., aacchh, uucchh..
Jari-jari
itu meretas tepian celana dalam. Jari-jari itu menyentuhi bibir
vaginanya. Jari-jari itu berusaha merogoh vaginanya. Tangan Larsih
mencekalnya lebih erat. Bukan untuk menghambatnya.
Tangan Larsih
mencekal untuk mengkokohkan posisi tangan Mas Diran. Larsih ingin
jari-jari Mas Diran mengorek-orek lebih jauh kemaluannya. Larsih sangat
merasakan kegatalan pada vaginanya.
vagina Larsih telah basah
oleh cairan birahinya. Larsih minta jari Mas Diran mengoboki lebih dalam
lagi. Tetapi tangan itu tak akan berhenti di sana. Tangan Mas Diran
masih mau menjerlajah. Tangan itu melepaskan vagina Larsih yang telah
membasah. Tangan itu meninggalkan siksa kepada Larsih. Tangan dan
jari-jarinya itu terus memanjati tubuh Larsih. Ke perutnya sesaat,
kemudian meluncur ke buah dadanya yang memang telah setengah terbuka
sejak awal tadi.
Kini kenikmatan yang beda kembali melanda
Larsih. Tangan Mas Diran dengan liar meremasi buah dadanya. Jari-jarinya
memelintir puting-puting susunya. Bagaimana mungkin menghentikan desah
dan rintih dari mulutnya,
“Ammpuunn, Maass.. Maass.. Maass.. ‘, hanya itulah kata-kata yang berkali dan berulang disuarakan.
Tetapi
Mas Diran belum juga menghentikan gerak panjat tangannya. Dia menjamah
dan mengelusi leher Larsih sesaat kemudian meluncur ke atas lagi hingga
jari-jarinya menyentuh sepasang bibir Larsih. Jar-jari itu bermain di
celah bibir dan menyentuh gigi Larsih. Jari-jari itu seakan merangsek ke
mulut Larsih.
Dan tanpa komando serta tanpa sadar sepenuhnya,
Larsih membuka mulutnya dan langsung mencaplok kemudian mengulum
jari-jari Mas Diran. Ini memang salah satu terminal birahi yang ingin
dia rambah. Kini dia tahu dan percaya bahwa Larsih memang merindukannya
dengan penuh dendam.
Mas Diran merangsang terjadinya respon
Larsih untuk melumati jari-jarinya. Kini dia juga semakin tahu. Istri
tetanganya ini memang perempuan yang sangat lapar dan haus. Mas Diran
ingin menjawab lapar dan hausnya Larsih itu. Dia biarkan Larsih. Dia
memberikan kesempatan Larsih untuk memuaskan dulu lumatannya atas
jari-jarinya.
Larsih yang kini telah histeris. Jari-jari dan
tangan Mas Diran telah dibuat kuyup oleh bibir, lidah dan ludahnya.
Larsih dengan setengah membungku, juga melatakan lidahnya itu hingga ke
lipatan lengan Mas Diran. Maunya sih lebih jauh lagi.
Tetapi
dinding rumah kontrakan itulah yang mengatur semuanya. Larsih juga
membawa tangan dan jari-jari itu kembali merabai leher dan buah dadanya.
Larsih masih ingin buah dadanya berada dalam cengkeraman tangan kasar
itu. Tetapi dari balik dinding, Mas Diran punya mau ada beda.
Pelan-pelan
dia tuntun dan gamit kembali tangan Larsih untuk dibawa nyeplos kembali
ke ruangannya. Disana telah ada yang menunggu jamahan tangan Larsih.
Mas Diran telah menyiapkan kejutan bagi Larsih. Terus terang seluruh
tubuh Mas Diran saat ini juga telah dikobarkan oleh nafsu syahwatnya.
penisnya sudah ngaceng dan menyesakkan celananya. Bagaimana nih, jalan
keluarnya?!
“Dik Larsih, Mas nggak tahaann, niihh..,” rintih Mas Diran. Terdengar suaranya agak serak.
“Dik Larsih, Mas nggak tahaann.., niihh..,”
“Dik Larsiihh.., tolong Mas diikk..”.
Rintihan
Mas Diran itu semakin memacu nafsu birahi Larsih. Dia juga tidak tahu
harus bagaimana. Pada Larsih dan Mas Diran ada batasan-batasan yang tak
mungkin diterjangnya. Masing-masing tak mungkin saling mengundang atau
saling bertandang. Apa kata tetangga nanti.
Tetapi Larsih sendiri
juga semakin tertekan oleh kehendak syahwatnya. Larsih juga memerlukan
penyaluran gejolak nafsu birahinya. Larsih juga telah ditelan badai
syahwat yang menggelora. Dia diombang-ambingkan oleh prahara libidonya.
Pada
vaginanya sudah dia rasakan ada cairan yang tak terbendung. Cairan
birahinya telah membuat celana dalamnya basah kuyup. Sementara jari-jari
tangan kirinya tak henti-hentinya memijat dan memilin-milin puting
susunya sendiri.
Ternyata diam-diam Mas Diran telah mengeluarkan
melepaskan celana kolornya. Dan kemaluannya yang gede panjang itu telah
lepas keluar melalui tepian celana dalamnya yang nampak setengah kumal
itu. Dan tak bisa dia tahan, tangan kanannya kini nampak meijat-mijat
dan mengelusi kemaluannya itu. Tersirat ‘precum’-nya yang bening meleleh
dari lubang kencingnya.
“Dik Larsih, Mas nggak tahaann,
niihh..,” kembali rintihan Mas Diran mengiang di telinga Larsih. Kali
ini Larsih nampak iba. Bagaimana dia menolong Mas Diran.
“Diikk, aku nggak tahaann..,” sekali lagi rintih serak Mas Diran,
Syahwat birahi Larsih-lah yang kini menjawabnya dalam bisik,
“Gimana dong, mass.. Larsih mesti ngapaiin..? Gimanaa..?,”
“Dd.. Dik Larsih mm.. Mau b. Bantu Mass.., yaa..??,”
“Gimanaa..??,” suara Larsih yang bernada desah dan rintih pula.
Itu
bukan suara orang bertanya. Maksud ucapan itu adalah untuk mendorong
tindakan Mas Diran. Terserah Mas Diran, mau kemana nikmat bersama ini
akan dibawa.
Tiba-tiba Mas Diran menuntun tangan Larsih. Dari
balik dinding ini Larsih tidak melihat apa yang telah terjadi pada Mas
Diran. Dia tidak tahu kalau Mas Diran sudah melepasi celana kolornya.
Dan Larsih juga tidak melihat kalau kemaluan Mas Diran sudah lepas
keluar dari celana dalamnya.
Tangannya pasrah mengkuti tuntunan
Mas Diran. Darahnya berdesir dan jantungnya memukul-mukul dadanya.
Kemana tangannya akan dibawa? Larsih menunggu dalam harapan yang cemas..
Tiba-tiba dirasakannya Mas Diran kembali menciumi telapak tangannya.
Ah, hanya itu.., demikian sesaat pikir Larsih sedikit menyiratkan
kecewa.
Tetapi tunggu.., ternyata ciuman Mas Diran ini tak lama.
Tangan itu kembali dituntunnya. Mas Diran juga merubah posisi
pegangannya. Dia buka telapak dan jari-jari Larsih untuk kemudian dengan
cepat digenggamkannya kembali. Pada saat itulah Larsih baru menyadari
dan merasakannya.
Sebuah bulatan batang yang panjang dan hangat
kini berada dalam genggamannya. Oohh, ini khan.. Kk.. K.. Kemaluan.. Mas
Diran?! Larsih terpekik kecil.
Dia sangat kaget. Dia tidak
menduga Mas Diran akan membawa tangannya untuk menggenggam kemaluannya.
Tetapi ada yang lebih mengejutkan. Dan ini sama sekali tidak pernah
dibayangkan Larsih sebelumnya. Kemaluan Mas Diran ini demikian kerasnya,
hangatnya serta gede dan panjangnya. Larsih setengah tidak percaya akan
apa yang sedang terjadi hingga Mas Diran membantu tangannya
meremas-remasi batang penisnya itu.
“Ayyoo Dik Larsihh.. Bantuin
Maass..,” rintihan penuh iba Mas Diran sambil tangannya menekan-nekan
genggaman tangan Larsih untuk meremas lebih keras kemaluannya.
Prahara
birahi benar-benar telah membakar syahwat Larsih. Telah memporak
porandakan statusnya selaku istri Tono. Menghancur leburkan naluri setia
seorang perempuan pada suaminya. Juga telah membutakan segala akal
sehatnya selaku Larsih yang masih istri Tono.
Dalam keadaan
begini dia sama sekali tak ingat lagi akan suaminya. Tak ingat lagi akan
batasan kewajiban dan larangan. Tak ingat lagi apa yang boleh dan tak
boleh sebagai seorang istri. Larsih kini lebur dan larut dalam genggaman
nafsu syahwatnya sendiri yang menggelegak tak terkendalikan lagi.
Tubuhnya oleng kehilangan daya. Dengan tetap menggenggam kencang penis
Mas Diran Larsih jatuh terduduk di lantai bertumpu pada kedua lututnya.
“Dik
Larsih, tolong Diikk.., di peres-peres gitu, lohh.. Ayoo..,” bisik Mas
Diran yang tidak tahu keadaan Larsih sambil mencontohkan pada tangannya
untuk meremasi penisnya.
Larsih yang masih dalam keadaan ‘shock’
itu belum mampu mencerna apa maunya Mas Diran. Walaupun dia tidak
melepaskan genggamannya tetapi dia belum bisa mendengarkan bisikan dari
balik dinding itu.
“Ayyoo, Dik Larsihh.., bantu mass.., ayo
dipijit-pijit gituu.. Mas gatel banget, niihh..”. Dan akhirnya memang
Larsih tahu. Dan apa mau dikata, rasanya bagi Larsih tak ada yang harus
dipilih.
Dia juga dilanda rasa gerah dan gatal pada bagian-bagian
pekanya. Disamping situasi erotiknya yang semakin memanas, udara panas
ruangannya juga ikut membuat keringatnya berkucuran dari seluruh
tubuhnya.
Pakaiannya juga sudah setengah awut-awutan. BH-nya
sudah terlepas hingga buah dadanya itu nampak telanjang. Rasa gatal pada
pentilnya membuat Larsih menjadi sangat histeris. Dia tarik-tarik ujung
pentil itu untuk dia sedoti. Tetapi betapa susahnya. Mulutnya tak bisa
menjangkaunya.
Dan saat kupingnya mendengar suara penuh iba dari
Mas Diran membuat Larsih menjadi semakin merana. Permintaan dalam
rintihan dan desah berbisik itu benar-benar membuat Larsih larut dalam
gelombang syahwat yang menenggelamkannya.
Yang melanda Larsih
kini adalah sebuah ‘sensasi syahwat birahi’. Bisa dikatakan sensasi
karena Larsih belum pernah mengalami hal seperti yang sekarang sedang
berlangsung ini.
Memang dia pernah meremas-remas. Tetapi meremasi
kemaluan Tono suaminya berbeda banget dengan apa yang kini dalam
genggamannya. Ditangannya kini ada batang gede, panjang dan hangat. Dia
seakan sedang memegang lontong gede isi oncom yang baru keluar dari
dandangnya.
Dan saat ngaceng seperti ini penis Mas Diran ini
bukan main kerasnya. Batang itu mendenyut-denyutkan uratnya yang
beraliran darah. Denyutnya terasa teratur seperti saat dia memegang urat
nadinya. Sensasi syahwat birahi ini telah membuat Larsih merinding dan
gemetar hebat.
Dia tak lagi kuasa untuk menolak nikmat macam ini.
Dia mulai menggerakkan jari-jarinya. Dan mulailah tangan cantik dan
lembutnya Larsih itu melumat-remasi kemaluan Mas Diran. Kini Larsih
mulai merasakan betapa mantapnya menjamah dan menggenggam penis gede
macam ini.
Dan akhirnya bukan hanya meremas dan memijit. Larsih
juga mengelus dan mengurut-urut kemaluan Mas Diran dari ujung hingga ke
pangkalnya. Larsih juga merabai betapa lebat jembut Mas Diran itu. Dia
rasakan adanya rimba yang tebal pada pangkal kemaluan Mas Diran.
Tangannya menarik dan jambaki gelimang rambut kemaluan itu.
Dia
juga mengelusi dan memijit halus bijih pelir Mas Diran. Jari-jarinya
merabai bijih itu dan saat datang geregetannya dia sedikit memjit
sehingga Mas Diran berteriak kecil merasakan ngilunya.
Dia rabai
kepala yang mirip topi baja tentara Nazi itu. Larsih bisa merasakan
betapa licin dan mengkilatnya kepala penis Mas Diran yang sangat
mengeras itu. Jari-jarinya seakan mengelusi pucuk terong ungu yang licin
besar.
Kemudian jari-jari itu merabai seputar lingkar leher
penis itu untuk kemudian bergerak lagi merabai kepala serta lubang
kencing kemaluan Mas Diran itu. Jangan dikata nikmat yang dirasakan Mas
Diran dari permainan jari-jar lentik dan rabaan tangan lembut Larsih
ini.
“Duuhh.. Dikk, teerruuss.. Enak bangeett.. Dik Larsihh..”.
Hati
Larsih dirambati semacam perasaan tersanjung dan puas saat mengetahui
Mas Diran menerima kenikmatan remasan tangannya. Mas Diran mulai maju
mundur menggoyang-goyangkan pantatnya. Dia berharap Larsih mengocoki
batangnya pula. Goyangan maju mundur pantat Mas Diran menandakan dia tak
mampu menahan derita kenikmatan itu.
Mendengar rintihan yang
keluar dari mulut Mas Diran, Larsih membayangkan.. Seandainya penis Mas
Diran yang segede ini menembusi vaginanya, rintihan macam bagaimana yang
akan keluar dari mulutnya itu. Dan.. Betapa nikmat pula yang akan
diraih dan didapatkan Larsih.
Kembali vaginanya menggatal dan
terus melelehkan cairan birahinya hingga celana dalamnya semakin kuyup.
Permainan tangan Larsih itu memang bukan untuk menghilangkan kegatalan
birahi kemaluan seorang lelaki. Lumatan, pijatan dan urutan tangan
Larsih itu justru mendongkrak syahwat Mas Diran untuk lebih dipuaskan
lagi.
Kenikmatan remasan tangan Larsih membuatnya serasa terbang
ke awang-awang. Nikmat itu kini mulai mencari terminal transitnya.
Nikmat itu harus ada saat terminalnya sebelum nyambung ke nikmat
berikutnya. Mas Diran merasakan air maninya mendesak-desak untuk keluar
dari saluran penisnya.
“Ach.. Ww.. Uuch.. Aacchh,” terdengar ah uh Mas Diran merasakan desakan nikmatnya.
Air
mani ini tentu akan sangat pekat karena telah lebih sebulan tak pernah
tersalurkan. Murni istrinya tak pernah punya waktu untuk berasyik masyuk
melepas kerinduan dengan Mas Diran. Dan kini ada Larsih perempuan ‘hot’
istri tetangganya yang dengan tangan lembutnya sedang mempermainkan
saraf-saraf peka di sekujur batang tubuh penisnya yang gede panjang itu.
Dan lebih-lebih lagi mulut Larsih yang memperdengarkan desahan-desahan erotis itu yang semakin memacu syahwat birahinya,
“Enak ya maass.. Tangan Larsih?? Terus ya Maass?? Mas Diraann.. Larsih juga senaanng sekali bisa memuaskan Maass..”.
“Enak, maass..?,” tanya dalam desah Larsih berulang-ulang.
Tak
pelak lagi pantat Mas Diran semakin tak terkendali maju mundurnya.
Rasanya air maninya tak akan mampu ditahan lagi. Mas Diran kembali
menghiba,
“Diikk Larsiihh.. Kencengin dong remasannyaa.. Cepetin.. Kocok-kocookk.. Yang cepeett..,”
“Ayyoo, Ddikk, Mas Diran mau keluarr, nniihh..”.
Dengar
ucapan terakhir Mas Diran, Larsih tanggap. Dan lebih dari itu memang
Larsih telah sangat menunggunya. Dia ingin penis Mas Diran menyemprotkan
pejuh-nya. Dia ingin tangannya kena semprotan air mani Mas Diran yang
pasti sangat hangat itu. Larsih juga ingin menyaksikan betapa air mani
Mas Diran akan tumpah sangat banyak dan kental.
Larsih ingin
merabai air mani kental itu. Mungkin juga akan dia jadikan lulur untuk
dadanya, bahkan untuk lulur wajahnya.. Mungkin juga Larsih akan
menciuminya atau menjilati air mani itu.
Larsih nggak tahu kenapa dan bagaimana keinginan seperti itu tiba-tiba hadir dari dalam dirinya.
Keinginan seperti itu bahkan tak pernah muncul saat berhubungan badan dengan suaminya selama ini.
Larsih
terlampau merasa jijik saat air mani Tono kesenggol tangannya
sekalipun. Dan biasanya dia cepet-cepet cebok sesudah bersebadan dengan
Tono. Dia ingin selekasnya terbebas dari cairan yang menjijikkannya
dalam liang vaginanya.
Tetapi dengan Mas Diran ini, justru dia
mendapatkan dorongan nafsu birahi yang beda. Rasanya Larsih Ingin
melahap apapun yang keluar dari tubuh Mas Diran. Dipercepetnya kocokkan
tangannya. penis Mas Diran terasa semakin menegang dan semakin keras
dalam genggaman tangannya. Larsih merasakan pegal menggenggam penis
segede itu.
“Yaa.., yaa.., teruss Dik Larsihh.. Enakk bangeett
diikk.., Larsiihh, oohh Larsiihh, Larsiihh,” Mas Diran menyongsong
puncak nikmatnya sambil meracau memanggil manggil nama Larsih. Pantatnya
semakin kuat dan cepat maju mundurnya.
Ah.. Akhirnya datanglah..,
Dengan meremasi tangan Larsih dan juga menahan agar tangan itu terus mijat-mijatnya Mas Diran menunggu air maninya tumpah,
“Ampuunn.. Dik Larsihh.. Ampuunn.. Dik Larsiihh, .. Enak banget Dik Larsihh..”.
Diawali dengan meregang-regang sesaat penis Mas Diran menyemprotkan sperma dengan kerasnya.
Genggaman
tangan Larsih merasakan sebuah kedutan yang sangat keras. Urat besar
penis Mas Diran mengedut dan memompa keluar muncrat cairan putih kental.
Air mani Mas Diran deras terpompa keluar. Mungkin ada sekitar 8 atau
sembilan kedutan besar yang memompa dan memuncratkan cairan putih kental
itu.
Tangan Larsih merasakan cairan hangat berlumuran pada
sekujur lengannya. Telapak tangannya merasakan ada pelumas hangat kental
yang memperlicin genggamannya. Air mani Mas Diran telah berlelehan pada
tangan dan lengan Larsih.
Untuk sementara Mas Diran merasakan
kelegaan yang sangat mendalam. Kehausan syahwatnya telah mendapatkan
saluran keluar dengan muncratnya spermanya. Kini dia membiarkan saat
tangan Larsih mengendorkan dan melepaskan remasan pada kemaluannya.
Mungkin Larsih ingin menyaksikan sperma yang berlumuran di tangannya.
Dia
menarik lengannya. Dia memang ingin melihat bagaimana air mani Mas
Diran kini belepotan di tangannya. Dia juga ingin sekali hidungnya
mendekat untuk mengendusi baunya. Dan saat tangannya keluar nyeplos dari
lubang dinding itu Larsih langsung menyaksikan betapa air mani Mas
Diran telah belepotan pada telapak, jari-jari dan lengan tangannya.
Mata
Larsih melihat tangannya menjadi lebih indah dan sangat menggairahkan
dengan sperma yang berserakan itu. Saat mendekatkan tangannya yang
berlepot itu ke wajahnya, hidungnya menangkap bau yang khas. Bau air
mani. Air mani yang keluar dari penis Mas Diran. Pelan dan dengan
lembut, Larsih mengusap-usapkan tangannya ke wajahnya. Dia gunakan
cairan kental yang keluar dari penis Mas Diran sebagai masker untuk
mempercantik wajahnya.
Kemudian dia juga lulurkan sebagian
lainnya ke leher dan kemudian dadanya. Dia pencet-pencet dan lumur buah
dada dan puting susunya dengan air mani itu. Dia tak perlu malu pada Mas
Diran. Karena dengan sedikit menjauh dan menepi ke dinding, Mas Diran
tak akan bisa melihat apa yang dia lakukan.
Sebatas untuk
melumuri bagian tubuhnya, Larsih telah memuaskan dirinya dengan air mani
Mas Diran itu. Memang Larsih belum tega hatinya untuk menjilat sperma
itu. Perasaan jijiknya masih menguasainya.
Hingga sore hari tak
ada bisikkan antar dinding yang terdengar. Mas Diran tergolek lemas di
ranjangnya. Dia langsung tertidur. Dan Larsih sibuk menunggu air mani
yang dilulurkan di seantero tubuhnya mengering sendiri. Dia menikmati
sensasi erotik dari cara itu.
Rasanya Larsih ingin membiarkan sperma kering itu tetap nempel pada tubuhnya sampai kapanpun.
Saat
suaminya pulang, bekas-bekas lulur sperma Mas Diran di wajah dan
lehernya telah ngelotok dan lepas. Tono tidak lagi melihat sesuatu yang
aneh di wajah dan lehernya itu.
Sementara pada dadanya Larsih
telah menutupinya dengan kaos oblong yang memang dipakai sehari-harinya.
Dengan membiarkan kering dan ngelotok sendiri sperma Mas Diran yang
dilulurkan ke tubuhnya Larsih mendapatkan semacam kepuasan erotis.
Sesekali bau khas air mani itu masih menyirat pada hidungnya.
Malam
itu, sebagaimana malam-malam yang lain Tono makan bersama istrinya.
Secangkir kopi dan sepiring pisang goreng telah melengkapi kegiatan
makan malam mereka. Sesekali tanpa sepengetahuan suaminya, Larsih
melirik ke lubang nikmat di dinding itu. Hatinya berdesir saat mengingat
betapa lewat lubang itu tangannya telah menggenggam dan meremasi penis
Mas Diran yang gede, keras dan hangat milik Mas Diran.
Larsih
masih terkesan saat penis Mas Diran berkedut dengan kerasnya yang
kemudian disusul dengan muncratnya air mani yang berlepotan di
tangannya. Sementara itu di rumah sebelah, Murni sedang sibuk merangkai
bunga kering yang menjadi hobi utamanya. Setiap ada kesempatan dia
mampir di toko depan tempat bekerjanya untuk membeli bahan-bahan bunga
kering.
Secara sambilan dia juga menjual hasil karyanya kepada
siapa yang berminat. Banyak teman-teman atau tetangganya yang membeli
hasil karya Murni. Mas Diran, suaminya mendukung hobi istrinya yang juga
terbukti bisa menghasilkan tambahan uang untuk dapurnya ini. Walaupun
terkadang dia harus sedia berkorban.
Sering Murni lupa membuatkan
kopi saat suaminya hendak berangkat kerja. Bahkan dalam pemenuhan
konsumsi libido seksnya selaku suami istri, Murni juga kurang memberikan
perhatian kepada Mas Diran. Tadi sore mereka nggak sempat ketemu lama
karena begitu Murni pulang, Mas Diran sudah siap hendak tugas jaga
malam.
Murni juga nggak terlampau perhatian pada dinding rumahnya
yang bolong-bolong itu. Sesekali nampak suaminya menambal dengan kertas
koran untuk kemudian disapu dengan cat dinding. Sebelum berangkat
menuju tugas malamnya, Mas Diran memastikan bahwa lubang tempat masuk
tangan Larsih saat meremasi penisnya tadi tidak menarik perhatian
istrinya. Ah.. Indahnya lubang itu.
Masih terkenang betapa lewat
lubang itu tangan lembut Larsih telah memberikan nikmat melalui
remasan-remasannya. Dia ingin sepulang kerja besok bisa mengulangi
kenikmatan itu. Dia akan memberikan kejutan bagi Larsih. Sore itu Mas
Diran berangkat ketempat kerjanya dengan membawa penisnya yang ngaceng
sepanjang jalan.
Sepanjang malam itu Larsih tak bisa nyenyak
tidurnya. Dia masih menyimpan obsesi birahinya. Keasyikan ber-asyik
masyuk dengan Mas Diran tadi siang belum memberikan akhir nikmat yang
tuntas. Memang dia merasa cukup puas saat mendengar bagaimana Mas Diran
mendesah dan merintih karena remasan serta lumatan-lumatan tangannya.
Dia
juga sangat puas bisa melulur wajahnya, lehernya dan dadanya dengan air
mani Mas Diran. Tetapi vaginanya sendiri yang sempat basah dan sangat
gatal tadi belum menerima sentuhan apapun untuk menyalurkan syahwatnya.
Larsih
nampak gelisah dalam tidurnya. Obsesi birahinya sempat terbawa dalam
mimpi. Dia melihat Mas Diran sedang menyetubuhi istrinya Murni. Dia
menyaksikan betapa Murni menjerit nikmat saat kemaluan Mas Diran yang
gede panjang itu menusuki vaginanya.
Kemudian dilihatnya pula
bagaimana Murni nungging dan Mas Diran memasukkan senjatanya dari arah
belakang. Dia melihat bagaimana Murni mengaduh dan merintih merasakan
hebatnya kenikmatan syahwat yang diraihnya. Belum lagi usai mimpinya
Larsih terbangun. Udara rumah kontrakannya yang sempit itu serasa sangat
panas. Dia perlu turun dari ranjang untuk minum untuk mengobati
tenggorokannya yang kehausan.
Dilihatnya suaminya begitu lelap
tidurnya. Mungkin karena bekerja seharian, Tono langsung tertidur begitu
selesai makan malam tadi. Begitulah yang sering ditemui Larsih dalam
kehidupan suami istrinya.
Hingga pagi hari, praktis Larsih tak
bisa benar-benar memejamkan matanya. Ingatan akan peristiwa yang terjadi
bersama Mas Diran kemarin siang benar-benar membuatnya menyimpan dendam
syahwat yang memerlukan saluran keluar.
Betapa kemaluan Mas
Diran itu demikian menggoda sanubarinya. penis yang demikian gede dan
tegar itu pasti akan membuat setiap perempuan yang kehausan birahi siap
bertekuk lutut kepada Mas Diran. Dan mimpinya tentang Murni istri Mas
Diran yang nampak demikian nikmat menerima tusukkan penis suaminya!?
Mungkinkah
dia meniru Murni seperti dalam mimpinya? Mungkinkah dia nungging di
depan lubang itu dan Mas Diran mau menusukkan kemaluannya dari sebelah
dinding yang lain? Cukup lebarkan lubang itu untuk kemaluan Mas Diran?
Bisakah hal itu terjadi padanya?
“Ahh.. Bagaimana aku mesti menyampaikan keinginanku ini pada Mas Diran?,” demikian pikir Larsih. Ah, bagaimana nanti sajalah.
Dari
ranjangnya Larsih sempat mengamati lubang di dinding itu. Lubang yang
telah memberikan nikmat siang hari tadi dan akan memberikan
nikmat-nikmat yang lain pada siang hari nanti.
Sesudah menemani
suaminya sarapan pagi dan kemudian melepaskannya untuk berangkat kerja
Larsih kembali menyibukkan dirinya membereskan rumahnya. Saat menyapu di
depan, dia sempat menyaksikan Murni istri Mas Diran berangkat kerja
pula. Pada kesempatan itu Mas Diran yang melepas istrinya mengedipkan
matanya. Itulah bahasa teguran di pagi hari yang langsung membuat hati
Larsih berdesir.
Sesudah diperhitungkan cukup jauh Tono maupun
Murni meninggalkan rumah masing-masing, mereka berdua, Larsih dan Mas
Diran bergegas mendekat ke lubang kenikmatan kemarin itu.
“Dik Larsihh..,” panggil Mas Diran dalam bisikkan dari sebelah dinding.
“Mas kangen banget niihh..,” sambungnya.
“Mas nggak bisa tidur semalaman. Mas pengin menyentuh Dik Larsih seperti kemarin itu”.
“Sama Mas, aku juga nggak bisa tidur.. Aku mimpi Mas Diran bermesraan dengan Mbak Murni, loh”.
“Asyik banget. Sampai Mbak Murni jerit-jerit karena kenikmatan,” cerita Larsih tentang mimpinya.
“Ah, masa sih. Tapi Dik Larsih nggak marah toh?,” goda Mas Diran.
“Ya, nggak toh. Khan sama istrinya sendiri,” begitu goda balik Larsih.
Tiba-tiba
dilihatnya Mas Diran memberikan kejutan. Tangan kirinya berhasil
menguak lebih lebar lubang dinding itu dengan cara melipat triplek itu
ke samping hingga tangan kanannya kini lebih leluasa untuk bergerak.
Lubang itu menganga kira-kira selebar ubin 20 X 20 cm.
Larsih
jadi ingat kembali mimpinya. Tetapi..? Mungkinkah membuat lubang yang
lebih leluasa lagi? Agar dia bisa nungging di depan lubang itu??
Tetapi
dengan adanya lubang itu untuk sementara telah cukup membuat situasi
dan hubungan menjadi lebih berkembang. Tanpa saling berkesepakatan
Larsih dan Mas Diran langsung melongok ke lubang. Mereka bisa saling
pandang. Dalam pandangan penuh kehausan kedua insan saling mengamati
wajah lawannya.
Dalam saling pandang itu Larsih dan Mas Diran
semakin saling mendekatkan wajahnya. Mata-ketemu mata dalam pancaran
pandang yang sangat dalam. Mereka juga saling mengamati pipi, dagu,
hidung dan bibir lawannya dengan penuh kehausan.
Mereka
masing-masing ingin mendapat tetapi sekaligus juga memberi. Yang terjadi
kemudian wajah-wajah itu saling mendekat. Mendekat. Mendekat. Hingga
nafas masing-masing saling menghembus wajah lawannya. Hingga Larsih
maupun Mas Diran bisa saling merasakan dan menangkap kehangatan wajah
lainnya. Mereka saling menyentuh dan berciuman.
Ah.. Betapa kalau
dua pasang bibir yang penuh dendam birahi berjumpa. Saling sedot dan
lumat lidah untuk menghapus dahaga. Setiap bibirnya serasa ingin meneguk
sebanyak-banyak ludah pasangannya.
Desah-desah yang dalam saling
bersambut. Kecipak bibir yang terkadang lepas dari gigitan atau
sedotannya sering nyaring terdengar. Kedua wajah haus itu saling memilin
berputar sedikit untuk meraih posisi nikmat.
Mas Diranlah yang
memulai melepas pagutan. Dia sedikit undur dari lubang nikmat itu. Dia
susulkan tangan kanannya menerobos dinding. Mas Diran mengulang
kenikmatan kemarin. Kembali meremasi buah dada Larsih.
Larsih
sedikit merana karena lepasnya bibir Mas Diran tetapi dia tidak protes.
Dia kini menyambut tangan Mas Diran pada susunya. Dia juga ingin kembali
merasakan apa yang telah dia dapatkan kemarin. Dia ingin rasakan
kembali remasan tangan tangan Mas Diran pada bagian-bagian peka pada
tubuhnya. Dia bahkan menuntun tangan Mas Diran untuk menyentuhi puting
susunya.
Uhh, jari-jari kasar inii.. Langsung memberikan nikmat
dengan menyentuhku, demikian desah Larsih sambil matanya merem melek
merasakan remasan jari-jari kasar Mas Diran pada kulit buah dadanya yang
lembut dan mulus itu. Kemudian saat jari-jari itu memilin putingnya,
“Aduuhh.., maass.. Aku nggak tahan mass.. E.. Ee.. Nak bangett, maass.., amppuun..”.
Mas
Diran sangat menyenangi jeritan siksaan nikmat dari mulut Larsih itu.
Pilinan pada putingnya semakin di putar-putar dan pelintir kecil.
Terdengar nafas Larsih yang sangat memburu. Mas Diran tahu betapa nikmat
yang kini melanda syahwat Larsih. Tangan Mas Diran juga merabai
ketiaknya,
“Dik Larsih, Mas pengin menciumi ketiak Dik Larsih inii.., Mas pengin menjilati susu Dik Larsih..”.
“Mas
pengin menggigit-gigit pentil inii diikk.., Mas pengin melumat-lumat
ketiakmu, Diikk..,” demikian erang dan rintih Mas Diran yang
berkesinambungan.
Larsih sangat tersanjung dan nikmat mendengar
suara Mas Diran itu. Gelora nafsunya terbakar hebat. Rasa haus yang
sangat tiba-tiba menyerang tenggorokkan Larsih,
“Aku haus, Maass.., akuu hauss.., Mas Diran..,”
Dia
renggut tangan Mas Diran dari remasan susunya. Dia kembali mengulum
jari-jari kasarnya itu dengan penuh nafsu. Larsih juga mulai menggigit
penuh gereget pada batang-batang jari itu. Entah dalam bayangan erotis
macam apa, batang-batang jari kasar milik Mas Diran itu ternyata
memberikan saluran akan obsesi syahwatnya. Lidah dan ludah Larsih
melumat dan membuat kuyup jari-jari itu.
Mas Diran merasakan
betapa semakin histeris perempuan yang istri tetangganya ini. Sementara
itu dia juga merasakan penisnya semakin menuntut untuk dipuaskan.
Nalurinya melihat dan mengatakan bahwa Larsih bisa memberikan jalan
menuju kepuasan itu.
Seperti mengalir begitu saja, tiba-tiba Mas
Diran ingin bangun berdiri. Dia seakan tahu apa yang diinginkan Larsih.
Dia tarik cepat tangannya dari mulut Larsih dan keluar dari lubang itu.
Seperti rasa haus anak bayi yang belum tersembuhkan, tetapi botol
minumannya telah direnggut dari mulutnya, begitulah perumpamaan bagi
Larsih yang kembali kecewa saat tangan dan jari-jari Mas Diran di tarik
dari kulumannya,
“Aacch, Maass.., Mass, toloong, Mas Diraann..,
aku hauuss bangeett Maass..,” Larsih merana seperti hendak menangis
sambil mengasongkan wajah dan bibirnya ke arah lubang nikmat itu. Tidak
lama, tiba-tiba tangis dan iba Larsih mendapatkan sentuhan. Jari-jari
kasar Mas Diran kembali menyentuh hendak meruyak bibirnya. Bibir haus
Larsih langsung mencaploknya. Tetapi kenapa jari-jari ini jadi cepat
membengkak?
Dan, aahh.. Kok ada bau lelaki yang sangat kuat.., sepintas bau yang mengingatkan saat bersebadan dengan Tono suaminya..
Dengan
sedikit heran Larsih mundur sesaat dari celah nikmat itu. Dia kaget
saat mengetahui apa yang barusan dicaploknya. Sebuah batang dengan ujung
berbentuk bongkahan licin mengkilat dan berwarna merah kecoklatan.
Dan.. Larsih langsung tahu bahwa itu adalah kemaluan Mas Diran. Edaann..
Larsih
tidak menduga kalau Mas Diran akan mengasongkan penisnya untuk dia
kulum ke mulutnya. Tetapi itulah rupanya yang Mas Diran inginkan.
“Iseplah Dik Larsih.., aku pengin banget Dik Larsih mengisep inii.., ayyoo, dikk, Mas pengin merasakan mulut Dik Larsih..,”
Aah..
Bagaimana aku bisa menolak permintaan Mas Diran. Aku sendiri sangat
kehausan untuk menyalurkan keinginan seksku, demikian suara batin
Larsih. Dia mencoba mengamati batang dan kepala penis Mas Diran. Duh,
bukan main.. Kemaluan lelaki itu sangat mempesonanya. Mata Larsih yang
indah itu belum pernah menyaksikan kemaluan lelaki selain kecuali milik
suaminya. Matanya belum pernah melihat penis segede dan setegar itu.
Kenapa
kepalanya sebegitu mengkilat seakan menahan tekanan yang sangat kuat
dari dalamnya..? Bukankah karena Mas Diran sangat mendendam birahi
padanya??
Dan itu, lubang kencingnya yang besar menganga, nampak
ada cairan bening yang meleleh keluar. Itukah yang namanya pelumas?
Cairan yang hanya keluar saat birahinya terangsang??
Larsih masih terbengong saat Mas Diran kembali mengasong-asongkan kemaluannya dan minta agar Larsih mengulum dan mengisepnya,
“Ayyoo, Dik Larsih.., Mas pengin Dik Larsih menciumi dan menjilati inii.., ayoo, diikk..”.
Bisik
rintih dari balik dinding yang berulang-ulang diperdengarkan oleh Mas
Diran. Merasa terdorong oleh rasa iba, tanpa sadar sepenuhnya tangan
Larsih langsung meraih batang gede dan hangat itu untuk digenggamnya.
Ah, bagi tangannya batang ini tak begitu asing. Bukankah kemarin siang
Larsih telah mengurut-urut dan mengocokinya hingga cairan kentalnya
tumpah.
Tetapi kini, oohh, .. Lihatlah, dengan matanya betapa
Larsih bisa melihat urat-urat kasar melingkar-lingkar di sekujur batang
itu. Dan lihatlah betapa kencang dan mengkilat kepalanya karena
mendendam birahi.
Lihatlah betapa sangat mempesona dan menantang
lubang kencing ini. Tak pelak lagi, Larsih menjadi histeris menyaksikan
apa yang kini dalam genggamannya. Dengan histeris pula, sambil setengah
menutup matanya mukanya kedepan dan mengusapkan ujung kemaluan Mas Diran
itu ke wajahnya.
Ujung kemaluan yang melelehkan lendir pelumas
itu diusapkannya ke pipinya. Sepintas hidungnya juga mengendus untuk
menangkap aroma kemaluan Mas Diran itu. Ooohh, .. Sedap sekali.
Ahh,
Mas Dirann.. Biarlah aku memuaskan kehendak syahwatmu. Biarlah aku
ciumi dan kulum kemaluanmu yang mempesonakan ini. Biarlah aku jilat dan
bikin kuyup dengan ludahku batang yang tegar dan panas ini. Sinilah,
biar kuisep-isep dengan sepenuh nikmat birahiku..
Dan.. Genjotlah
maju mundur penismu ke dalam mulutku. Goyangkan pantatmu, Mas Diran.
Begitulah racau batin Larsih yang mengalir berkesinambungan. Larsih
semakin lupa diri. Sambil jari dan tangannya memilin-milin dan memijit
batang kemaluan itu, mulutnya yang kini terisi penuh oleh ujung penis
yang gede dan berkilatan itu nampak bergerak memompa. Larsih
melakukannya dengan merem melek.
Kemudian ganti, lidahnya
bergerak menjilat dari pangkal batangnya hingg ujung lubang kencing
kemudian dengan bibirnya yang mengecup-ecup. Dia merasa seperti terbang
ke awang nikmat yang tak bertara. Larsih menemukan dambaan dan
obsesinya. Larsih larut dalam prahara nafsu seksualnya.
Jangan
tanyakan bagaimana Mas Diran dilanda gamang syahwat dari celah dinding
rumah kontrakannya yang disebabkan isepan mulut mungil Larsih itu.
Jangan tanyakan bagaimana Mas Diran langsung terlempar ke pucuk-pucuk
kepuasan libidonya. Jangan tanyakan betapa Mas Diran merasa mendapatkan
jawaban atas keresahan dan impian erotisnya pada Larsih selama ini.
Dan
walaupun ada dinding pembatas, tetapi kini Larsih impiannya itu ada di
depannya. Larsih, istri tetangganya yang meresahkan syahwatnya selama
ini sedang meciumi, menjilati dan mengulum penisnya. Dan itu tak
seberapa lama..
Kenikmatan tak bertara itu langsung mendongkrak
nafsu birahi Larsih dan Mas Diran. Larsih yang menjadi sangat histeris
menjilat, mencium, mencaplok, mengulum dengan penuh gereget kemaluan Mas
Diran. Dan sebaliknya Mas Diran yang mendapatkan limpahan histeris
birahi Larsih hingga syahwatnya menjadi terpacu. Kandungan spermanya
terangsang untuk cepat menyemprotkan air maninya keluar.
Saraf-saraf
peka di seputar selangkangan Mas Diran berinteraksi dan tak mampu
bertahan. Urat-urat yang menyalurkan sperma dari kandangnya mulai
berdenyut memompa keluar. Mas Diran merasakan air maninya mau muncrat.
Pada Larsih dia teriak dalam bisiikan,
“Dik Larsih.., a.. Ak.. Kku.. Mm.. Mauu.. Keluaarr.., niihh. Booleehh..”.
“Ayyoo, Mass.., inilah yang kutunggu..,” demikian suara batin Larsih.
“Bantuin Dik. Tolong sambil dikocok-kocok.., tolong Dik Larsihh..”.
Kemudian
serta merta Larsih meningkatkan rangsangannya pada kemaluan Mas Diran.
Tangannya mengocok dan menguruti batangnya sambil ditusuk-tusukkannya
ujung ludahnya pada lubang kencing kemaluan itu. Kemudian disapunya
kepala yang mengkilat itu dengan lidahnya hingga menyentuh seputaran
lehernya.
Tak mungkin lagi dipertahankan. Mas Diran merasakan
seluruh saraf-saraf di seputar kemaluannya mulai meregang untuk
menjemput muncratnya air mani. Tangannya kini memerlukan ada yang
dipegang. Tetapi tak ada pada dindingnya yang bisa diraih oleh tangan
Mas Diran. Akhirnya dialihkannya pegangan pada sandaran kursi di
dekatnya. Tangannya memerlukan sandaran itu untuk menahan getaran
kenikmatan yang semakin datang menderanya. Tak mungkin lagi..
“Aacchh.., Dik Larssihh.. Dik Larsihh.. Keluaarr..,” teriakan penuh nikmat dari mulut Mas Diran.
Larsih
merasakan seperti kemarin. Bedanya, kalau kemarin tangan kanannyalah
yang merasakan kedutan besar penis ini, kini rongga mulutnyalah yang
menanggung kedutan itu. Beda yang lain adalah, kalau kemarin sperma Mas
Diran tumpah terserak ke segala arah, termasuk melumuri tangannya, maka
kini sebagian besar kedutan-kedutan itu untuk memompa air mani yang akan
muncrat dalam rongga mulut Larsih. Dan selebihnya yang dibiarkan lepas
jatuh ke lengan dan tangannya, Larsih ingin kembali melulur wajah dan
tubuhnya dengan air mani itu. Untuk awet muda, katanya.
Mas
Diran langsung rubuh terpuruk. Spermanya yang nyemprot keluar demikian
banyaknya. Tenaga Mas Diran tersedot habis. Kini dia terbaring telanjang
di ranjangnya sambil menariki satu-satu nafas panjangnya.
Dia
tidak pernah menyangka bahwa Larsih istri tetangganya itu akan minum
atau makan spermanya. Selama ini dengan Murni sekalipun, Mas Diran tak
pernah mau menyuruh menjilati kemaluannya. Apalagi menampung sperma di
mulut macam Larsih ini.
Tetapi Larsih ini memang terlampau
‘panas’. Dia bukan sebagaimana perempuan biasa lainnya. Larsih ini
termasuk perempuan luar biasa. Benar juga kata orang, perempuan yang
tampilannya macam Larsih ini akan sangat kuat dan liar saat bermain di
ranjang. Perempuan yang tidak mudah dipuaskan.
Larsih masih
menyibukkan dengan lulurnya. Air mani Mas Diran telah meratai leher dan
dadanya. Dia heran kenapa bisa melayani lelaki macam Mas Diran. Apapun
yang Mas Diran mau dengan rela dia memberikannya. Yang masih tetap
heran, kenapa akhirnya dia tanpa merasa jijik bisa minum sperma Mas
Diran. Ternyata rasa sperma itu tak beda dengan telor putih ayam kampung
yang sering dia dan suaminya minum sehabis mereka melakukan kewajiban
suami istrinya.
Ahh.. Aku jadi pengin minum lebih banyak, begitu pikir Larsih.
Pada malam harinya kembali sebagaimana biasanya, Larsih menemani suaminya Tono saat makan malam.
Secangkir
kopi, kesukaan suaminya dan sepiring kacang rebus menyertai mereka
bercengkerama di depan tevisi-nya. Larsih menyandarkan kepalanya pada
bahu Tono. Nampak seakan tak ada hal yang serius dalam kehidupan mereka,
khususnya sepanjang hari itu.
Tono tidak melihat hal-hal yang
aneh di rumah tangganya. Larsih mencoba mengamati lubang yang kini bisa
terkuak lebih lebar itu. Tak ada hal yang mengkhawatirkan. Sesaat
hatinya berdesir ketika ingat apa yang telah berlangsung melalui lubang
itu di siang hari tadi.
Pada pagi hari esoknya, hal-hal rutin
kembali berjalan. Larsih mengantarkan hingga ke pintu depan saat melepas
suaminya berangkat kerja. Demikian pula Mas Diran, melepas Murni sambil
menutup pagar halamannya.
Ketika mereka perhitungkan Tono maupun
Murni sudah cukup jauh dari rumah, kembali mereka bergegas menuju ke
lubang dinding. Dialog yang menembus dinding antara Larsih dan Mas
Diranpun dimulai.
“Dik Larsiihh.., Mas kangen banget nihh..,”
“Mana pipi indahmu?? Mana bibir indahmu??,” rayuan Mas Diran mengalir.
Dengan
hanya bercelana pendek ‘hot pant’, Larsih mendekat ke dinding.Mereka
kembali saling pandang melalui lubang itu kemudian berpagutan.
Bermenit-menit mereka saling gigit, sedot dan jilat. Mereka saling minum
ludah lawannya. Segala gaya dan cara sebatas kemungkinan yang bisa
dilakukan melalui lubang itu, mereka lakukan.
“Mass.., lubangnya bisa lebih gede lagi, nggak, siihh..,”
“Aku pengin lebih lebar lagi. Jadinya kita bisa puaass.. Banget,” rajuk Larsih pada Mas Diran.
Mas
Diran tahu, itu adalah isyarat hausnya syahwat Larsih. Mas Diran tahu,
dengan lubang yang lebih lebar hubungan antar kelamin bisa dilakukan
lebih maksimal. Dia juga menginginkan hal yang sama. Mas Diran mencoba
mengamati dinding itu.
“Sana Dik Larsih bikin kopi dulu buat Mas,
nanti aku cari akal supaya lubang ini lebih leluasa tanpa kelihatan
oleh orang,” Mas Diran sudah terbiasa menyuruh Larsih. Entah yang bikin
kopi, atau nggoreng nasi, atau bikin sambel kecap dan sebagainya.
Kemudian
dia mencari peralatan di kotak raknya. Dia patahkan lembaran dinding
itu lebih ke kanan, tanpa membuatnya lepas dari ikatannya. Dia tempelkan
sedikit kertas dengan lemnya sehingga bisa berfungsi seperti engsel
pintu. Dia tunjukkan pada Larsih patahan itu dan kemudian membuka
lubangnya. Wwoo.., ini mah macam pintu saja, demikian surprise yang
dirasakan oleh Larsih.
Sebuah lubang dinding selebar kurang lebih
berukuran lebar 40 cm dan tinggi 30 cm dengan mudah dibuka maupun
ditutup tanpa kelihatan menyolok oleh siapapun. Tetapi mereka sepakat,
setiap sore akan menutup dengan tempelan koran untuk menghilangkan jejak
sama sekali. Memang jadi sedikit repot, tetapi biarlah, yang penting
aman.
Mereka langsung mencoba perdana lubang itu. Kini kepala
Larsih atau kepala Mas Diran bisa nyeplos ke kamar sebelahnya. Mereka
tertawa senang. Kini Mas Diran bisa melihat betapa Larsih sangat seksi
dengan ‘hot pant’nya.
“Sini, Dik.. Aku mau sun ini, ya..,” dia
raih pinggul Larsih untuk didekatkan ke depannya. Kemudian wajahnya
berusaha melekat ke selangkangan istri tetangganya itu.
Larsih
tertawa tertahan karena kegelian. Dia menggelinjang. Tetapi Mas Diran
tidak berhenti disitu. Kini tangannya bisa meraih dan melepasi
kancing-kancing ‘hot pant’ Larsih. Dan ditariknya turun ‘hot pant’ itu
hingga tinggal celana dalamnya saja yang tinggal. Mas Diran langsung
kembali melekatkan wajahnya ke celana dalam itu. Dia mencoba mengendusi
vagina Larsih.
Hidungnya menangkap semburat bau kencing pada
vagina itu yang membuat birahinya langsung bangkit. Larsih sangat
tersanjung. Bibir dan dagu Mas Diran yang menyentuhi pangkal pahanya
membuat nafsu birahinya terdongkrak. Dia meremas kepala Mas Diran sambil
mendesah berat,
“Duuhh.. Mmaass.. Maass..”.
Mas Diran belum puas juga. Ditariknya hingga celana dalam itu hingga lepas dari tempatnya.
Kini
nampak vagina Larsih yang diselimuti bulu-bulu lembut itu. Kembali
diraihnya pinggul Larsih. Dan dibenamkannya wajahnya ke selangkangannya.
Kini lidahnya menjulur untuk menjilat-jilat.
Larsih merasakan
jilatan Mas Diran pada kemaluannya. Dia tidak pernah membayangkan Mas
Diran mau dan rela menjilati vaginanya yang tentu bau pesing itu. Sekali
lagi dia sangat tersanjung. Suaminya, Tono tak pernah mau melakukan
itu.
Rasa nikmat saat lidah menyentuhi bibir vaginanya membuat
nafsu birahi Larsih langsung membara di pagi hari itu. Dia ingin Mas
Diran mau menjilat untuk lebih merangsangnnya lagi. Dia tarik kursi
plastik di sampingnya. Dia angkat satu kakinya ke atas kursi itu.
Selangkangan Larsih langsung terbuka dan memudahkan Mas Diran lebih
merasuk ke dalamnya.
Kenikmatan yang melanda membuat tangan
Larsih langsung kembali meremasi kepala dan rambut Mas Diran. Dia
mendesah sambil menggoyang pantatnya, mendorong-dorong menjemput jilatan
dan sedotan bibir Mas Diran.
Mas Diran merasakan betapa legit
vagina Larsih. Mungkin Tono jarang menikmati vagina istrinya ini.
Urat-urat bibir vagina itu masih sangat kencang. Dan saat terlanda
birahi vagina ini menunjukkan betapa kerasnya remasan dinding vaginanya.
Walaupun cairan birahinya terus mengalir, ternyata lidah Mas Diran tak
mampu menembusinya. Penis Mas Diran ngaceng. Dia membayangkan betapa
nikmatnya kalau kemaluannya bias menembusi vagina istri tetangganya ini.
Mas
Diran mulai melakukan ancang-ancang. Dia ingin Larsih benar-benar
menggelinjang hingga pada akhirnya dia minta agar Mas Diran memasukkan
kemaluannya ke liang vaginanya. Tangan Mas Diran mulai menyertai
bibirnya mengolah saraf-saraf peka pada vagina itu.
Dengan
lidahnya lebih memusatkan jilatan pada kelentit atau klitoris Larsih,
jari-jari tangannya yang kukuh mulai melakukan penetrasi pada lubang
vagina Larsih. Jari-jari yang gede dan kasar itu sangat menggelitik
saraf-saraf dinding vagina yang memang telah lama menantinya. Larsih
merasakan betapa dinding-dinding lubang vaginanya mencengkeram erat-erat
jari-jari Mas Diran. Duuhh.. Rasaya aku nggak tahan banget, niihh..,
begitu desah pelan Larsih. Saat jari-jari itu mengocok-ocok kemaluannya
Larsih berteriak histeris,
“Mas Diran, Mas Diran, Mas Diran.. Ampuunn.. Larsih nggak bias tahaann.. Aammppuunn..”.
Merasa
upayanya nampak berhasil Mas Diran semakin mempercepat kocokkan
sekaligus membuat variasi dengan juga mengaduk putar jari-jarinya hingga
seluruh dinding kemaluan Larsih tersedak jari-jari kasarnya itu.
Tak
ada ampun lagi. Larsih cepat melakukan perubahan posisi. Dia tarik
lepaskan jari Mas Diran dan kemudian dengan kedua tangannya dia
menggeret meja makan untuk dipepetkan ke lubang dinding itu,
“Mas
Diran, aku pengin banget merasakan yang lebih gede.. Aku pengin penis
Mas Diran menusuki vaginaku. Ayyoo, maass..,” Larsih tak mampu memilih
kata-kata lagi. Keinginannya dia lontarkan secara vulgar kepada Mas
Diran sambil dia naik dan kemudian telentang ke meja makan itu.
Dia
mengangkat kedua kakinya sambil menghadapkan vagina dan pantatnya tepat
pada arah lubang dinding itu. Dia melipat kakinya hingga pahanya
menyentuh dada. Dari balik lubang dinding, kini Mas Diran menyaksikan
citra 3 dimensi melalui lubang ukuran 40 cm X 30 cm. Citra 3 dimensi itu
adalah vagina Larsih yang muncul dengan mulus dan sangat menantang
sanubari dan birahinya. Vagina itu nampak basah. Tetapi walau basah
rupanya tak mampu untuk menutupi hausnya tusukkan penisnya. Vagina
Larsih yang tampak macam ini sangat membakar syahwat Mas Diran. Dan
inilah puncak dari usahanya.
Larsih yang istri tetangganya itu
kini telah benar-benar menyerahkan kekayaannya yang paling rahasia.
Larsih kini benar-benar menyerahkan kehormatannya padanya. Larsih telah
menyerahkan vaginanya untuk memuaskan penisnya. Dengan penuh
pengendalian tempo dan perasaannya, Mas Diran mendekatkan bibirnya.
Dia
ingin Larsih benar-benar tersiksa oleh prahara syahwatnya. Dia ingin
istri tetangganya itu benar-benar memohon agar penisnya menembusi gua
garbanya. Menembusi liang vaginanya dan menggaruk-garuk
dinding-dindingnya.
Mas Diran melumati kemaluan Larsih. Dia
mencium dan menjilat kemaluan yang menantangnya itu, seperti saat dia
sedang mencium dan melumati bibirnya. Bibir vaginanya dia rasakan
seperti bibirnya. Klitorisnya menjadi lidahnya. Dan cairan birahi yang
mengalir deras itu dia anggap ludahnya. Dia lahap semua dengan penuh
kerakusannya.
Larsih histeris. Mas Diranlah yang membuat Larsih
histeris. Larsih tak berdaya. Tangannya tak bisa menjadi sarana untuk
melampiaskan kegatalan nikmat yang kini bak puting beliung melemparkan
dan menenggelamkan dirinya ke dalam lautan nikmat yang tak bertara.
Tangannya menggapai angin mencari sesuatu yang bisa diremas-remas atau
di cabik-cabik. Yang akhirnya dia bisa raih adalah buah dadanya sendiri.
Larsih
dengan sepenuh emosi syahwatnya nampak seakan-akan hendak merobek atau
mencabik-cabik susunya. Seakan-akan dia ingi mencopoti puting-putingnya.
Kegatalan yang luar biasa itu membuat dia kelabakan dan memohon dalam
tangisannya,
“Ampunn, Mass.., ampuunn.., ayoolahh Mass.. Cepat masukiinn.., ampunn..”.
Tangisan
itu belum juga menyentuh hati Mas Diran. Tetapi keindahan sensual yang
memancarkan nafsu syahwat luar biasa dari vagina Larsih ini sangat
sayang untuk dilewatkan. Bibir dan lidahnya masih menikmati pancaran
sensual itu.
Bahkan lidahnya kini berusaha menembusi lubang
sempit vagina Larsih. Lubang yang menebar aroma vagina dari seorang
perempuan yang istri tetangganya itu. Tangisan Larsih justru menambah
semangat birahinya untuk melanjutkan jilatan dan sedotannya.
Tangan
Mas Diran kembali melakukan rangsangan. Kalau tadi jari-jarinya
menusuki lubang vagina, kini jari-jari itu mulai merambah lubang anus
Larsih. Dia memang belum menusukkan ke anus itu. Tetapi elusan-elusan
kulit kasarnya mengakibatkan Larsih tak lagi mampu mengendalikan
desahannya. Dia tak lagi membisik. Desahan yang keluar dari mulutnya
bukan tak mungkin terdengar dari ruang Mak Sani. Untungnya sampai saat
ini Mak Sani belum pulang dari rumah anaknya.
Penis Mas Diran
benar-benar telah menegang dalam ukurannya yang maksimal. Pada saat
birahinya ada di puncak tertinggi macam sekarang ini, penis itu tegak
kaku mengarah naik sekitar 60% mencuat ke atas. Batangnya bergeligir
penuh dengan otot yang memompa darahnya. Otot itu melingkar-lingkat
sejak dari batas leher hingga ke pangkal kemaluannya.
Kepala
penisnya berkilat-kilat seakan hendak meledak menahan desakan birahi
dari dalamnya. Lubang kencingnya yang sangat menantang untuk jilatan
lidah para perempuan terus menerus mengalirkan cairan birahi yang siap
untuk melumasi vagina Larsih yang telah siap ditembusinya.
Dibawah
batangnya bijih pelirnya nampak menggelantung, dengan bungkus kulitnya
yang membulat dengan penuh kerur-kerut bak bundaran bijih salak muda
yang baru dipetik. Siapapun yang melihatnya pasti tergoda untuk
memainkan kuluman bibir atau jilatan lidah pada bijih pelir Mas Diran
itu.
“Amppuunn, Mass.., Larsih bisa jantungan Maass.., masukin
Maass.. Aku rindu penismu Mas Diran.., mana penismu.. Mana
penismuu..??,” Larsih sudah semakin tak mampu lagi menahan kata-kata
vulgarnya. Dia benar-benar telah berada di ambang kritis yang harus
diatasi oleh Mas Diran.
Dan Mas Diran kini memahami. Dia juga
puas mendengar ucapan Larsih terakhir itu. Mas Diran menikmati betapa
Larsihlah yang minta agar kemaluannya merasuki gua garba penuh
kenikmatan yang dimiliki istri tetangganya itu.
Larsihlah yang memohon agar penisnya menusuk vaginanya.
Kini
Mas Diran bergerak pasti. Bibir dan lidahnya meninggalkan sedot dan
jilatannya. Dia bangun dan mengatur posisinya. Dia sedikit bergeser ke
depan sambil mengarahkan penisnya yang ngaceng kaku itu ke lubang
kemaluan Larsih. Dia tuntun ujung penisnya yang berkilatan itu untuk
menyentuh vagina Larsih yang sudah demikian haus menunggunya.
Bibir
vagina itu nampak menegang dan juga memancarkan sedikit kilatan yang
disebabkan dorongan darahnya yang menekan ke arah permukaannya. Saat
kepala itu menyentuhnya, Larsih terlonjak. Dia tahu situasi di balik
dinding itu telah berubah. Dia tahu Mas Diran telah siap menusuki lubang
vaginanya. Dia tahu bahwa sebentar lagi kenikmatan yang tak terkirakan
akan melandanya.
Dia tahu dan telah siap apabila Mas Diran akan
menonjok-nonjokkan kemaluannya pada bibir vaginanya untuk bisa mulus
menembusinya. Dan itulah yang terjadi. Kepala penis Mas Diran terasa
mulai menekan. Bibir vagina atau gerbang vaginanya yang sudah demikian
menanti seakan kini menjual mahal. Bibir itu tidak demikian saja
mengijinkan penis Mas Diran masuk. Bibir itu seakan merapatkan barisan
untuk menahan serbuan penis.
Bibir itu merapat dan membuat lubang
vagina menyempit. Itulah kenikmatan luar biasa yang mengawali penetrasi
seorang Mas Diran ke vagina Lastri istri tetangganya yang binal ini.
Berkali-kali tonjokkan penis itu dilakukan. Berkali-kali serbuan penis
dilancarkan hingga akhirnya mulai terkuak. Lubang vagina Larsih mulai
memberi kesempatan dan melepas sedikit demi sedikit cengkeramannya.
Gerbang vagina memberikan ruang hingga kepala penis Mas Diran melesak
masuk hingga batas lehernya.
Bagi Mas Diran hal ini sudah sangat
cukup. Upaya berikutnya tak terlampau sulit. Dikocok-kocokkannya kepala
penisnya pada ruang sempit itu hingga cairan birahi Larsih tak lagi
terbendung. Kocokkan-kocokkan itu menghasilkan dinding pertahanan vagina
jadi sangat licin. Dan kondisi licin macam itulah yang membuat vagina
Larsih benar-benar tak mampu menahan desakan penis Mas Diran.
Dari
balik dinding Larsih seperti kemasukan setan. Tangan-tangannya yang
terus membetoti susunya dan menarik-nark serta memilin puting-putingnya
kini disertai kepalanya yang terus bergoyang kekanan dan kekiri.
Goyangan kepalanya itu demikian histeris hingga rambut-rambutnya
awut-awutan terlempar sana-sini.
Tonjokkan penis Mas Diran telah
membuat Larsih sama sekali kehilangan kontrol diri. Dia tak mampu lagi
membendung banjirnya cairan pelumas pada bibir vaginanya. Dia kini
merasakan betapa senti demi senti batang kemaluan Mas Diran menembus
gerbang vaginanya.
Dia kini merasakan betapa dinding-dinding
vaginanya mulai mencengkeram dan menghambat setiap senti batang penis
Mas Diran untuk bergerak maju menembus lubangnya. Larsih merasakan
betapa cengkeraman dinding vaginanya itu membuahkan nikmat syahwat yang
tak terhingga. Saraf-saraf peka yang menebar di seluruh permukaan
dinding itu melakukan interaktif dan menjemput nikmat dengan
remasan-remasannya.
Mas Diran yang merasakan cengkeraman vagina
Larsih terkadang justru melambatkan atau menghentikan sama sekali
dorongan penisnya untuk menembus lebih ke dalam. Dia ingin menikmati
betapa cengkeraman itu menjadi empotan yang meremas.
Saat
saraf-saraf itu berusaha menahan, terjadilah pegangan erat pada
batangnya. Tetapi itu hanya sesaat. Berikutnya pegangan itu pasti kendor
dan melemah sebelum kembali memegang erat. Siklus itulah yang membuat
rasa empot-empot pada batang penis Mas Diran.
Tetapi semua itu
hanyalah sebuah ‘awal’ atau ‘pembukaan’. Penis Mas Diran akan terus
bergerak maju. Dan vagina Larsih akan terus menghisap masuk bak rahang
ular piton yang menelan mangsanya dan tak mungkin melepaskannya. Pantat
Larsih menggoyang untuk menjemput dan melahap ‘mangsa’-nya itu.
Pantat
Larsih juga menggoyang untuk mengurangi derita nikmat yang melandanya.
Pantat itu menggoyang seirama dengan gerak laju penis Mas Diran yang
terus bergerak menembus vaginanya. Dan apabila ‘pembukaan’ itu telah
lewat, maka yang dirasakan Larsih kini adalah sebuah benda panas dan
sangat kenyal memenuhi rongga vaginanya. Tak ada celah kosong sejak
gerbang hingga mentok ke dinding rahimnya. Batang itu dengan sesak
menembusi lorong penuh nikmat milik Larsih.
Sesak itu terjadi
karena ada dua arah penyebabnya, yanitu batang kemaluan Mas Diran yang
sangat gede dan dinding vagina Larsih yang mencengkeram, menyempit dan
menjepit. Tetapi anehnya tak ada satupun yang merasa dirugikan. Mas
Diran dan Larsih justru menemukan nikmat dari apa yang kini sedang
berlangsung itu.
Kini kembali Mas Diran membuat kemaluannya diam
tanpa gerak dalam kepadatan ruang vagina Larsih. Ujung penisnya
merasakan dinding batas. Itulah dinding rahim Larsih. Kemudian vagina
Larsih itu dengan cepat mengempot-empot meremasi batang penisnya. Larsih
kembali lagi mengoyang-goyang pantatnya. Dia dilanda rasa gatal yang
sangat. Dia ingin penis Mas Diran mulai menarik dan mendorong. Dia ingin
merasakan pompaannya kemaluan gede dan panjang milik Mas Diran itu. Dia
ingin merasakan gosokan atau gesekan batang penis dengan
dinding-dinding lubang vaginanya.
Dan terjadilah. Mas Diran mulai pelan menarik. Hanya setengahnya. Kemudian kembali mendorong hingga mentok ke dinding rahim.
Kemudian
diulanginya route itu berkali-kali. Setiap kali Mas Diran menambah
kecepatan. Dan pada setiap tusukkan maupun tarikan desah dan rintih
Larsih menyertai dengan penuh iba derita nikmat.
Dan saat penis Mas
Diran mulai memompa dengan ritmis dan tempo yang semakin sering, kedua
orang itu saling memperdengarkan desahan dan nafas-nafasnya yang
memburu.
Dan saat pompaan semakin sering dan cepat yang
mengakibatkan meja makan Larsih berderit-derit, serta dinding penuh
syahwat pembatas kamar mereka berderak-derak, mulut Larsih dan Mas Diran
memperdengarkan suara konser desah dan rintih penuh irama. Jangan tanya
lagi tentang racauan. Semua kata-kata vulgar tumpah berserakan mengalir
dari kedua mulut yang asyik masyuk itu.
Pada ghalibnya semua
yang ada ‘pembukaan’ memang harus diikuti dengan ‘akhiran’. Dan siapa
atau apapun saat menyongsong titik ‘akhiran’ itu selalu berusaha
menumpahkan semua beban-beban agar pada ‘pemberhentian’ nanti bisa
berlangsung lunak, menyeluruh dan tuntas.
Saat Mas Diran
merasakan betapa air maninya tak mungkin bisa terbendung, dan kini
tengah merambati saraf-saraf disekitar kemaluannya untuk muncrat, dia
menengadahkan wajahnya ke langit-langit. Dia memusatkan seluruh dirinya
untuk menyambut muncratnya spermanya. Dia merasakan betapa nikmat dan
legitnya vagina Larsih yang kini sedang dalam pompaannya.
LarsiHPun
menghadapi kenyataan yang sama. Kerinduan berbulan-bulan yang
ditanggungnya, kemudian pula limpahan birahi tak tertahankan selama
hari-hari terakhir ini menggiring dirinya untuk menapaki orgasme yang
memang jarang dia dapatkan. Dia merasakan sebuah sensasi erotik yang
luar biasa saat penis Mas Diran merasuki ruang sempit lubang vaginanya.
Dia
merasakan betapa dinding-dindingnya yang penuh saraf peka begitu
mencengkeram untuk merasai betapa penis itu memberikan nikmat tak
bertara pada dirinya. Dia kini merasakan tonjokkan yang semakin cepat
dari kemaluan Mas Diran. Dia merasakan bahwa Mas Diran sedang mendekati
muncratnya air maninya ke haribaan kemaluannya.
Dia merasakan
betapa desahan Mas Diran tak lagi mampu menahan puncratan itu. Bak kuda
betina yang sangat binal dan liar Larsih berusaha menggantikan atau
mempercepat pompaan Mas Diran. Meja makannya terdengar berderit-derit
menahan gerakan Larsih yang menerima dorongan Mas Diran maupun karena
goyang yang dia buat.
Larsih ingin air mani Mas Diran nyemprot di
dalam vaginanya. Larsih merindukan sperma yang panas melaburi dinding
vaginanya. Larsih menginginkan Mas Diran melampiaskan dendam birahinya
dalam sekapan lubang vaginanya dan menyirami dinding rahimnya. Mas Diran
merasakan saat puncak itu tak jauh lagi. Dia merasakan betapa air
maninya mengaliri dan merambati otot-ototnya menuju pintu akhir untuk
tumpah. Ahch, aacch.., akhirnya..
Tangan-tangan Mas Diran
menggapai dinding-dinding datar itu. Dia cakar-cakar tambelan
koran-koran yang berkelupasan. Dia remasi serpihannya. Air mani Mas
Diran muncrat tak terbendung.
Penisnya berkedutan memompa keluar
cairan kentalnya. Dia berteriak tertahan. penisnya lebih dia benamkan
dengan menekannya kuat-kuat ke dinding rahim Larsih.
Sementara
Larsih menerima apa yang berlangsung dengan tampilan lebih histeris.
Orgasmenya sendiri ternyata hadir membarengi semprotan air mani Mas
Diran. Kedutan penis Mas Diran dalam kemaluannya disambut dengan
semprotan hangat cairan birahinya. Betotan tangannya pada buah dadanya
mengencang seakan hendak mencopot susunya dari tempatnya.
Bibirnya
menggigit bibirnya sendiri hingga terluka dan mengalirkan darah kecil.
Pantatnya berputar-putar seakan ingin menelan seluruh kemaluan gede Mas
Diran itu. Cairan birahi Larsih terus bertumpahan. Dia mengalami apa
yang sering orang sebut sebagai ‘orgasme beruntun’. Setiap tusukkan
kemaluan Mas Diran disertai pula dengan muncratnya cairan birahi Larsih.
Setiap kedutan pompa sperma Mas Diran dia timpali dengan erang dan
rintih nikmat orgasmenya. Mungkin Mas Diran menyemprotkan 6 atau 7 kali
air maninya. Dan sebanyak itu pula Larsih mengalami orgsame beruntunnya.
Dan..
Mereka
langsung jatuh tersungkur begitu segalanya usai. Tubuh Larsih merosot
lunglai kelantainya. Mas Diran telentang di lantainya pula. Keduanya
hanya memperdengarkan nafas-nafas berat dan panjangnya sambil
keringatnya yang mengucur deras untuk menyalurkan kelelahan yang tak
terhingga. Nampak lubang di dinding itu menggapai-gapai kena angin dari
jendela. Serpihan kertasnya yang hampir lepas melambai.
Lubang,
jendela dan serpihan kertas rumah kontrakan itu menjadi saksi betapa Mas
Diran dan Larsih telah bersama-sama merengkuh nikmat syahwat yang
paling nikmat sepanjang pengalaman mereka.
Larsih masih merasakan
apa yang baru saja usai. Penis Mas Diran yang demikian sesak masih
meninggalkan pedih. Tetapi bukannya sesal. Dia masih ingin bangkit untuk
kembali merasakan kenikmatan luar biasa itu. Kenikmatan syahwat yang
belum pernah dia alami sebelumnya itu.
Mas Diran tergolek. Dia
belum bisa sama sekali melepaskan ingatan nikmat yang barusan dia alami.
Masih terasakan pada batang kemaluannya, betapa vagina Larsih
memijit-mijit dan mencengkeram demikian hebatnya hingga spermanya penuh
tumpah pada lubang nikmat itu. Mas Diran ingin bangkit lagi untuk
merasai kembali kenikmatan tak bertara itu.
Beberapa saat kemudian..
Larsih
mengajak Mas Diran makan. Dia telah menyimpan makanan untuk makan siang
berdua. Larsih telah memasak untuk suaminya yang bisa disimpan beberapa
hari. Melalui lubang itu Mas Diran bersama Larsih saling bersuapan.
Terkadang Larsih mengigit sepotong makanan untuk disuapkan ke gigitan
Mas Diran.
Mereka juga melaksanakan makan siang bersama dari
lubang syahwat yang sama. Hari itu mereka mengulangi
kenikmatan-kenikmatan yang pernah diraihnya. Mereka melakukan berbagai
macam jalan nikmat yang pernah meraka lakukan melalui lubang dinding
itu. Mas Diran sempat memuncratkan air maninya hingga 4 kali sampai
dekat ke jam 5 sore hari itu. Sementara Larsih sudah tahu bagaimana
mendapatkan ‘orgasme beruntun’.
Entah berapa kali pula orgasme
beruntun datang menerpa dan berhasil diraihnya. Sesudahnya, sesuai
kesepakatan sebelumnya mereka menambal lubang dinding dengan kertas
koran yang ada.
Larsih mengembalikan letak meja makan sebagaimana
sebelumnya. Meja makan dimana sebentar lagi dia akan makan malam bersama
Tono suaminya.
Demikianlah kisah ini. Selama Mas Diran kebagian
gilir jaga malam, selama beberapa hari ini hingga genap satu minggu,
menghabiskan waktu siangnya untuk berasyik masyuk bersama Larsih istri
tetangganya.
Hal itu kemudian berulang pula pada setiap 2 minggu
berikutnya. Lubang kenikmatan itu mereka rawat dengan baik hingga tak
seorangpun, baik itu Tono suami Larsih maupun Murni istri Mas Diran
mencurigainya. Keadaan itu terhenti saat ada peristiwa baru. Peristiwa
yang menunjukkan betapa bumi dan kehidupan di atasnya terus berputar.
Karena
prestasi kerjanya Tono ditunjuk menjadi kepala cabang kantor
angkutannya di Sampang, Madura. Dalam tempo 1 minggu keluarga Tono dan
Larsih sudah menempati rumah baru di Sampang. Sebuah rumah batu, lengkap
dengan perabotan, kamar mandi sendiri dan kendaraan kijang bekerja.
Pada saat liburan pasangan Tono dan Larsih sering berekreasi meninjau
kota-kota atau tempat-tempat bersejarah yang banyak tersebar di pulau
Madura.
Dengan cepat Larsih menyesuaikan keadaan. Dia kini
menjadi lebih matang. Dia mulai tahu bahwa kenikmatan bisa diraih dalam
berbagai cara. Bahkan dia sering menuntun Tono menapaki kepuasan ranjang
pengantin mereka.
Setahun setelah tinggal di Madura, pasangan
Tono dan Larsih dikaruniai anak perempuan yang secantik ibunya. Tono
ingin anaknya nanti bisa meneruskan sekolah bapaknya hingga mencapai
sarjana.
Akan halnya Mas Diran. Dia kini diangkat menjadi pegawai
administrasi dan koordinator keamanan gudang tempat dia bekerja. Mas
Diran tidak perlu lagi kerja malam. Dari kantornya Mas Diran diberi
kesempatan untuk mendapatkan rumah yang layak dengan kredit lunak dari
bank.
Sejak itu Mas Diran dan Murni selalu bisa menonton TV
bersama, makan malam bersama dan berlibur bersama dalam suasana keluarga
yang lengkap, utuh dan penuh kegembiraan.
Akhirnya Murni hamil.
Seorang bayi lelaki yang kuat dan tampan telah lahir untuk pasangan Mas
Diran dan Murni. Mas Diran tidak ingin mewarisi tugas bapanya yang hanya
Satpam itu. Dia ingin anaknya nanti bisa jadi Caleg dari partai
favoritnya.
Minggu, 11 Januari 2015
Sidebar
Search
-
Aku Andre ingin menceritakan petualangan dengan si nyokap. Siang itu, aku dan mama berada di minimarket kami. Aku tidak kuliah. Seperti b...
-
Aku adalah seorang pria berumur 42 tahun, menikah dan sudah memiliki dua anak yang lucu-lucu. Setelah membaca kisah-kisah di situs ini, ...
-
Berawal dari gue mau ambil uang di atm sebuah bank swasta yang letaknya berada di sebuah mall di kota ku. nah pada saat itu gak terl...
-
Namaku sebut saja ningsih (18) aku seorang pembantu rumah tangga di sebuah keluarga kaya raya di jakarta. Pekerjaan ini terpaksa aku lalu...
-
Hari ini adalah hari Minggu, tak seperti hari-hari lainnya aku harus bangun pagi, untuk bersiap pergi ke kantor, hari ini aku santai seka...
-
Hari itu Rita pulang agak kemalaman dari tempat kerjanya di bilangan Senen, jadi kendaraan umum pun sudah agak jarang yang melintas. Sem...
-
Dalam cerita ini saya menamakan diri saya, “Heather”. Ini bukan nama saya yang asli, untuk suatu alasan yang saya pikir paling baik un...
-
Namaku Hendri, aku bekerja di sebuah kantor BUMN. Aku sudah menikah selama 3 tahun dengan istriku. Walau kami belum dikaruniai anak, kami...
-
Petualanganku di dunia birahi sudah malang melintang. Dimana pun lokasi syur di Jakarta sudah pernah ku datangi. Ada satu tempat favoritk...
-
Larsih, 26 tahun dan suaminya Tono, 32 tahun, tinggal di rumah petak kontrakan di samping kanan kamar pasangan suami isteri Mas Diran, 38...
Popular Posts
DAFTAR ISI
-
▼
2015
(32)
-
▼
Januari
(32)
- Kontolku disepong 3 cewek
- Ternyata Kontolku dilomot
- Memek kakak Iparku
- Kontol Juraganku menjebol memekku
- Permainan lidah Rina memang mahir
- Memperkosa 3 Wanita Berjilbab
- Menikmati memek ibu temanku
- Celah Dinding Kontrakan
- Rina Gadis Jilbab Bertubuh Sekal
- Gairah Ibu Muda Berjilbab
- Memek Atun pembantuku
- Mama Lisna dan Pak RT
- Aku Sadar Dijadikan Obyek Onani Oleh Anakku
- Memuaskan Ustazah Dila Yang Lagi Horni
- Kuentot memek dokter berjilbab
- Kubuka Jilbab Ibu Kostku Yang Menggoda
- Wanita berjilbab itu istri orang, dan dia menikmat...
- Digilir 8 Kontol
- Desahan Tanteku bikin aku muncrat
- Ngentot Dahsyat dengan Syahrini
- Mantapnya memek wulan guritno
- Nafa Urban mendesah
- Memek Diana mantaaaap
- Memek Denita dibanjiri sperma
- Rere Gadis SMU yang Malang
- Sony kamu sungguh luar biasa Sayang
- Menjádi pemuás náfsu seks Ibu mudá
- Ngentot TINNY, PACAR SAHABATKU
- CEWEK DESA
- Gemes Deh
- Keperawanan ku Hilang di Penginapan
- Menikmati Memek Sari teman Kost
-
▼
Januari
(32)
0 komentar:
Posting Komentar